Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Jalan Berliku Melepas Pangkat

Polri akhirnya merelakan sejumlah perwiranya menjadi penyidik tetap KPK. Masalah baru muncul dari kejaksaan.

22 Desember 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NOVEL Baswedan, 37 tahun, dan sepuluh perwira polisi lain resmi "pensiun" sejak akhir November lalu. Mereka mundur dari dinas kepolisian untuk menjadi pegawai tetap di Komisi Pemberantasan Korupsi. Alih status ini sempat menjadi polemik ketika mereka mengajukannya pada 2012, pada saat hubungan kedua lembaga memanas akibat pengusutan perkara korupsi simulator kemudi di Korps Lalu Lintas Kepolisian RI.

"Surat persetujuan Polri sudah dikirim ke KPK," kata juru bicara Polri, Komisaris Besar Agus Rianto, Rabu pekan lalu.

Novel Baswedan, menyandang pangkat terakhir komisaris, merupakan penyidik sejumlah kasus besar yang ditangani KPK. Ia pula yang memimpin penggeledahan Markas Korps Lalu Lintas Polri di Cawang, Jakarta Timur, pada 30 Juli 2012. Operasi ini memperoleh sejumlah dokumen, yang antara lain dipakai buat menjerat Inspektur Jenderal Djoko Santoso, mantan Kepala Korps yang ketika itu menjadi Gubernur Akademi Kepolisian.

Penetapan jenderal aktif menjadi tersangka ini memantik konflik kedua lembaga. Sebagai reaksi, Kepolisian menggerakkan sejumlah penyidik untuk menangkap Novel di gedung KPK pada 5 Oktober 2012 malam. Ia dijadikan tersangka untuk kematian tersangka pencurian di markas Kepolisian Resor Kota Bengkulu, tempat Novel bertugas delapan tahun sebelumnya.

Segera setelah hubungan Kuningan-Trunojoyo memanas, Novel dan 25 orang lain mengajukan alih status kepegawaian ke Markas Besar Kepolisian. Mereka antara lain Afief Yulian Miftach, Budi Sukmo, Irhamni, Anwar, dan Irwan Susanto, yang pernah membongkar kasus suap cek pelawat yang menyeret 26 anggota Dewan Perwakilan Rakyat periode 1999-2004. Mereka juga menyidik penyuapan bos PT Masaro Radiokom, Anggoro Widjojo, ke petinggi Kementerian Kehutanan.

Surat persetujuan Kepala Polri Jenderal Sutarman diberikan sebagai jawaban atas layang yang dikirimkan Ketua KPK Abraham Samad pada pertengahan November lalu. Berkurang dari jumlah awal, jumlah yang mengajukan diri menjadi pegawai tetap komisi antirasuah menjadi 15 orang. Kapolri hanya menyetujui permintaan 11 orang.

Mereka sudah delapan tahun lebih bertugas sebagai penyidik di KPK. Masa tugas mereka seharusnya masih tersisa setahun lebih, sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2012 tentang Sumber Daya Manusia KPK. Dalam aturan ini, masa kerja mereka di KPK maksimal sepuluh tahun.

Bukan pertama kali ini pemimpin KPK memohon Polri rela melepas anggotanya. Pada 2012, KPK memintanya, tapi ditolak Kapolri Jenderal Timur Pradopo. Setelah orang nomor satu di Kepolisian beralih ke Sutarman, baru kali ini Samad melayangkan permintaan yang sama.

Novel dan 14 rekannya mesti lebih dulu menemui Asisten Sumber Daya Manusia Polri Inspektur Jenderal Haka Astana M. Widya. Satu per satu diwawancarai bidang personalia polisi untuk diketahui motif mundur dari kepolisian. "Ya, semua diminta menghadap," kata seorang perwira yang beralih status, Rabu pekan lalu.

Syarat administrasi pengunduran diri mereka juga harus komplet, seperti minimal sudah sepuluh tahun menjadi polisi dan mengajukan surat pengunduran diri kepada Kapolri. Sutarman membenarkan telah mengharuskan mereka memenuhi semua syarat. Ia pun menganjurkan mereka berkonsultasi dengan keluarga sebelum memutuskan hengkang dari Polri. "Mengundurkan diri itu hak setiap orang," ujar Sutarman kepada Singgih Soares dari Tempo di Sekolah Pembentukan Perwira Polisi, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, bulan lalu.

Pemenuhan persyaratan itu tak semudah yang dibayangkan. Seorang ajun komisaris besar yang bertugas di Markas Besar Polri membisikkan, jalan terjal mesti dilalui rekan-rekannya karena Polri tak sepenuhnya rela melepas mereka. Pada saat surat permohonan Samad sampai di Mabes Polri, Jalan Trunojoyo 1, Jakarta Selatan, Kapolri tak legawa. Sejak awal memang Polri menolak penarikan itu. Dalihnya, 15 perwira tersebut sudah diplot di Direktorat Tindak Pidana Korupsi Badan Reserse Kriminal sekembali dari KPK.

Namun, menurut perwira itu, Samad tak tinggal diam. Dia menawarkan syarat berat, yakni boleh saja Polri menolak pengunduran diri asalkan pangkat mereka dinaikkan. Permintaan Samad memicu persoalan baru di tubuh Polri jika disetujui. Para perwira polisi yang sudah telanjur kembali ke Trunojoyo lebih awal akan cemburu.

Samad mengakui pernah melobi Sutarman soal penarikan para perwira ke KPK. Tapi dia menampik anggapan bahwa pendekatan itu mentok. "Tidak ada yang alot. Justru sekarang antara KPK dan Polri terjalin hubungan yang sangat harmonis," ucapnya. Sedangkan Agus Rianto enggan menanggapi pertanyaan seputar lobi Samad. "Semuanya sudah selesai," ujar Agus. Novel, yang dimintai komentar, membenarkan, "Ya, saya sudah pensiun."

Siasat KPK mempertahankan para penyidik dari Polri dimulai pada awal Oktober 2012. Ketika itu, pemimpin KPK mengangkat 28 penyidik polisi menjadi pegawai tetap lembaganya. Maksud pengangkatan ini agar mereka tenang sehingga tak khawatir akan ditarik paksa ke Trunojoyo.

Jurus itu dilancarkan setelah hubungan KPK-Polri memanas gara-gara pengusutan kasus korupsi simulator kemudi di Korps Lalu Lintas Polri. Mulanya, komisi antirasuah diam-diam mengusut proyek pengadaan simulator kemudi pada 2011. Setahun kemudian, KPK menemukan kerugian negara mencapai Rp 32 miliar dalam proyek beranggaran Rp 196 miliar itu.

KPK lantas menjadikan Kepala Korps Lalu Lintas Inspektur Jenderal Djoko Susilo dan wakilnya, Brigadir Jenderal Didik Purnomo, sebagai tersangka pada 27 Juli 2012. Tapi status tersangka dirahasiakan sampai penyidik menggeledah markas Djoko di Jalan M.T. Haryono 37-38, Jakarta Selatan, dua hari kemudian.

Pada awalnya, pencarian dokumen itu berjalan mulus. Masalah muncul ketika belasan penyidik KPK yang hendak meninggalkan kantor Djoko "disandera" sejumlah polisi bersenjata lengkap. Drama itu memaksa KPK membeberkan rasuah yang menjerat dua jenderal polisi tersebut. Para penyidik akhirnya berhasil membawa keluar 28 kardus bukti korupsi setelah desakan publik begitu kuat terhadap Polri dan lobi lima pemimpin KPK kepada Jenderal Timur Pradopo.

Permusuhan kedua lembaga itu kembali terjadi. Sebelumnya, perseteruan terjadi ketika Badan Reserse Kriminal menetapkan dua pemimpin KPK periode lalu, Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah, sebagai tersangka. Keduanya dituduh melanggar prosedur dalam penerbitan surat larangan bos PT Masaro, Anggoro Widjojo, pergi ke luar negeri. Anggoro adalah terpidana lima tahun penjara perkara suap terhadap pejabat Kementerian Kehutanan. Kasus kriminalisasi itu dikenal dengan sebutan "Cicak vs Buaya".

Polri juga melawan ketika KPK menjadikan Djoko dan Didik sebagai tersangka. Tiba-tiba Polri menarik 20 perwiranya yang menjadi penyidik di KPK, sebulan setelah penetapan tersangka itu. Karena takut, sebagian besar perwira tersebut memilih balik kandang. Hanya lima orang yang bertahan di Rasuna Said, kantor KPK.

Penarikan perwira polisi berulang sampai empat kali. Terakhir, ketika KPK memeriksa Djoko sebagai tersangka pada 3 Desember 2012, Polri mengirim surat penarikan 13 perwira, termasuk Novel Baswedan. Padahal Novel sedang memeriksa Djoko di lantai 8. Jumat keramat itu kian panas karena puluhan polisi berpakaian sipil dari Polda Bengkulu dan Polda Metro Jaya mengepung gedung KPK sejak sore sampai malam.

Para pengepung mengaku akan menangkap Novel, yang dituduh sebagai tersangka penembak pencuri walet hingga tewas pada 2004. Waktu itu memang Novel menjabat Kepala Satuan Reserse Kepolisian Resor Bengkulu. Novel menganggap perkara itu rekayasa antara lain karena peristiwanya sudah sangat lama dan tak dipersoalkan sebelumnya.

Ancaman terhadap KPK cepat tersebar lewat jejaring sosial Facebook dan Twitter. Ribuan orang pegiat antikorupsi yang menamai diri Semut Rangrang pun berdatangan ke Rasuna Said. Hasilnya, Semut Rangrang mampu menggagalkan penangkapan Novel. Meski begitu, penyidikan kasus yang dituduhkan terhadap Novel tersebut tak pernah dihentikan.

Konflik mereda setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono turun tangan. Dia menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2012 yang mengatur masa tugas polisi di KPK. Aturan itu sekaligus menggugurkan ketentuan delapan tahun masa tugas polisi di KPK berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2005.

Baru-baru ini, giliran Kejaksaan Agung memantik polemik dengan KPK. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Widyo Pramono mengatakan lembaganya hendak membentuk satuan khusus antikorupsi sehingga harus menarik sejumlah jaksa yang bekerja di KPK. Tim khusus ini berencana mengusut korupsi kakap yang ditangani Gedung Bundar. "Tujuannya untuk memperkuat kejaksaan," ujarnya Senin pekan lalu.

Meski belum tentu berhubungan, pernyataan Widyo itu muncul tak lama setelah Samad mengkritik politikus NasDem, M. Prasetyo, yang ditunjuk sebagai Jaksa Agung oleh Presiden Joko Widodo. Menurut Samad, penegakan hukum akan terganggu oleh konflik kepentingan jika Jaksa Agung dijabat politikus.

Namun Samad keburu geram. "Apakah memang Kejaksaan Agung kekurangan tenaga untuk melakukan penegakan hukum?" ujarnya menanggapi pernyataan Widyo.

Prasetyo lincah menjawab. "Yang ditarik hanya jaksa di daerah yang berpengalaman di KPK," katanya kepada Istman Musaharun dari Tempo. Menurut Widyo, lembaganya hanya akan menarik empat dari total 94 jaksa dari KPK. Mereka telah sepuluh tahun bekerja untuk KPK sehingga sudah saatnya balik kandang. Tapi dia tak memastikan kapan akan menarik mereka.

Rusman Paraqbueq, Maria Yuniar


Penghuni Kuningan Satu

Total Pegawai KPK: 1.102 orang
1. Empat pemimpin KPK: Abraham Samad, Bambang Widjojanto, Zulkarnain, Adnan Pandu Praja
2. 79 orang penyidik kepolisian, 5 di antaranya baru
3. 94 orang dari kejaksaan, 90 di antaranya penuntut
4. Jabatan struktural 3 orang
- Deputi Penindakan: Warih Sadono
- Kepala Biro Hukum: Chatarina Muliana Girsang
- Kepala Koordinator Sub-Penindakan
5. Penyidik tetap 11 orang, yaitu perwira polisi yang alih status
6. Selebihnya dari BPK, BPKP, Bea-Cukai, Direktorat Jenderal Pajak, serta pegawai yang diangkat

Sumber: KPK

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus