Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Bukit Luruh di Ujung Malam

Tak ada tanda dan peringatan menjelang bencana tanah longsor di Banjarnegara. Puluhan korban tewas belum ditemukan.

22 Desember 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HUJAN yang selama dua hari terus tumpah di Karangkobar, Banjarnegara, Jawa Tengah, berhenti pada Jumat siang, dua pekan lalu. Sinem, 55 tahun, tak membuang kesempatan. Dia memetik daun talas di pekarangan rumahnya di Dusun Jemblung, yang dihuni sekitar 300 penduduk. Ia berencana memasak buntil kesukaan suaminya, Suhaedi, 58 tahun.

Hujan sebelumnya membuat banyak penduduk tak bisa ke luar rumah. Hawa dingin menusuk tulang di tepi Bukit Tlagalele itu. Sebelum menjadi ladang singkong dan jagung, diselingi tanaman keras albasia dan perdu, lereng bukit itu merupakan hutan rakyat. Tlagalele terletak di sisi kanan permukiman, yang dibelah jalan raya Karangkobar-Dieng, akses utama penduduk setempat.

Ternyata terang hanya datang beberapa jam, dan setelah itu hujan kembali turun. Sinem masih berkutat di dapur ketika petang menjelang. Menjelang magrib, masakan untuk santap malam pun belum siap. Suhaedi belum tiba dari ladang, tak jauh dari tempat tinggal mereka. "Tiba-tiba ada suara bergemuruh. Keras sekali," katanya kepada Tempo, Rabu pekan lalu.

Sinem berlari keluar dari rumah yang berdinding gedhek atau anyaman bambu. Dua langkah dari pintu, ia masih belum tahu sumber suara gemuruh. Mendadak tubuhnya terhuyung ke depan terdorong oleh rumahnya yang ambles. Ia berusaha berlari. Cuma lima langkah. Dia terjerembap, lalu terdorong tiang listrik besi yang meluncur cepat dihanyutkan air dan lumpur.

Penduduk lain, Khotimah, 22 tahun, menyaksikan dengan jelas Bukit Tlagalele longsor menimpa perumahan warga Jemblung. Tempat tinggal perempuan yang sedang hamil tujuh bulan itu di lereng bukit, lebih tinggi daripada kediaman Sinem.

Khotimah sedang mengeringkan pakaian dan memetik sayuran di belakang rumah ketika itu. Suaminya, Juan, 25 tahun, dan Dafa, putranya yang berusia 8 tahun, sedang mengunjungi rumah mertua Khotimah yang terletak di bawah rumah mereka.

Khotimah gemetar. Dengkulnya serasa mau copot saat dia melihat tanah Tlagalele luruh dengan cepat. Ia buru-buru masuk rumah, menarik keponakannya yang mengidap difabilitas, Wawan Wahyuni. "Bukit itu bergerak dalam waktu lima menit," ucapnya. Cuma beberapa langkah di depan rumah, keduanya terseret tanah longsor hingga puluhan meter. Badan Khotimah tertimbun lumpur sebatas leher.

Longsoran juga menghantam mobil dan sepeda motor yang melintas di jalan raya Karangkobar-Dieng. Mobil bak terbuka yang dikendarai Suparno, contohnya, oleng diterpa batu dan gumpalan tanah, lalu terguling. "Saya membawa 13 penumpang," ujar pria 45 tahun ini.

Jeritan Sinem tak berarti. Dia menggapai apa pun untuk menyelamatkan diri dari dorongan lumpur yang begitu hebat. Akhirnya Sinem berhasil berpegangan pada mobil yang terbawa arus. Dia ikuti ke mana pun mobil meluncur. Hanya sekejap, arus lumpur membawa Sinem sejauh 300 meter dari rumahnya. Dia aman setelah mobil nyantol di tubir sungai.

Kejadian mencekam itu hanya berlangsung sekitar lima menit. Namun serasa berjam-jam bagi Sinem. Tubuhnya pun penuh luka dan terbungkus lumpur. "Saya seperti tempe yang dilumuri tepung sebelum digoreng," katanya. Tenggorokannya hampir dipenuhi lumpur sehingga ia terpaksa meminum air mentah untuk membersihkannya. Untunglah Suhaedi juga selamat. Mereka kini tinggal di lokasi pengungsian korban tanah longsor, Sekolah Dasar Negeri Sampang, sekitar dua kilometer dari rumah mereka.

Ceritanya lain untuk Khotimah. Hanya rumahnya berikut kebun jagung di halaman belakang yang selamat dari tanah longsor. Wawan juga aman. Tapi tubuh Juan dan Dafa terseret lumpur. Begitu juga empat penumpang mobil bak terbuka Suparno.

Bencana tanah longsor itu menimbun 35 rumah yang dihuni 82 keluarga di Jemblung. Total 108 orang diduga tertimbun tanah setebal empat-enam meter. Pemerintah mengerahkan 1.709 personel gabungan Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian RI, Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Badan Penanggulangan Bencana Daerah, Badan SAR Nasional, dan Satuan Kerja Perangkat Daerah. Sebanyak 2.355 relawan ikut turun tangan. Belasan alat berat juga dikerahkan untuk mencari korban.

Pencarian sejak sehari setelah kejadian terganggu hujan yang sering turun dari siang sampai sore. Ancaman longsor susulan beberapa kali menghentikan pencarian.

Hingga Kamis sore pekan lalu, tim gabungan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menemukan 87 korban tewas, yang terdiri atas 52 pria dan 35 wanita. Namun 20 di antaranya belum diketahui nama dan tempat tinggal mereka. Jasad empat penumpang mobil Suparno bisa dievakuasi. Sedangkan jasad suami dan anak Khotimah masih dalam pencarian.

Tim juga menemukan tiga korban di Sungai Serayu. Dua di antaranya terbawa hingga 10 kilometer dari lokasi tanah longsor. Tim sempat mengejar seorang korban anak-anak yang terbawa arus hingga 500 meter. Jasad korban bisa ditangkap di tengah derasnya aliran sungai.

Tak ada tanda-tanda dan peringatan tanah longsor di Jemblung. Peringatan dari pemerintah setempat justru untuk Dusun Pencil, Desa Karangtengah, Kecamatan Wanayasa, sekitar tujuh kilometer dari permukiman itu, tempat adik Sinem menetap. Sehari sebelum hari nahas Jumat dua pekan lalu, warga Pencil sudah mengungsi. "Eh, malah saya yang kena longsor," ucap Sinem.

Wakil Bupati Banjarnegara Hadi Supeno mengakui tak ada peringatan untuk warga Jemblung dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi di bawah Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. "Longsor tak bisa diprediksi," ujarnya Kamis pekan lalu.

Presiden Joko Widodo pun memerintahkan BNPB memasang sistem peringatan dini tanah longsor, khususnya di Banjarnegara, dalam Sidang Kabinet Terbatas Rabu pekan lalu. "Dananya dari BNPB," kata juru bicara BNPB, Sutopo Purwo. Badan ini pun akan menggelontorkan dana Rp 44,6 miliar untuk memindahkan rumah korban di Kecamatan Karangkobar dan Wanayasa.

Mayoritas wilayah Banjarnegara sangat rawan longsor. Menurut Hadi, 60 persen wilayah masuk zona merah, 30 persen kuning, dan hanya 10 persen yang hijau. Dia pun mengklaim pemerintah daerah selalu mendengungkan bahaya tanah longsor kepada warga sembari mensosialisasi pencegahannya.

Bulan ini terjadi 67 tanah longsor skala kecil. Bahkan, dua hari sebelum bencana di Jemblung, seorang tewas tertimbun tanah di Desa Sidengkok, Kecamatan Pejawaran. Pada Selasa pekan lalu, warga tiga dusun diungsikan karena daerahnya rawan longsor akibat retakan di tebing yang mengelilinginya, yakni Bakulan (Kecamatan Kalibening), Binangun (Karangkobar), dan Slimpet (Punggelan).

Bencana hebat juga pernah terjadi pada Januari 2006 di Kampung Gunungrejo, Desa Cijeruk, Kecamatan Banjarmangu, yang menewaskan 76 orang. "Di Banjarnegara, hampir tak ada yang aman dari bencana longsor," tutur Hadi.

Sinem berharap pemerintah membuatkan rumah baru untuk keluarganya di tempat lain. Kata dia, "Jauh tidak apa-apa, asalkan aman."

Jobpie Sugiharto, Pamela Sarnia, Aris Andrianto (Banjarnegara)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus