SEBUAH poster besar terpampang di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat di Senayan pekan lalu. Pesannya: "Kita Kembangkan Kreativitas dalam Menyongsong Era Tinggal Landas". Pesan poster itu tampaknya klop dengan salah satu isi penting pidato Presiden Soeharto yang diucapkan di gedung itu, sehari sebelum 17 Agustus 1990. Di tahun-tahun yang akan datang, kata Presiden, tugas bersama bangsa antara lain adalah mengembangkan "kreativitas serta partisipasi masyarakat" dalam pembangunan. Tampaknya, ini ada kaitannya dengan pemberian kesempatan yang lebih jelas untuk perbedaan pendapat. "Demokrasi memang membutuhkan banyak musyawarah, diskusi, tukar pikiran, dan dialog," ujar Kepala Negara. Kini tak perlu lagi ada kekhawatiran karena ada keanekaragaman pendapat. "Hal itu bukan saja berarti kita menyangsikan keampuhan Pancasila, tetapi juga menghambat perkembangan Pancasila itu sendiri," kata Presiden dengan jelas. Tentu banyak yang girang atas pernyataan Pak Harto itu. "Ini masalah yang paling simpatik dari segi politik dalam pidato Presiden," kata Samsudin, Wakil Ketua Fraksi ABRI Koordinator Bidang Politik dan Keamanan. Soalnya, tentu, lembaga mana yang akan menyelenggarakan perbedaan pendapat ini. Jawab Samsudin, "Angin demokrasi harus dihidupkan di DPR." Tak jelas apakah ini pengakuan seorang anggota DPR bahwa demokrasi belum hidup di lembaga perwakilan rakyat itu. Tapi Samsudin menyadari bahwa perbedaan pendapat bisa menyebabkan konflik tak terelakkan. "Tapi, ya, itu kan ciri dari demokrasi," kata mayor jenderal purnawirawan itu. Mungkin salah satu contoh perbedaan pendapat itu adalah suara kelompok "Petisi 58" yang mengirim sepucuk surat ke DPR Selasa pekan silam. Meskipun suratnya tak diumumkan oleh media massa dalam negeri, tak ada tindakan pengamanan yang didengar. Dan inilah komentar Menteri Sekretaris Negara Moerdiono: "Boleh-boleh saja mereka melakukan itu selama masuk akal. Buktinya, selama mereka tak melanggar hukum dan perundang-undangan, mereka tidak kena sanksi." Tampaknya, tak semua pejabat terbiasa dengan sikap berbeda pendapat seperti itu. Kata B.P. Messakh, Sekretaris Fraksi Karya Pembangunan, perbedaan pendapat hanya bisa dipraktekkan bila semua pejabat memiliki "sikap demokrat". Karena itu, ia mengusulkan, kalau ada pejabat yang "sok kuasa, merasa raja, angkuh dan angker", harus "dicopot." Messakh, sayangnya, tak menyertakan apa ukurannya sikap "sok kuasa" itu. Ketentuan yang pasti tentang mana yang boleh dan mana yang tidak, memang, sering dilupakan di sini. Seperti soal yang menyangkut hak berbeda pendapat dan batas-batasnya, salah satu segi dalam hak asasi yang juga disebut Presiden pekan lalu. Sejauh mana hak-hak itu dibiarkan, dan sejauh mana perlu dibatasi? Bagi Ketua Fraksi PDI Fatimah Achmad, yang masih terasa di sana-sini adalah pembatasan. "Hak untuk berserikat dan berkumpul sudah tegas disebutkan dalam UUD. Tapi, ada kelompok masyarakat yang tak bebas untuk menentukan haknya itu," katanya. Contohnya, kata Fatimah, di bidang pers. Dengan kata lain, pengelolaan yang pas di sekitar hak asasi dan perbedaan pendapat belum diatur berdasarkan kepastian hukum. Namun, masalah hukum ini, termasuk praktek dan perangkatnya, sayangnya, luput diangkat oleh para anggota DPR -- khususnya sejauh mana perangkat hukum, atau yudikatif, bebas dari campur tangan pihak eksekutif. Padahal, wajah hukum yang tercoreng itu masih tercermin pada kemelut kepengurusan Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) kini. Kepastian hukum ini agaknya juga perlu untuk menyelesaikan satu soal yang disebut dengan gamblang oleh Pak Harto di bagian lain pidatonya: Yakni yang menyangkut hubungan antargolongan. Misalnya, sejauh mana persamaan dan perbedaan hak dan kewajiban warga negara keturunan asing dengan warga "pribumi". Akibatnya, timbul prasangka-prasangka rasial. Seperti yang dibeberkan oleh Pak Harto, ada beberapa golongan yang masih bersikap "eksklusif dan menjaga jarak dengan golongan-golongan lainnya dalam masyarakat". Menurut seorang pejabat tinggi, ucapan Pak Harto itu bukannya mengada-ada. Ia menafsirkan yang dimaksud "golongan yang bersikap eksklusif" itu adalah konglomerat keturunan Cina. "Terus terang, saya juga kesal cara kerja mereka. Kantor mereka isinya 'keturunan' Cina semua. Seolah-olah mereka tak mau mengambil pegawai yang pribumi," kata pejabat tinggi itu kepada TEMPO dengan nada jengkel. Apalagi didukung fakta bahwa konglomerat, yang kini menjamur jumlahnya, itu ternyata para keturunan Cina. Presiden dengan bijaksana menghindari menyebut jelas satu golongan tertentu, tapi ada yang berpendapat bahwa Pak Harto tampaknya menyadari betul soal tadi. "Kita melihat adanya warga yang majunya lebih cepat daripada yang lain," kata Kepala Negara. Boleh jadi ini upaya Pak Harto untuk meredam isu anti-keturunan Cina, yang belakangan memang terasa kuat getarannya. Dan Pak Harto menyampaikan satu kiat untuk menyelesaikan problem ini: pemerataan. Tapi, kata Presiden, pemerataan janganlah diartikan menghambat mereka yang maju cepat. Kunci pemerataan adalah mendorong agar mereka yang maju lebih cepat dapat menarik mereka yang maju lebih lambat. "Di sini harus ada rasa solidaritas sosial yang tinggi," ucap Pak Harto. Pulihnya kembali hubungan diplomatik RI -- Cina memang membuat gaung antiketurunan Cina sempat bergema lagi. Apalagi bila ditambahi sikap mau mendahulukan keamanan. Kecemasan seperti itu bisa dimaklumi. Masih ada trauma akibat "Gerakan 30 September" di tahun 1965, yang oleh sebagian orang dianggap dibeking pemerintah RRC. Namun, seperti kata Pak Harto, Pemerintah telah membuat persiapan yang matang sebelum mencairkan kembali hubungan diplomatik itu. Lagi pula, tidak realistis kalau kedua negara tak punya hubungan diplomatik, hubungan yang wajar dalam pergaulan antarbangsa. Menanggapi sikap yang mengutamakan keamanan, Presiden mengatakan sesuatu yang agaknya sesuai dengan semangat menghidupkan kreativitas: "Adalah keliru jika kewaspadaan kita mengenai keamanan itu berlebih-lebihan, sehingga membatasi ruang gerak kita sendiri." Meskipun begitu, dalam pidatonya, Kepala Negara masih mengingatkan bahwa kewaspadaan dan kepekaan terhadap masalah-masalah yang menyangkut keamanan bangsa dan negara harus selalu tetap dipelihara. Kali ini Pak Harto memang tak lagi secara nyata mengatakan adanya "ancaman bahaya laten PKI", tapi ia tetap mengingatkan bahwa ancaman dalam bentuk lain selalu ada. Ancaman dan bahaya itu datang dari kekuatan-kekuatan "ekstrem kanan" maupun dari kekuatan "ekstrem kiri". Bahaya itu juga bisa datang dari "alam pikiran liberalis". Dengan kata lain, rakyat tidak boleh lengah atau seenaknya, dan Pemerintah akan selalu waspada. Tentunya, ini tidak dimaksudkan untuk pada saat yang sama menghambat kreativitas masyarakat. Maka, harapan atas pidato Pak Harto ialah, seperti dikatakan Fatimah Achmad, agar pikiran-pikiran Kepala Negara itu menjadi "suatu kenyataan". Laporan Diah Purnomowati dan Linda Djalil
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini