SETELAH mengunjungi Tokyo, Washington, dan New York, Menteri Luar Negeri Ali Alatas tiba di ibu kota Kanada, Ottawa, Senin pagi pekan ini. Sebuah perjalanan panjang yang digambarkan pers setempat sebagai ikhtiar memulihkan citra Indonesia setelah peristiwa Dili 12 November lalu. "Kami menghargai kunjungan Menteri Ali Alatas. Beliau yang mengambil prakarsa untuk berdialog dengan kami," ujar Dennis Laliberte, Kepala Seksi Indonesia di Departemen Luar Negeri Kanada. Boleh jadi Ottawa tak terlalu menyulitkan Ali Alatas dalam misi diplomatiknya ini. Sikap Kanada atas insiden Dili kini lebih positif. Hasil sementara Komisi Penyidik Nasional (KPN) dan tindakan Presiden Soeharto dalam menangani kasus Dili, menurut Laliberte, dihargai pemerintah Kanada. "Tapi kami masih tetap menanti laporan finalnya," ujarnya. Laliberte menegaskan lebih jauh bahwa pemerintahnya tak terpengaruh penilaian bernada minor yang dilansir banyak kalangan, di antaranya Amnesty International (AI). "Sikap AI tak sesuai dengan penilaian kami," ujarnya. Maka tak mustahil kunjungan Ali Alatas ini akan melicinkan jalannya bantuan Kanada untuk Indonesia, yang tahun ini direncanakan sebesar US$ 30 juta. Beberapa hari setelah peristiwa Dili, Kanada mengumumkan akan menunda rencana bantuan itu. Hasil yang paling melegakan dari rangkaian lawatan kali ini telah dipetik Ali Alatas di Tokyo. Seperti dikatakan Menteri Luar Negeri Michio Watanabe dalam pertemuan dengan Ali Alatas Senin pekan lalu, pemerintah Jepang akan tetap memberikan bantuan kepada RI seperti tahun-tahun sebelumnya. "Jepang tak akan mengubah kebijaksanaan kerja sama ekonomi dengan Indonesia," kata Watanabe. Pernyataan ini tentu merupakan kabar yang ditunggu-tunggu di Jakarta sebab Jepang merupakan penyumbang terbesar di antara negara-negara donor yang tergabung dalam IGGI. Ali Alatas tentu lega. "Bantuan kalau dikaitkaitkan dengan isu Timor Timur malah jadi tak produktif," ujarnya kepada pers di Tokyo. Dalam pertemuannya dengan Watanabe, Ali Alatas menjelaskan beberapa hal: pembentukan dan hasil yang dicapai KPN, tindakan Presiden Soeharto terhadap pejabat militer yang bertanggung jawab atas TimTim, serta sikap Indonesia yang menolak bantuan ekonomi bila dikaitkan dengan isuisu politik. "Pemerintah RI telah mengambil langkah yang tepat," komentar Watanabe. Yang menarik, Menteri Ali Alatas sempat dua jam berdiskusi dengan enam anggota parlemen Jepang yang mewakili "Kelompok Anggota Parlemen yang Peduli Masalah TimTim". Kelompok inilah yang selalu meributkan soal TimTim di parlemen negeri itu. Di antara mereka ada Satsuki Eda, Ketua Shaminren, Partai Persatuan Sosial Demokrat Jepang. Meski masih punya kritik terhadap penjelasan Ali Alatas, EdaSan tak mempersoalkan bantuan pemerintahnya kepada Indonesia. Berbekal hasil di Tokyo, Menteri Ali Alatas terbang ke Washington menemui koleganya Menteri Luar Negeri James Baker. Pertemuan ini agaknya lancarlancar saja sebab Amerika sejak semula tak bersikap keras dalam soal Dili. Buktinya, dalam draf bujet yang diajukan pemerintah ke Konggres beberapa waktu lalu, bantuan pendidikan militer untuk Indonesia masih sebesar tahun lalu, US$ 2,3 juta. Padahal Menteri Luar Negeri Portugal mengunjungi ibu kota Amerika ini beberapa pekan lalu kemudian disusul kunjungan delegasi Parlemen Portugal ke Konggres AS. Pemerintah AS konon memilih penyampaian kritik dengan diam-diam terhadap pemerintah Indonesia dalam kasus Dili dan itu dianggap lebih efektif. Potensi ancaman di sana memang masih ada: Konggres. Di sana ada Claiborne Pell, senator asal Rhode Island yang berusaha membuka debat soal TimTim di Konggres. Senator ini tampaknya harus menyalurkan aspirasi daerah yang diwakilinya. "Di Rhode Island, banyak warga keturunan Portugal," ujar seorang diplomat RI di Washington. Karena itu, menurut diplomat itu, Ali Alatas sengaja menemui sejumlah anggota Konggres AS. Lalu ia pun mengadakan jamuan makan dengan para wartawan di National Press Building, Washington, Kamis pekan lalu. Sehari sebelumnya, ia menghadiri undangan koran terkemuka Washington Post. Ada atraksi menarik di National Press Building. Allan Nairn dan Emy Goodman, dua wartawan Amerika yang berada di Dili saat insiden pecah, hadir di antara undangan. Keduanya, yang selama ini aktif menjelekjelekkan pemerintah Indonesia, sebenarnya tak diundang. Mereka bisa masuk ruangan atas izin Ali Alatas. Tapi akibatnya, acara itu didominasi debat sengit antara Ali Alatas dan Nairn, wartawan majalah New Yorker. Nairn bertahan bahwa penembakan itu dilakukan tanpa provokasi sedangkan Ali Alatas menyangsikan obyektivitas Nairn. "Anda tak mungkin menyaksikan semua yang terjadi di sana," kata Ali Alatas. Inti penjelasan Ali Alatas ialah menolak insiden Dili itu disamakan dengan peristiwa Tiananmen sebab kasus itu bukan kehendak pemerintah RI. Sedangkan Tienanmen terjadi jelas atas keputusan politbiro. Ia lebih suka menyamakan Dili dengan insiden di Kent State University, Amerika, atau Bloody Sunday di Irlandia beberapa tahun lalu. Ketika itu sejumlah demostran tertembak di tengah bentrokan antara polisi huruhara dan demonstran. "Hal semacam ini bisa saja terjadi di negeri maju sekalipun," katanya. Sikap terbuka Ali Alatas misalnya mau meladeni Nairn itu dipuji oleh banyak hadirin. Wartawati koran bergengsi New York Times, Barbara Crossette, misalnya. "Saya menilai Ali Alatas menangani masalah Timor Timur dengan cara yang simpatik," kata wartawati yang pernah dicekal masuk Indonesia ini. Putut Trihusodo (Jakarta), Seiichi Okawa (Tokyo), Toeti Kakiailatu (Vancoever), dan Bambang Harymurti (Washington)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini