ABRI ikut pemilu? Itu pendapat yang dilontarkan oleh Letnan Jenderal (Pur.) Sayidiman Suryohadiprojo melalui tulisannya di harian Kompas, Jumat pekan lalu. Menurut bekas gubernur Lemhanas itu, anggota ABRI sesungguhnya juga warga negara yang mempunyai hak memilih dan dipilih, sebagaimana warga negara lainnya. "Padahal, kondisi nasional sudah makin normal, sehingga tidak perlu lagi anggota ABRI ditiadakan hak dan kewajibannya untuk memilih dan dipilih," tulis Sayidiman. Pendapat yang menyinggung soal konsensus nasional dan dwifungsi ABRI ini pertama kali dilemparkan Sayidiman dalam seminar yang diselenggarakan PWI Jaya, 3 Februari lalu. Kemudian, menurut Sayidiman, karena timbul berbagai tanggapan, dan ada media yang menyiarkan pendapatnya secara kurang tepat, ia perlu menuliskan pikirannya itu secara utuh. Bahwa kini ABRI tak ikut pemilu, dasarnya adalah konsensus nasional setelah terjadinya G30SPKI. Dalam kondisi nasional yang sangat tidak normal pada waktu itu, konsensus itu diterima oleh rakyat dengan baik. "Meskipun sebenarnya, dilihat dari sudut konstitusi, pihakpihak yang menentukan konsensus tersebut belum cukup kedudukannya untuk dapat dianggap mewakili seluruh bangsa, untuk dapat menghasilkan suatu konsensus nasional secara sah," begitu Sayidiman. Konsensus nasional yang ia maksud adalah kesepakatan yang dicapai Presiden Soeharto dengan pimpinan sembilan partai politik dan Sekber Golkar pada tahun 1969. Isinya, antara lain, kesepakatan untuk menyederhanakan parpol. Kemudian disepakati pula ABRI tak ikut pemilu tapi diberi jatah 100 kursi di parlemen. Ketika itu, persepsinya ada kelompok atau golongan yang berupaya mengganti Pancasila dan UUD 45 dengan ideologi lain, melalui MPR. Nah, kursi ABRI tadi untuk mengamankan ideologi Pancasila dari kemungkinan itu. Sekarang, di saat stabilitas nasional begitu mantap, menurut Sayidiman, sudah waktunya konsensus tadi ditinjau kembali, karena hal itu pada hakikatnya tak sesuai lagi dengan jiwa UUD 1945 dan Pancasila. Peninjauan itu sudah perlu dilakukan dalam Sidang Umum MPR 1993, sehingga hasilnya bisa dilaksanakan mulai Pemilu 1997. Sayidiman tak setuju dengan pendapat yang mengatakan ABRI akan pecah bila ikut pemilu. Apalagi kalau dikatakan ABRI dapat melakukan kudeta dengan perpecahan itu. Ia menunjuk Jepang dan Jerman sebagai contoh. Di sana militer ikut pemilu, tapi nyatanya mereka tak pecah atau melakukan kudeta. "Memangnya manusia Indonesia lebih rendah mutunya dari manusia Jepang dan Jerman?" katanya. Selain Sayidiman, sebelumnya Jenderal (Pur.) Soemitro juga bicara soal dwifungsi ABRI. Dalam suatu diskusi di Jakarta, 15 Januari lalu, Soemitro punya gagasan yang lebih drastis: setelah tahun 1993, hendaknya ABRI memisahkan diri dari pusat kekuasaan. Bekas Pangkopkamtib ini menginginkan ABRI yang profesional. "Tak dibikin jadi bupati, gubernur, dan sebagainya," katanya pada waktu itu. Pada waktu itu pula, gagasan Soemitro segera ditanggapi Pangab Jenderal Try Sutrisno. "Kekuasaan itu berasal dari rakyat, dan ABRI adalah bagian dari rakyat. Jadi, kalau terpisah, ABRI itu bagian dari apa?" kata Try. Malah, Kepala Pusat Penerangan ABRI Brigadir Jenderal Nurhadi Purwosaputro menyebutkan kalau ABRI lepas dari pemerintahan, satu saat ABRI akan berontak. Yang lebih menarik, Presiden Soeharto sendiri turut menanggapi soal dwifungsi ABRI ini. Berbicara santai di depan 200 anggota Forum Komunikasi dan Konsultasi BP7, di peternakan Tapos, Bogor, Minggu dua pekan lalu, Pak Harto mengingatkan belakangan ini ada yang menginginkan fungsi sosialpolitik ABRI dihapuskan. Kata Pak Harto, "Ada pertanyaan, kapan ABRI kembali ke kandang\nya?" Keinginan menghilangkan fungsi sospol ABRI selaku stabilisator dan dinamisator itu tak mungkin terpenuhi. Sebab, keinginan itu, seperti dikatakan Presiden, sama dengan "diberi hati merogoh rempela". "Kalau rempelanya diambil, kan mati," kata Kepala Negara. Kalau sampai ABRI masuk kandang\, Pak Harto meramalkan, apa yang terjadi di Venezuela bisa terjadi di sini. Tentara menggunakan senjata karena tak puas pada suatu keputusan. "Ini berarti kup," kata Presiden. Dengan fungsi sospolnya sekarang, ABRI turut menentukan atau terlibat dalam proses mengambil keputusan, sehingga bila ada ketidakpuasan di ABRI terhadap keputusan itu, menurut Pak Harto, berarti ABRI tak puas terhadap dirinya sendiri. Dengan panjang lebar Presiden mengisahkan sejarah tercapainya konsensus di awal Orde Baru. Itu diingatkan Presiden sebagai suatu terobosan yang terpaksa diambil karena terjadinya kemacetan di lembaga konstitusi pada zaman yang belum stabil itu. Setelah semuanya sekarang stabil, Presiden tak menutup kemungkinan konsensus itu diubah. "Sekarang terserah kepada wakilwakil rakyat di MPR. Atau mungkin mau diadakan perubahan, kenapa tidak mungkin?" kata Pak Harto. Agus Basri, Priyono B. Sumbogo, Sri Indrayati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini