Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Janji adu janji sebelum nyoblos

Kampanye perdana ketiga kontestan di berbagai daerah. beberapa ketentuan dalam kampanye. larangan peserta membawa gambar atau lukisan. program yang dijanjikan dari PPP, PDI dan Golkar.

16 Mei 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KAMPANYE datang, janji pun terbilang. Inilah pepatah yang muncul setiap lima tahun sekali menjelang pemilihan umum. Apa yang terbilang sebagai janji-janji memang dilemparkan oleh ketiga kontestan pemilu dalam kampanye yang dibuka Ahad lalu. Artinya, kampanye bukan semata mengumpulkan massa. Bukan pula sekadar pamer kekuatan (show of force). Kampanye juga menjadi ajang bagi ketiga kontestan pemilu untuk meyakinkan massa agar mencoblos tanda gambarnya dalam Pemilu 9 Juni nanti. Bagaimana cara ketiga kontestan itu menarik massa? Banyak cara. Golkar, yang sudah empat kali memenangkan pemilu, mencoba meyakinkan bahwa kemajuan pembangunan sekarang merupakan realisasi janji-janjinya di masa lalu. Mulai dari sistem politik yang stabil, peningkatan pendapatan nasional, semakin kecilnya persentase orang miskin, sampai tersedianya prasarana jalan dan listrik sampai ke desa. Janji itu masih diteruskan dengan janji-janji baru lagi yakni "akan meningkatkan lagi". PPP dan PDI pun tak kalah dalam mengumbar janji, di balik serangkaian kritik atas lubang-lubang keberhasilan tadi. Soal kesenjangan sosial, ketidakadilan, kemiskinan, demokrasi yang tersendat, atau terlalu dominannya birokrasi dalam kehidupan sosial politik. Kedua partai ini tentu saja menawarkan angin surga kepada massa dengan janji akan membereskan itu semua. Memang, janji sering tinggal janji. Untunglah massa pemilih hampir tak punya keberanian menggugat juru kampanye di atas panggung dengan menagih janji. Massa lebih tergelora oleh pekik dan yelyel bersemangat, memakai kaus seragam, atau menonton artis yang dipamerkan di panggung kampanye. Demikian pula ketika mereka berada di bilik pencoblosan. Janji atau program partai, yang disimbolkan dalam tiga gambar yang dihadapinya, mungkin dilupakan. Keputusan mereka sering dipengaruhi oleh faktor lain, yang mungkin tak tampak dalam spanduk atau pidato para juru kampanye. Kontestan masing-masing tampaknya telah mempunyai pemilih tetap. PPP, yang menjadi simbol partainya orang Islam, setidaknya sudah mengantongi modal yakni kelompok Islam yang secara terus-menerus memang memberikan suara bagi partai itu. Mereka ini adalah orang Islam yang berpikiran sederhana yakni memberikan suara kepada partai yang menyimbolkan Islam. PPP juga akan diuntungkan oleh suasana kehidupan masyarakat yang semakin berIslam-Islam. Di samping, PPP tentu saja ingin menyerap anak muda dan pemilih baru yang bersikap "independen" dari orangtua mereka kalangan "mapan" dan di kota-kota. Golkar, setelah empat kali menang pemilu, kini memang tak tampak gencar menyerbu "pusat-pusat" Islam seperti pemilu pertama sampai ketiga. Ketika itu ibaratnya Golkar baru berhasil menyentuh "pinggiran". Kini Golkar merasa sudah mempunyai jalur ke intinya. Di samping itu pemilih tetap Golkar lainnya adalah kelompok birokrasi, kelas menengah dan atas yang mapan, yang telah terangkat sejak 25 tahun ini, dan masyarakat pedesaan yang sangat lekat dengan pengaruh pamong praja. Dengan dana dan pengaruh birokrasi yang begitu besar serta kaki tangan Golkar sendiri di lapis paling bawah di pedesaan, masyarakat yang tak terlalu bersoal tentang politik tentunya akan menjatuhkan pilihannya seperti pemilu sebelumnya. PDI tentu saja punya pemilih tetap yang lain. Daerah-daerah yang dulu pernah menjadi kantong Partai Nasional Indonesia (PNI), yang tak terkait langsung dengan birokrasi, menjadi salah satu modalnya. Tapi yang diincarnya terutama adalah mereka yang berada di "pinggiran" PPP dan Golkar. Di samping tentu saja anak muda yang berpikir kritis, ingin perubahan atau tak asal tak senang kemapanan. Kampanye sebenarnya hanya memperebutkan mereka yang masuk kelompok "bingung". Masyarakat lapis bawah di daerah kumuh kota besar yang tak terlayani oleh birokrasi atau bahkan sering berkonflik, misalnya soal penggusuran, penertiban, dan kutipan, termasuk menjadi rebutan. Buruh pabrik, pemuda menganggur di desa dan kota, mahasiswa dan cerdik pandai yang berpikir kritis, atau orang miskin yang merasa tak pernah terangkat oleh perwujudan janji-janji pemilu sebelumnya. Nah janji-janji itulah yang ditawarkan kepada massa pemilih. Ketiganya seolah menawarkan obat mujarab untuk menyelesaikan segala penyakit yang diderita kelompok masing-masing. Lewat kampanye 25 hari ini masyarakat pantas merenungkan, apakah yang ditawarkan itu benar-benar obat mujarab atau abab (omong besar) "mujarab". Ketiga kontestan boleh pandai-pandai menawarkan "dagangan"nya dalam kampanye. Tapi keputusan terakhir ada di tangan pemilih masing-masing. Karena pemilu merupakan saat-saat yang sangat berharga bagi rakyat untuk memberikan hak dan kepercayaan kepada partai yang dicoblosnya. Memberikan hak dalam bernegara dan bermasyarakat mengandaikan bahwa rakyat mengikat perjanjian. Kiranya layak bila mereka bisa selalu mempertanyakan hak-haknya manakala di kemudian hari justru dikesampingkan atau bahkan dikorbankan. A. Margana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus