Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Jualan bendera hijau, kuning, merah

Kampanye perdana menampilkan tiga ketua umum partai dan Golkar secara serentak di surabaya. ketiga kontestan sudah punya pemilih tetap. perebutan tinggal di pemilih "pinggiran". hasil pemilih tak beranjak dari sebelumnya.

16 Mei 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIGA "jenderal" partai politik dan Golongan Karya "bertempur" di Surabaya, Minggu lalu. Ini jelas bukan adegan film Surabaia 1945 tentang peristiwa 10 November 1945 yang heroik itu. Ismail Hasan Metareum, Wahono, atau Soerjadi tentu saja tak membawa bambu runcing atau bedil. "Senjata" utama dalam pertempuran tadi cuma ini: janji-janji pembangunan. Inilah awal masa kampanye Pemilihan Umum 1992. Dan rakyat Surabaya beruntung bisa menyimak "jualan" tiga peserta pemilu itu langsung dari tangan pertama. Berkumpulnya tiga "jenderal" itu saja di Surabaya sungguh menarik dan langka. Setelah perjumpaan Ketua Golkar Sudharmono dan Ketua PPP Naro di Aceh dalam kampanye 1987, di Surabaya itulah pertama kali tiga pimpinan kontestan bersaing di sebuah kota pada saat yang sama. Surabaya dan Jawa Timur agaknya memang "lahan" kursi yang subur. Di provinsi ini ada 21 juta pemilih dan 62 kursi, terbesar dibandingkan dengan 26 provinsi lainnya. Betapa pentingnya provinsi ini barangkali bisa dilihat dari persiapan ketiga bos OPP itu sebelum memulai masa kampanye. Orang nomor satu Partai Bintang, Buya Ismail, terbang dengan pesawat komersial dari Jakarta sehari sebelum kampanye dibuka. Malam harinya Buya langsung memimpin doa istighosah atau doa bersama di kantor PPP Jawa Timur. Pucuk pimpinan PDI Soerjadi merasa perlu pulang dulu ke kampungnya di Ponorogo sebelum berangkat dengan mobil ke Surabaya. Lain lagi Ketua Umum Golkar Wahono. Dengan pesawat khusus Hawker Siddley (HS) 125, berpenumpang hanya sembilan orang, milik seorang pengusaha muda kader Golkar, bekas Gubernur Jawa Timur dan Pangdam Brawijaya itu berangkat dari lapangan udara Halim Jakarta. Wahono tiba di Surabaya hanya dua jam sebelum kampanye dimulai. Sekitar 40 ribu massa kuning sudah menunggu Wahono di Stadion Gelora 10 November. Massa menunggu, apa lagi yang akan ditawarkan Golkar. Maklum, Golkar selama ini rupanya memilih low profile dan tak ngotot. Sekjen Golkar Rachmat Witoelar sudah sering menegaskan, tak akan ada isu menggelegar dari Golkar. "Golkar ingin menghilangkan kesan rekayasa suara dan segala bentuk penyimpangan. Golkar kembali ke aturan-aturan, baik tertulis maupun yang tak tertulis tapi boleh dilakukan," kata Witoelar. Wahono berulang kali menyatakan, "Golkar ingin menang secara kesatria, tak ingin menang dengan cara buto." Tujuannya, meningkatkan kualitas kader Golkar yang sudah dibentuk lewat berbagai langkah, jauh sebelum kampanye. Dalam pandangan Golkar, kampanye hanya salah satu jalan untuk peningkatan kader tadi. Jadi, tampillah Golkar seadanya. Selain empat yel -- "Golkar Menang", "Pancasila Jaya", "Pembangunan Terus" dan "Agama Maju" -- kampanye perdana Golkar di stadion di kawasan Tambaksari, Surabaya Timur, tadi berlangsung adem ayem. Kampanye para jurkam Golkar yang bicara soal keberhasilan pembangunan barangkali bukan barang baru lagi untuk hadirin yang sebagian besar adalah pegawai negeri, kader komisariat kelurahan, pengurus PKK, dan Karang Taruna. Sebagian datang untuk mencari hiburan dari para artis Golkar -- pagi itu yang naik panggung adalah Gito Rollies, Camelia Malik, dan Sundari Sukoco. Dengar saja komentar Taufan, 21 tahun, mahasiswa Universitas Hang Tuah Surabaya, koordinator Karang Taruna Simoredjo, Tandes. "Sesungguhnya, saya datang cuma untuk lihat hiburan. Ya, untuk ramai-ramai saja," ujar pimpinan 100 pemuda Simoredjo yang anak seorang purnawirawan ABRI ini. Dia juga tak yakin nanti akan nyoblos Golkar. Alasannya, "Wong Golkar itu seperti apa, saya belum jelas kok." Dua orang ibu dari Bhayangkari Surabaya Timur, yang enggan disebut namanya, sembari tersenyum bilang, "Wah, sekarang ini ketat. Kalau nggak bisa hadir diwajibkan untuk melapor." Toh tekad keduanya sudah bulat: akan menusuk Golkar. Sebab, "Suami saya digaji oleh Pemerintah." Seorang guru sekolah menengah pertama swasta juga memastikan akan mencoblos Golkar. Karena, "Saya harus jadi anutan untuk murid saya. Hasil pembangunan kan jelas kelihatan." Barangkali karena itulah massa Golkar ini seperti tak peduli pada siapa yang pidato di podium. Ketika Ketua Umum Wahono bicara soal berbagai keberhasilan dan kekurangan pembangunan di sana-sini, massa sudah mulai bergerak keluar stadion. Mereka memang sudah sejak pukul 06.30 bersiap di stadion. Acara kampanye perdana Golkar itu baru berubah semarak setelah Camelia Malik mendendangkan lagu dangdut Mabuk dan Judi yang lagi ngetop. Toh hampir separuh stadion sudah kosong ditinggal massa. Said puas dengan membanjirnya massa Golkar di hari pertama itu. Lebih lagi, dia memperkirakan banyak anak muda yang baru pertama kali akan mencoblos datang ke stadion itu. Golongan pemilih pertama, jumlahnya sekitar 17 juta dari 107 juta pemilih, memang merupakan pangsa pemilih yang dibidik Golkar. Jumlah pemilih muda seluruhnya sekitar 27 juta. Dari kadernya di Karang Taruna dan kader penggerak teritorial pedesaan (karakterdes), atau ormas pemuda yang berpayung ke Beringin, Golkar yakin jumlah pemilih muda sudah 14 juta di tangan. "Jadi, kami tinggal bekerja meraih 13 juta suara anak muda ini," kata Witoelar. Secara nasional, kata Witoelar, pemilih setia yang pasti mencoblos Golkar ditaksir berjumlah antara 62 juta dan 67 juta. Dan jumlah minimal yang akan dicapai Golkar, dalam perkiraan Witoelar, adalah 69% dari jumlah suara pemilih. "Bahkan tak mustahil Golkar mencapai 73% seperti pada Pemilu yang lalu," kata bekas aktivis mahasiswa ITB Bandung ini. Jumlah suara, menurut seorang pengamat, akan diraih Golkar dari golongan birokrat dan keluarganya, pemilih muda, dan suara golongan Islam yang beralih ke Golkar. Misalnya dari Nahdlatul Ulama (NU). Suara NU ini menarik diamati. Sejak kembali ke Khittah 1926, sebagai organisasi sosial kemasyarakatan pada 1984, NU membebaskan anggotanya untuk menyalurkan aspirasi ke mana pun. Namun, banyak pengurus wilayah NU yang berdiri di bawah Beringin. Ketika berlangsung kampanye perdana Golkar di Tambaksari tadi, Ketua Pengurus Wilayah NU Jawa Timur K.H. Syafei Sulaiman hadir bersama sekretarisnya, Soleh Hayat. Sulaiman bahkan diminta membaca doa penutup. Orang nomor satu NU Jawa Timur ini kemudian menengadahkan kedua telapak tangannya. Dia mendoakan agar kemenangan ada di tangan Orde Baru serta pembangunan nasional terus berlanjut di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. NU menyalurkan aspirasi ke Golkar? "Sebagai organisasi, NU tak ke manamana. Saya pribadi sudah punya pilihan yaitu Golkar," kata Soleh Hayat, Sekretaris NU Jawa Timur. Alasan Hayat, bergandengan tangan dengan Golkar setelah Pemilu nanti akan sangat menguntungkan NU. Dari pemantauannya, Hayat mengamati sudah ada sekitar dua juta anggota NU yang menyalurkan suara ke Golkar. Dua juta lagi memberikan suara untuk PPP. Sekitar 500 ribu ke PDI. Jadi, dari 11 juta umat NU di Jawa Timur, masih ada enam sampai tujuh juta pemilih yang merupakan massa mengambang. "Rembesan" dari kandang Banteng juga bermuara di Golkar. Di Jakarta, Pemuda Demokrat dari Kemayoran, misalnya, menyatakan bergabung dengan Golkar. Di Surabaya, dalam kampanye perdana Golkar, ada pula kelompok Pemuda Demokrat. "Kami akan nyoblos Golkar. Saya simpati pada Golkar yang memperhatikan generasi muda," kata Santoso, pimpinan PD cabang Krembangan. "Membelotnya" PD tampaknya tak akan banyak menggoyang Partai Banteng. Itu jika dilihat betapa "beringasnya" pendukung Partai Merah ini di Surabaya. Secara pas PDI merangkul massanya dengan gayagaya ringan yang enak, seperti "salam metal" dengan mengacungkan tiga jari. Atau mengajak massa berjoget dengan iringan lagu berlirik kritik sosial yakni Bongkar milik Iwan Fals. Yang masih saja "rindu" pada Bung Karno -- walau kebanyakan adalah anak muda yang tak pernah mengalami Bung Karno -- PDI menampilkan Guruh Soekarno Putera dan Megawati. Jelas, anak muda dan wong cilik adalah pasar yang dibidik Partai Banteng. Menariknya, tematema kampanye, yang dilempar dari atas panggung, seperti gayung bersambut dengan keprihatinan massanya. Soerjadi, contohnya, menyerukan agar kedudukan tukang becak di mata hukum disamakan dengan rektor atau jabatan lain. Ini sangat menarik untuk Slamet Ibrahim, 51 tahun, tukang becak di kawasan Bubutan, Surabaya. Simpatisan berat Partai Nasional Indonesia (PNI) ini bersama 30 koleganya secara sukarela menjadi anggota Satuan Tugas Pengaman PDI. Misnan, penarik becak dari Jolotundo, malah membuka tabungannya sejumlah Rp 100 ribu untuk memasang patung banteng di becaknya. "Karena, PDI partainya wong cilik, orang melarat," ujar Misnan. Maka bergabunglah para buruh, anak muda, sampai artis film seperti Karina Suwandi, Widyawati, dan Harry de Fretes -- pemeran Boim dalam Lenong Rumpi -- dalam Banteng. Yang agak memprihatinkan adalah PPP. Di hari pertama, kampanye PPP hanya dihadiri sekitar tiga sampai empat ribu di kawasan Nyamplungan, Surabaya basis PPP selama ini. Masyarakat pinggir kota itu, yang biasanya riuh rendah kini seperti lesu darah. Anak-anak golongan santri, belum lagi kelihatan menghadiri kampanye PPP. "Itu hanya karena panitia kurang persiapan," kata pimpinan PPP, Ismail Hasan Metareum. Masalahnya, dari 19 komisaris PPP di Surabaya belum semua mengerahkan anggotanya. Walau begitu, seorang penduduk Benowo di kawasan pesisir Surabaya Utara tetap akan menusuk PPP. Alasannya? "Ya, saya dari dulu nusuk Ka'bah dan Bintang," kata anak muda yang belum bekerja ini. Menurut pengamatan Daniel Dhakidae, pengamat masalah sosial politik, pilihan tetap akan jatuh pada PPP di daerah-daerah dengan basis Islam sangat kuat. Susahnya, golongan ini adanya di pegunungan atau desa terpencil. Misalnya, di daerah Tegal, Pekalongan, dan Aceh. "Jadi, yang memilih PPP adalah yang Islamnya sangat kuat. Meskipun tak boleh dilupakan bahwa tak semua orang Islam menganggap PPP sebagai wakil Islam," katanya. Daniel melihat PDI sebagai suatu "barang" yang mulai digandrungi sekarang ini. Sementara Golkar pilihannya pegawai negeri dan orang-orang kampung, PPP pilihannya Islam kuat, PDI akan menjadi pilihan kalangan menengah, mulai kelas bisnis, pengusaha muda, juga kaum profesional. "Golongan ini mulai bosan dengan Golkar, tapi merasa tak perlu berurusan dengan PPP. Mereka ini adalah orang yang lebih liberal dalam pemikiran, berpendidikan tinggi, dan tak terlalu butuh fasilitas pemerintah," kata Daniel. Barangkali, perlu ditambah dengan golongan wong cilik tadi. Maka, "Kalau tak terlalu banyak manipulasi, kaum muda akan lari ke PDI." Seorang pengamat yang dekat dengan Golkar menilai, PDI dan PPP mempunyai kans di daerah yang masyarakatnya tak puas dengan pelayanan aparatur pemerintah. Juga, di daerah yang masyarakatnya mandiri tak banyak tergantung birokrasi. Misalnya Jakarta. Atau di daerah yang infrastruktur Golkar -- berupa pengurus wilayah dan organisasi yang berpayung ke Golkar -- dan pemerintah tak mampu menjangkau tangan rakyat. Sebagai contoh, pengamat ini menyebut wilayah Jabotabek, dengan hadirnya kaum buruh yang biasanya kurang peduli pada urusanurusan politik. Ancaman Golkar kalah bisa terjadi di daerah sengketa yang melibatkan aparat pemerintah dan rakyat. Contohnya Tanah Merah Plumpang, Jakarta Utara, atau daerah kumuh yang digusur. Golkar akan menang di daerah yang ketergantungan pada birokrasinya tinggi, kata pengamat ini. Golkar juga akan aman di daerah yang infrastrukturnya kuat. Bisa juga di daerah yang pelayanan aparatnya bagus. Pengamat ini menilai, Golkar paling banter akan mencapai 73% suara seperti Pemilu 1987 lalu. "Tapi bisa juga turun sedikit, tak akan sampai drastis misalnya sepuluh persen," katanya. Dia memandang, PDI lebih punya peluang merebut suara banyak ketimbang PPP. "Soalnya, PDI itu jago memanage isu di lapangan selama kampanye," katanya. Namun, pengamat politik asal Universitas Gadjah, Mada Affan Gafar, melihat perilaku peserta kampanye biasanya tak sama dengan hasil coblosannya nanti. "Kalaupun ada, itu kecil sekali," kata Gaffar. Dia memandang, aturan main kampanye yang ketat, penekanan birokrasi, ruang gerak yang terbatas kurang menguntungkan bagi dua partai peserta Pemilu. Menurut Gaffar, hasil Pemilu kelak tak akan jauh beranjak dari Pemilu 1987. Artinya, Golkar tetap menang mutlak. Maka, ujar Gaffar, sesungguhnya Pemilu sudah usai. Toriq Hadad, Wahyu Muryadi (Jakarta), Reza Rohadian, Zed Abidien, Jalil Hakim (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus