KALAU terlaksana, apel akbar ini tentulah merupakan peristiwa paling kolosal sepanjang 26 tahun sejarah Orde Baru. Bayangkan, dua juta umat NU akan tumplekblek di lapangan parkir timur Senayan, Jakarta, 1 Maret yang akan datang. Mereka berdatangan dengan bus, kereta api, atau kendaraan apa saja dari Jakarta, Jawa Barat, dan seantero daerah Jawa lainnya menyemut mengerubuti Ibu Kota. Sampai akhir pekan lalu, persiapan di daerahdaerah tampaknya begitu bergelora. Jawa Timur, basis utama ormas Islam ini misalnya, menyatakan siap mengirim lima ribu anggotanya. Dari jumlah itu, dua ribu dari Barisan Serbaguna (Banser), anggota elite Gerakan Pemuda Ansor. Menurut rencana, mereka berangkat dari lapangan Kodam Brawijaya di Surabaya. Rapat akbar memperingati hari lahir NU ke66 ini bakal menghabiskan dana dalam jumlah akbar pula, sekitar Rp 5 milyar. Uang itu adalah sumbangan warga NU, simpatisan, dan para pengusaha. Untuk modal awal, menurut Ketua Umum Tanfidziah NU Abdurrahman Wahid, panitia sudah mengantongi Rp 3 milyar, pinjaman dari Abu Hasan, ketua panitia acara ini yang kebetulan pengusaha. Pemusik dan pengusaha Setiawan Djoni, misalnya, menyumbangkan pentas dan pengeras suara. Djodi bersama mubalig tersohor Zainuddin M.Z. dan penyair W.S. Rendra akan mengisi acara rapat akbar ini. Buat apa kerepotan mahal ini? "Untuk menenangkan suasana, mempersiapkan masyarakat NU memasuki pemilu dengan tetap berpegang pada khittah," kata pemrakarsa rapat akbar ini, Abdurrahman Wahid. Begini, menurut Gus Dur panggilan akrab tokoh ini NU sekarang melihat ada tendensi munculnya sektarianisme, eksklusivisme, dan kesenjangan sosial di masyarakat. "Nah, NU mau bilang sama rakyat, mari sederhanakan hidup kita, kembalikan ke UUD '45 dan Pancasila. Lupakan yang lain-lain," katanya. Karena itu, dalam acara nanti, ada pembacaan ikrar bahwa NU tetap melaksanakan kewajiban dan tugas yang dibebankan UUD'45 dan Pancasila. Ikrar itu akan dikirimkan kepada Presiden Soeharto. Ternyata masih banyak pihak yang tak bisa menerima maksudmaksud Gus Dur itu, termasuk orang dalam NU sendiri. "Kalau saya, sejak semula tak setuju. Tahun 1966, massa memang perlu dikerahkan untuk membubarkan PKI, menyegerakan pemilu, dan menyatukan umat Islam. Sekarang ini motivasinya apa? NU ini mau ke mana?" kata Chalid Mawardi, salah seorang ketua tanfidziah NU. Ketika PB NU mengadakan rapat untuk membicarakan gagasan Gus Dur ini, 9 Februari ini, tiga pengurus tak setuju. Salah seorang anggota pengurus PB NU mengatakan, di rapat itu Gus Dur sempat menyampaikan informasi bahwa Presiden Soeharto sudah menyetujui rencananya. "Menurut Abdurrahman Wahid, itu diketahuinya ketika ia menemui Pak Harto, Oktober tahun lalu," kata pengurus tadi. PB NU akhirnya menerima gagasan Gus Dur itu, tapi sesuai dengan usul Rais Am Ilyas Rukhiyat, nama apel dibuang. Jadinya: rapat akbar memperingati hari lahir NU. Soalnya, menurut Rais Am, pada waktu itu, istilah apel berkonotasi politis. Padahal NU sudah kembali ke khittah. Satu rintangan ini dilewati Gus Dur, muncul soal lain. Beberapa pejabat tinggi agaknya kurang sreg dengan upacara yang mengerahkan massa besarbesaran ini. Menko Polkam Sudomo, misalnya, "Kalau alasannya hanya untuk menyampaikan ikrar, sampaikan saja ke Menko Polkam, Mendagri, Pangab, atau ke Presiden," katanya. Mensesneg Moerdiono, yang pekan lalu sempat dua kali ditemui Gus Dur, tak keberatan dengan rapat akbar itu namun meminta NU mempertimbangkan baikburuknya acara itu dilaksanakan. Menteri Dalam Negeri Rudini membayangkan risiko yang bisa muncul dari konsentrasi massa sampai dua juta orang. "Lho, bayangkan, massa sebanyak itu kumpul, bisa kacau. Belum lagi kemacetan lalu lintas yang diakibatkannya," kata Rudini kepada TEMPO, Sabtu lalu. Pertimbangan Rudini itu berdampak rupanya. Sampai Senin pekan ini, surat izin untuk acara itu belum dikeluarkan polisi. Padahal PB NU sudah memasukkan permohonan ke Mabes Polri, 10 Februari ini. Surat izin baru keluar bila ada rekomendasi dari berbagai instansi, salah satu yang terpenting adalah dari Departemen Dalam Negeri. Apa izin tak akan keluar? "Saya masih akan membicarakannya dulu dengan Mensesneg, Menko Polkam, Pangab, Bakin, dan jajaran keamanan lainnya," kata Rudini. Yang jelas setuju adalah Pangab Jenderal Try Sutrisno. "Saya kira, dari segi aspek keamanan tak ada masalah asalkan semuanya mampu mengendalikan diri," kata jenderal itu. Menurut sumber TEMPO, sejumlah pejabat tinggi akan bertemu membahas rapat akbar ini, Rabu atau Kamis pekan ini. "Ketika itu agaknya soal surat izin itu difinalkan," kata sumber itu. Terlepas keluar atau tidanya surat izin, Gus Dur tampaknya berhasil memancing gairah baru bagi organisasi masyarakat, yang sudah hampir mati sejak politik massa mengambang diterapkan. Orangorang tua NU mungkin teringat ke bulan Januari 1966, ketika 100.000an massa NU memadati Stadion Utama Senayan untuk memperingati hari lahir ke-40 NU. "Itu betul-betul show of forces, untuk mendorong pemerintah membubarkan PKI," kata Yusuf Hasyim, Rais syuriah NU. Agus Basri, Wahyu Muryadi, dan Kelik M. Nugroho
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini