Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Difabel

Irfan Ramdhani, Mapala Difabel Bangkit Demi Ibu, Buku, dan Kawan

Menjadi difabel saat dewasa membutuhkan perjuangan untuk menerima keadaan dan bangkit lagi. Mari kita simak kisah Irfan Ramdhani alias Pancong.

27 Juni 2020 | 10.00 WIB

Irfan Ramdhani berlatih single rope technique di Tebing Siung, Yogyakarta. Foto: Istimewa
Perbesar
Irfan Ramdhani berlatih single rope technique di Tebing Siung, Yogyakarta. Foto: Istimewa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Cerita dari Irfan Ramdhani ini bisa menjadi inspirasi bagi kamu yang sedang galau atau putus asa menghadapi tantangan. Kepada Tempo, pria 30 tahun ini berbagi kisah ketika dokter memvonis 90 persen sisa hidupnya bakal dihabiskan di atas kasur.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Semua bermula dari peristiwa nahas yang terjadi pada 2010. Pancong, begitu teman-teman biasa menyapa Irfan, saat itu sedang berlatih single rope technique dalam kegiatan mahasiswa pencinta alam atau mapala di kampusnya, Universitas Gunadarma, Depok, Jawa Barat. Mahasiswa jurusan Teknik Informatika itu terjatuh dari ketinggian 10 meter.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Akibat kecelakaan tersebut, salah satu saraf di punggungnya terganggu dan membuat kaki sebelah kiri disfungsi. Irfan terpuruk. “Sudah divonis begitu, pacar minta putus, kampus juga saat itu sedang banyak-banyaknya tugas. Saya nekat bunuh diri," kata Irfan kepada Tempo, Jumat 26 Juni 2020.

Irfan Ramdhani mendaki Gunung Rinjani di Nusa Tenggara Barat. Foto: Istimewa

Irfan nekat mencoba mengakhiri hidupnya dengan menancapkan sebilah pisau ke perut. Irfan lekas mendapat pertolongan. Nyawanya selamat. Teman-teman yang mengetahui kenekatannya itu sampai menampar Irfan dan mengingatkan kalau Tuhan tak akan memasukkan orang yang bunuh diri ke surga.

Irfan menyadari, menjadi difabel saat dewasa membutuhkan perjuangan untuk menerima keadaan dan bangkit lagi. Irfan mencoba. Keluarga dan teman-teman turut mendukung. Ibu Irfan, N. Ilis membantu dengan memberikan motivasi melalui buku-buku bacaan. Kebetulan Ilis adalah seorang psikolog. "Dari buku-buku yang diberikan ibu, saya termotivasi untuk hidup dan mulai berkarya," kata Irfan.

Dia juga mendapat bantuan dari teman-teman di kampus dan lingkaran pertemanan mapala di kampus lain seputar Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi. "Mereka menjenguk setiap hari dan menggalang dana untuk saya. Masak teman-teman sudah berjuang sebesar ini, lalu saya harus menyerah?" ujar Irfan. Dia pun semangat menjalani terapi untuk memulihkan kondisi fisiknya.

Irfan Ramdhani menyusuri Gua Jomblang di Yogyakarta. Foto: Istimewa

Sadar betapa banyak perhatian dan dukungan untuknya, Irfan mencari cara supaya dia juga bisa memberikan manfaat untuk orang lain. "Sebagian tubuh saya disfungsi, tapi otak dan tangan saya masih bisa bekerja," kata Irfan yang terispirasi dari perkataan ibu dan temannya.

Irfan kemudian menulis. Dari situ, dia berhasil menerbitkan dua buku berjudul 'Tabah Sampai Akhir' dan 'Second Chance'. "Buku ketiga sedang disiapkan. Judulnya 'Perayaan Rindu Seorang Pejalan'," ucap dia.

Selain menulis buku, Irfan Ramdhani juga kembali ke alam bebas. Dia mendaki gunung, menyusuri goa, menyelam, sampai paralayang. Irfan pernah mengikuti Ekspedisi NKRI 2017 di Papua.

MUHAMMAD AMINULLAH

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus