Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti dari SETARA Institute Bonar Tigor Naipospos menilai intoleransi antar umat beragama masih menjadi problem dalam kehidupan berbangsa di Indonesia. Salah satunya tercermin saat pendirian rumah ibadah, pelaksanaan ibadah secara bersama-sama, hingga persoalan ibadah dan perayaan Natal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tigor menyoroti aturan pembangunan rumah ibadah yang diatur dalam surat keputusan bersama (SKB) dua Menteri, yakni Menteri Dalam Negeri M. Ma`ruf dan Menteri Agama Muhammad Maftuh Basyuni dan Peraturan Bersama Menteri Agama Nomor 9 Tahun 2006 dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 2006.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Memang sudah ada peraturan bersama dua menteri, tapi tetap masih ada diskriminasi, khususnya tentang pendirian rumah ibadah. Karena itu dalam pelaksanaannya sangat birokratis," ujar Tigor dalam diskusi di kawasan Jakarta Selatan, Sabtu, 21 Desember 2019.
Tigor mengatakan SKB dua Menteri ini merupakan upaya pemerintah pusat dalam mendorong kerukunan di masyarakat. Namun dalam pelaksanaannya, justru syarat yang diajukan terlalu berat. Persyaratan seperti jumlah pengguna rumah ibadah yang minimal 90 orang, harus mendapat persetujan dari tingkat RT hingga kelurahan, hingga rekomendasi dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), justru menjadi penghambat berdirinya rumah ibadah baru.
"Di tiap tahapan itu selalu ada problem. Meski sudah 90 orang, tapi kalau camatnya enggak setuju, ya enggak jadi. Bahkan FKUB pun kadang menjadi penghambat," kata Tigor.
Hal ini kemudian diperparah dengan pemerintah daerah yang cenderung lebih mendukung warga mayoritas di suatu daerah. Tigor menilai hal ini karena pimpinan daerah lebih mendahulukan kepentingan elektoral dirinya, dibanding memperjuangkan hak seluruh warga untuk beragama.
"Mereka cenderung membuat kebijakan yang lebih mengakomodir kelompok besar yang ada di sana, dengan argumen menjaga keamanan dan ketertiban," kata dia.
SETARA bersama dengan PUSAKA Foundation Padang, belakangan menemukan adanya kasus pelarangan ibadah bagi warga minoritas di Sumatera Barat. Menjelang Hari Natal, Jemaat Gereja Betel Indonesia (GBI) Bukittinggi yang berjumlah sekitar 500 orang, berdasarkan temuan PUSAKA, dilarang merayakan natal di Hotel Pusako Bukittinggi.
Program manager Badan Pengurus PUSAKA Foundation Padang, Sudarto, mengatakan hotel itu awalnya dipilih karena tak ada gereja yang dibangun di lokasi terdekat. Setelah mendapat sorotan media massa, pemerintah daerah membantah hal ini.
Meski tetap berkukuh tak mengizinkan perayaan di hotel, mereka akhirnya memberi sedikit solusi. "Mereka (jemaah) dipinjami mobil untuk ibadah, mereka akhirnya merayakan natal di stasiun Sawahlunto, yang jaraknya 130 kilometer dari tempat mereka," kata Sudarto.