Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kalau saya brengsek, terus ...

Wawancara Tempo dengan Mendagri Rudini. dari konsepnya dalam melaksanakan tugas sebagai mendagri, reorganisasi di depdagri, organisasi politik yang mandiri, mengubah mental aparat, falsafah hidupnya, dll.

28 Januari 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJAK pertama menjabat sebagai Mendagri, Anda sering mengeluarkan berbagai pernyataan, yang "menyegarkan". Sebetulnya, apa konsep Anda? Begini. Dalam melaksanakan tugas sebagai Menteri Dalam Negeri -- menteri itu pemantu Presiden/Mandataris MPR -- landasan saya selalu adalah Pancasila, UUD'45, GBHN, dan petunjuk-petunjuk Presiden kepada saya pribadi selaku menteri. Ini semua saya olah. Kebiasaan di ABRI kalau menerima mission, walaupun mungkin mission itu hanya dua kata: "Bereskan itu", tapi itu harus dianalisa, dijabarkan dalam petunjuk-petunjuk dan pernyataan-pernyataan apa yang dikehendaki. Jadi, segala sesuatu itu hendaknya dipantau dan dikaitkan dengan pengalaman Pancasila dan UUD '45. Sekarang statement mengenai White House. Sebetulnya itu 'kan statement untuk mengingatkan pada golongan yang mampu agar jangan bermewah-mewahan di depan mata kelompok yang kurang mampu. Di situ tidak ada kata-kata yang meminta sebagian dari kekayaannya. Bahkan saya tidak melarang secara khusus kemewahan di dalam rumah itu tapi yang tampak di luar. Wong, banyak orang yang susah, kurang mampu membeli atau mencari lahan 150 m2 untuk rumah pribadi kok ini ada yang lahannya sampai 5.000 m2, satu hektar. Sebagai pembina stabilitas di dalam negri, saya melihat juga -- sebelum menjadi Mendagri -- adanya social gap yang sering dibicarakan orang, ditulis, atau diseminarkan, tapi langkah yang diambil tidak ada. Jadi, menurut saya, sekarang ini kita perlu lebih banyak berbuat untuk memperbaiki keadaan. Kalau saya, dalam waktu yang relatif singkat menyatakan ini-itu, ini tidak lain karena bekal yang saya terima selama tugas sebagai prajurit ABRI sampai KSAD. Sebagai prajurit ABRI, ya, saya tugas di macam-macam daerah, di pedesaan, sehingga saya tahu persis aparat pemerintahan sipil, apa yang harus dibenahi. Langsung tahu saya. Karena saya sudah memantau jauh sebelumnya sebagai prajurit. Jadi, pengalaman sebagai prajurit itu sangat bermanfaat. Apalagi prajurit ABRI 'kan orientasinya untuk kepentingan orang banyak, karena TNI itu, ya, tentara rakyat dari rakyat, untuk rakyat. Jadi, kalau kita mengambil keputusan selalu orientasinya rakyat. Kita lihat saja Pak Harto sebagai Presiden, 'kan orientasinya selalu ke kepentingan rakyat banyak. Reorganisasi ABRI dilakukan sewaktu Anda menjabat KSAD. Apakah Depdagri juga akan direorganisasikan? Ya, saya juga melihatnya di Depdagri sekarang. Menurut saya, untuk menghadapi tinggal landas ada dua masalah yang harus dimantapkan. Disiplin nasional dan sistem manajemen nasional. Dalam sistem manajemen nasional ini ada subsistem manajemen pemerintahan. Jadi, saya meninjaunya di situ. Saya melihat bahwa yang muda-muda ini kurang sistematis dibina untuk meningkat menjadi kader-kader yang lebih tinggi. Karena ini saya ajukan saran dan disetujui. Prinsip sekali (masa jabatan) harus benar-benar sekali. Saya melihat bahwa dua kali masa jabatan itu menghambat yang muda-muda untuk mendapat kesempatan pengalaman. Kader yang paling baik adalah kader yang mendapat pengalaman sebanyak-banyaknya, bukan yang mempunyai ijazah sebanyak-banyaknya. Kabarnya, banyak juga yang menentang kebijaksanaan ini. Memang banyak tantangan, karena banyak yang ingin dua kali. Tidak. Kalau memang baik, ya, naik jabatan, tapi jangan di satu tempat selama 10 tahun. Malah lama di satu tempat tempo-tempo menghasilkan hal-hal yang negatif. Sekarang saya juga membenahi sistem administrasi, jadi bagi personnya. Lalu saya membenahi sistem administrasi data, geografis demografis, sehingga tidak terjadi keputusan-keputusan yang tidak sesuai dengan lapangan. Contohnya, diputuskan, misalnya, suatu lahan untuk kontrak karya pertambangan. Ndak tahunya ternyata sudah bertahun-tahun banyak rakyat sudah berusaha di situ. Lha, ini 'kan berarti ndak ada data. Karena itu, saya instruksikan pada kepala desa, camat, agar membuat buku harian dan mencatat data-data. Data ini tiap minggu dilaporkan dari kepala desa ke camat, tiap bulan dilaporkan camat ke bupati, tiap tiga bulan sekali ke Depdagri, sehingga kita selalu punya peta pertambangan, peta perkebunan, peta ini-itu. Apakah pendataan seperti itu baru dilakukan sekarang ini? Ndak tahu. Mungkin dulu sudah ada. Mungkin saya melancarkan jalannya roda administrasi. Karena saya melihat kepincangan-kepincangan itu. Jadi inilah, andaikata sampai ada perubahan, itu pun ya perkembangan karena saya melihat itu. Maksudnya? Misalnya begini. Ada ketentuan ibu kota kabupaten harus di luar kota madya. Artinya itu mendirikan kota baru. Mahal itu. Uangnya bermilyar-milyar. Lalu saya pikir, lha kota itu pusat pemerintahan, politik, ekonomi, perdagangan. Mestinya kota itu berkembang. Nanti kalau sudah besar, diajukan jadi kota madya, dan memenuhi kriterianya. Sah. Lalu dia (ibu kota kabupaten -- Red.) itu keluar lagi dari kota madya. Lho, ini, ya, apa mau pindah-pindah terus? Saya bicara dengan staf saya di sini. Coba ajukan pada saya dasar yang bisa diterima bahwa ibu kota kabupaten itu harus keluar dari kota madya. Apa, sih, kebutuhan kabupaten? Gedung, kota, itu kan agar jalannya pemerintahan lancar. Apakah dengan kabupaten berada di dalam kota madya itu terus tidak lancar? Butuhnya Bupati 'kan kantor, apa butuh alun-alun? Sekarang zaman manusia sudah sampai di bulan, yang dibutuhkan kok alun-alun. Alun-alun bisa dipakai bersama, kalau untuk upacara, lapangan biasa saja. Terus saya katakan setop dulu. Yang sudah telanjur disetujui oke. Saya tangal 24 Januari ini meresmikan Slawi sebagai ibu kota Kabupaten Tegal. Tapi lainnya nanti. Dari sambutan yang muncul, tampaknya masyarakat sekarang ini memandang perlu adanya gebrakan-gebrakan. Saya kira ndak usah menggunakan kata-kata gebrakan. Tapi masyarakat itu ingin mendapatkan kepastian hukum tentang hak-haknya, dan ingin diperhatikan kepentingan-kepentingannya, jadi tidak bingung. Saya melihat itu, lalu saya canangkan untuk mengubah mentalitas aparatur Depdagri. Jangan bersikap sebagai penguasa, tapi bersikaplah sebagai pamong. Ini lebih komunikatif. Supaya lebih banyak mendengar dan menampung suara yang merasa diperlakukan tidak adil. Apa karena selama ini mereka kurang diperhatikan? Menurut saya, aparat ini kurang atensinya terhadap rakyat kecil. Ya, mungkin karena itu tadi, sikap, "Pokoknya yang berkuasa kan saya, yang berwenang saya". Ya, memang betul. Wewenang dan kekuasaan diberikan untuk melayani rakyat. Memang suatu ketika ada keputusan dari pemerintah setempat, tapi sebelum melaksanakan, 'kan harus diinformasikan. Misalnya, 'Saudara ini saya atur begini karena untuk tujuan itu, itu, itu. Jadi, mesti harus ada yang berkorban. Saya kira dengan begitu, kok ndak akan ada keributan. Soal tanah, ini bagaimana. Kenapa sering-sering rakyat sudah ditentukan ganti rugi sekian ribu setuju, terus unjuk rasa. Itu karena dia tahu, misalnya developer dapat tanah tiap m2 harganya Rp1.OOO. Ternyata, dia menjualnya Rp1O ribu. Lalu rakyat berpikir, "Lho, kenapa kok saya cuma diberi seribu". Nah, aparat harus menghindari itu. Jarigan menipu rakyat. Pernyataan saya yang terakhir menyatakan, kepala desa hendaknya lebih berani membela kepentingan rakyat. Mbok ya, pengusaha-pengusaha ini jangan hanya menghayati Pancasila, tapi juga mengamalkan. Mbok, merasa berdosa. Jadi, yang Anda inginkan perubahan sikap mental? Lha, itulah yang melatarbelakangi semua kehendak saya: mengubah mental aparat. Bukan sok-sokan. Betul. Bukan untuk cari popularitas, tapi saya ingin agar cepatlah kita adakan pendekatan pada masalahnya. Jangan dibiarkan begitu terus, rakyat mengeluh, capek kita. Sampai rakyat itu bilang, "Kita ini mbok dimanusiakan". Diwongke. Dari pernyataan-pernyataan Anda itu, apakah sudah ada dampaknya, positif maupun negatif? Ada memang dari kenalan-kenalan. Misalnya, "Apa ndak takut nanti dicopot?". Lho, nanti dulu. Saya jadi menteri 'kan saya ndak minta. Saya ini dipilih oleh Pak Harto, ditugaskan membantu beliau melahsanakan tugas Mendagri. Kalau suatu ketika saya ini brengsek terus diberhentikan, ya sudah. 'Kan itu memang wewenang Pak Harto, wong saya ini memang pembantu Presiden/Mandataris, kok. Jadi, kenapa takut. Kalau memang salah, menurut saya wajar kalau dicopot. Makanya, waktu menjabat, ya, jangan sok. Ya ndak boleh lupa teman. Jangan sampai lupa. Lupa ke atas kepada Yang Mahakuasa, kepada yang lebih tua usianya, lupa ke samping ke teman-temannya. Jangan lupa ke bawah yang dipimpin, jangan. Kalau ndak lupa ke siapa-siapa, waktu tidak lagi menjabat, no problem. Itu falsafah hidup Anda? Ya. Dan itu saya dapat dari perjalanan sebagai prajurit, dari senior-senior saya, banyak kebetulan yang dari Jawa Tenah, karena saya di Jawa Tengah 10 tahun. Anda sering bilang organisasi politik harus mandiri. Apa sebetulnya maksud mandiri itu? Mandiri itu maksudnya, suatu organisasi mampu membuat program-programnya dan mampu melaksanakannya. Nah, kalau melaksanakan, tentu ya menyangkut dana segala harus mandiri. Dalam permasalahan-permasalahan dia mampu menyelesaikan berdasarkan konstitusi yang berlaku di anggaran dasarnya. Pak Domo mengatakan bahwa suksesi kepemimpinan Indonesia nanti akan berjalan dengan mulus. Bagaimana menurut Anda? Menurut saya, dalam batas-batas tertentu, mulus. Artinya ini tergantung bagaimana kita menegakkan disiplin nasional. Peraturannya sudah ada. Lha kalau itu dilaksanakan, terus ada yang indisipliner, memaksakan kehendak tanpa melihat aturan permainan, ya tentu tidak mulus." Tapi apakah potensi untuk memaksakan kehendak itu ada? Ya, saya melihat, karena saya meninjaunya dari disiplin, ini belum kukuh. Dus, kemungkinan itu selalu ada. Tapi, ya, mudah-mudahan penilaian saya itu tidak benar. Saya menilai disiplin masih harus ditingkatkan. Seperti sampai -- bukan saya orientasi ke Amerika -- tapi di Amerika itu, menurut saya, kok pelaksanaan disiplin nasional sudah jalan. Kalau ada dua orang bertanding, begitu satu pihak tahu dia kalah, dia tidak terus ngotot. Maksud saya itu. Toleransi dalam rangka disiplin nasional. Ini satu bagian dari Indonesia yang Anda impikan? Kalau lebih jelasnya, apa impian Anda tentang Indonesia? Ya suatu bangsa dan negara yang warganya memiliki rasa tanggung jawab bersama, dan ada rasa saling menghargai kepentingan orang lain, sehingga tercipta disiplin nasional yang kuat. Sehingga, kalau menghadapi keluar, apa pun kekurangan Indonesia, setiap orang bisa bilang, right or wrong my country. Saya mencela warga negara Indonesia yang di luar negeri yang menulis dan menjelek-jelekkan Indonesia. Brengsek. Dia boleh melakukan kritik, tapi keluar, kita pertahankan nama baik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus