KOTA suci Mekah dan Madinah terancam serbuan serdadu Saddam Hussein. Begitulah antara lain yang dikemukakan oleh Abdul Azis Al Thenayan, utusan khusus Raja Fahd dari Arab Saudi, kepada Presiden Soeharto di Jakarta, Ahad lalu. Lantaran kondisi ini, Arab Saudi minta "pengertian Indonesia" agar mengirimkan pasukan untuk ikut menjaga kedua kota suci itu. Namun, permintaan itu tak dipenuhi Indonesia. "Kita tak punya tradisi mengirimkan pasukan, kecuali jika di bawah panji-panji PBB," kata Menteri Ali Alatas kepada wartawan. Tapi itu tak berarti bahwa RI tak mengambil sikap atas agresi Irak ke Kuwait. "Kita menyesalkan serbuan itu dan menaati sanksi ekonomi terhadap Irak, sesuai dengan keputusan PBB," Ali Alatas menambahkan. Politik luar negeri bebas dan aktif, sebagaimana diamanatkan konstitusi, memang tak mengizinkan RI melibatkan diri secara militer, langsung ataupun tak langsung, dalam konflik internasional. Yang dianut Indonesia adalah tradisi mengirim pasukan perdamaian di bawah bendera PBB. Tradisi itu telah berlangsung sejak 1957. Kala itu pasukan TNI terbang ke Gurun Sinai, dalam kontingen Garuda I, untuk "melerai" konflik militer antara Arab dan Israel. Setahun kemudian Garuda "dimutasikan" ke perbatasan Libanon-Syria untuk tugas yang sama. Tugas berikutnya diemban oleh Garuda II dan III yang diterbangkan ke Kongo, 1960-1964, untuk misi perdamaian. Berikutnya tiba giliran kontingen Garuda IV yang dikirim ke Vietnam, untuk bertugas bersama-sama dengan pasukan sejenis dari Hungaria, Polandia, dan Kanada. Ketika itu, Garuda IV dikomandani oleh Brigjen. Wiyogo Atmodarminto, sekarang Gubernur DKI Jaya. Mereka bertugas mengawasi pelaksanaan perjanjian Paris. Pengiriman pasukan perdamaian itu berlanjut dan kembali menuju Jazirah Sinai. Tugas itu dipikul oleh Garuda V-VIII, bergantian sejak 1974 hingga 1979. Pada kurun itu, Komandan Garuda Mayjen. Himawan Sutanto, ketika itu terpilih menjadi panglima pasukan perdamaian PBB yang bertugas di Sinai. Pada kesempatan itu, TNI sempat pula merekrut anggota resimen mahasiswa untuk bergabung dengan Garuda. Tradisi itu berlanjut dengan pengiriman Garuda IX ke perbatasan Irak-Iran. Kontingen ini terdiri dari 15 perwira ABRI, bertugas selama setahun di sana, dan kembali ke tanah air Agustus tahun lalu. Tim Garuda IX yang dipimpin oleh Letkol. Endriartono Sutarto itu sempat mendapat pujian dari komandan tertinggi pasukan PBB, Marac Golding. Keberhasilan Garuda IX itu terutama dalam hal menyusun sistem monitoring dan pelaporan. Kontingen perdamaian yang terakhir dikirim dari Indonesia adalah satuan yang seluruhnya terdiri dari anggota Polri. Tahun lalu, mereka dikirim ke Namibia, negara Afrika yang menghadap ke Atlantik, untuk tugas selama hampir setahun. Kontingen serba polisi ini memang sesuai dengan permintaan PBB, disesuaikan dengan kondisi setempat. Tapi tradisi pantang campur tangan secara militer itu sempat kebobolan semasa zaman orde lama, 1965. Ketika itu, Bung Karno memerintahkan TNI AL membantu Pakistan yang sedang kerepotan berperang melawan India. Maka, dikirimlah sebuah kapal selam dari jenis Whiskey Class dan sebuah kapal cepat berpeluru kendali. "Itu bantuan resmi atas dasar solidaritas," kata Kolonel (Laut) M.A. Supriyo Taram, Kepala Dinas Penerangan TNI AL. Tampaknya, pengiriman pasukan RI ke Pakistan itu tak lepas dari konteks politik global saat itu. Ketika itu, RI sedang berada dalam poros Jakarta-Beijing, dan pada saat yang sama, RRC sedang berseteru dengan Uni Soviet. Pada kasus itu, Soviet terang-terangan berpihak ke India. Celakanya, India sendiri masih dalam keadaan konflik dengan Cina. Dan Bung Karno pun mengirimkan pasukan, dengan tema resmi solidaritas Islam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini