MENTERI Dalam Negeri Rudini orang Sumatera? Setidaknya begitulah kabar yang tersebar di Lahat, sebuah kota kabupaten di Sumatera Selatan. Rudini 59 tahun, konon berasal dari kota kecil itu, tapi kemudian berpisah dengan orangtua kandungnya setelah diangkat anak oleh orang lain. Sekarang di sana ia masih memiliki seorang kakak kandung bernama Rokayah, yang sehari-hari berjualan tauge di Pasar Lematang. Setelah menjadi jenderal, Rudini kemudian mengetahui kisah terpendam itu. Dikabarkan, ia terus-terusan diganggu mimpi bertemu dengan sang kakak, si penjual tauge. Oleh karena itu, ia mengirimkan ajudan ke Lahat untuk menjemput Rokayah dan membawanya ke rumahnya di Jakarta. Entah mengapa, menurut kisah ini, Rokayah cuma bersedia mengirimkan dua anaknya lewat ajudan itu. "Cerita itu sempat menjadi buah bibir masyarakat di Lahat. Siapa menyangka penjual tauge itu punya adik Jenderal," kata Ayuk, wanita asal Lahat yang kini menetap di Jakarta. Betul? "Ah, kisah itu sudah dibantah Pak Rudini beberapa waktu yang lalu," kata Feisal Tamin, Kepala Biro Humas Depdagri. Dalam sebuah acara tatap muka dengan masyarakat Sumatera Selatan di kantor gubernur di Palembang pertengahan September tahun lalu, Rudini membantah kisah leluhurnya versi Lahat itu. "Terima kasih, kalau ada orang yang mengaku saya ini anaknya yang hilang Tapi yang jelas saya bukan si anak hilang itu," kata Rudini. Sang menteri lalu menjelaskan sedikit asal-usul dan riwayat keluarganya. Memang inilah yang benar. Rudini dilahirkan di Malang, Jawa Timur, 15 Desember 1929. Ayahnya, R. Ismangun Puspohandojo, berasal dari Yogyakarta, tapi sebagai pegawai dinas pekerjaan umum zaman Belanda, sang ayah ditugaskan berpindah-pindah di berbagai daerah di Jawa Timur, dan yang terlama di Malang. Di sinilah Rudini menamatkan sekolahnya dari SD sampai SMA. Sang ayah sebetulnya menginginkan anak ini menjadi dokter. Sementara itu, Rudini selalu terkagum-kagum bila melihat tentara berdefile di kotanya. Ia ingin menjadi militer saja. Tapi pertimbangan yang menyebabkan ia memllih mihter sebagai kariernya lebih melihat pada kemampuan ekonomi orangtuanya. Ia anak ketiga dari sembilan bersaudara, dan ayahnya bukan pegawai tinggi. "Mana ada biaya untuk masuk perguruan tinggi?" kata Rudini dalam suatu percakapan dengan TEMPO empat tahun yang lalu. Niat itu menyebabkan ia jadi bahan ejekan teman-temannya. Bagaimana si Din (panggilan kecil Rudini) bisa jadi militer dengan tubuh yang pendek -- tingginya cuma 1,6 meter -- dan kecil. Ejekan itu rupanya malah membuat semangat Rudini menggebu-gebu untuk Jadi tentara. Ia ingin membuktikan pada teman-temannya bahwa mereka keliru mengukur kemampuannya cuma dengan melihat fisiknya. Begitu tamat SMA pada 1950, Rudini yang dikenal sebagai murid terpintar di kelasnya dalam mata pelajaran berhitung itu langsung mendaftarkan diri pada Akademi Militer di Yogyakarta. Pada waktu itu akademi militer ini sedang menerima siswa untuk angkatan ketiga. Tapi waktu Rudini mendaftar, rupanya kelas sudah penuh. Untung, kesempatan lain terbuka. Akademi militer kerajaan (Koninklijke Militaire Academie atau KMA) di Breda, Belanda, saat itu menerima murid yang dikirimkan oleh Akademi Militer Yogyakarta, dalam rangka kerja sama antara keduanya. Rupanya, kondisi fisik Rudini tak menjadi penghalang. Si jago berhitung ini lulus tes. Maka, sekitar Oktober 1951, bersama delapan rekan lainnya, Rudini diberangkatkan ke Breda. Di sana mereka bergabung dengan sejumlah siswa asal Indonesla yang sudah berangkat lebih dulu, sehingga dalam angkatan ini siswa asal Indonesia ada 36 orang. Di antaranya Mayor Jenderal Subiyakto, kini Gubernur Lemhanas, serta beberapa bekas pejabat tinggi Hankam ABRI seperti Mayor Jenderal (Purn.) Theo Soemantri, Brigjen. Daryono, dan Brijen. Karma Soeparman, bekas Wakil Irjen Mabes Angkatan Darat yang kini menjadi staf di Lemhanas. "Penampilan Rudini waktu itu sungguh tak meyakinkan. Tubuhnya kecil, suaranya pelan, dan wajahnya masih seperti anak-anak," kata Karma Soeparman mengenang. Di sana mereka membentuk tim dayung untuk mengikuti pertandingan di antara para kadet, dan Rudini ditunjuk sebagai juru mudi. Itu rupnya lebih cocok dibanding sebagai pendayung, yang membutuhkan fisik yang lebih kekar. Setelah satu tahun di sana, fisik para siswa digojlok. Selama empat hari mereka melakukan long march tanpa henti. Rata-rata setiap hari mereka menempuh jarak 60 km, melintasi bukit dan sungai di selatan Belanda. Menurut Karma Soeparman, dalam perjalanan yang berat ini kaki Rudini sempat hancur. Tapi yang jelas ia tetap mencapai finis. Rudini sendiri beberapa tahun yang lalu mengisahkan betapa ia sering menjadi ejekan teman-temannya sesama siswa KMA Breda. Ia memang selalu kesulitan untuk menyetir mobil disebabkan tubuhnya yang kecil. Karena itu, bila menyetir mobil Rudini selalu membawa bantal untuk mengganjal pantatnya agar ia menjadi lebih tinggi. "Teman-teman mengejek saya, kamu mau nyetir atau mau tidur," kata Rudini bernostalgia. Karena postur tubuhnya itu pula, ketika masuk di Breda, ia memilih jurusan perhubungan. Ternyata, setelah menjalani psikotes, jurusannya dipindahkan ke infanteri. "Saya pikir, masa, saya sekecil ini masuk infanteri. Infanteri itu 'kan orangnya besar-besar badannya," ujar Rudini. Nyatanya, psikotes itu tak keliru. Rudini berhasil menamatkan pelajaran di jurusan yang berat itu empat tahun kemudian. Bahkan terbukti di belakang hari ia menjadi salah seorang alumni Breda dengan karier yang paling menonjol. Dialah satu-satunya alumni KMA seangkatan yang berhasil menjadi Kasad. Kok, bisa? "Be yourself. Jangan suka membonceng, mengambil muka pada atasan. Sebab, orang yang membonceng tak akan bisa berjalan jauh. Suatu ketika yang dibonceng berhenti, maka orang yang membonceng itu juga akan berhenti, kleleran, telantar. Itu sudah banyak terbukti," kata Rudini kepada wartawan seusai dilantik Presiden Soeharto menjadi Kasad, Maret 1983. Rudini rupanya selalu memiliki rasa percaya diri. Ia amat marah pada orang yang minta-minta tolong agar diberi jabatan, misalnya, atau kepada perwira-perwira yang menulis surat pada atasan merengek-rengek minta dispensasi agar diluluskan. "Itu namanya perwira gombal," katanya. Rudini bercerita, semasa ia menjabat Kasad ada perwira yang menemuinya dengan membawa surat dari seorang pejabat agar yang bersangkutan mendapat dispensasi untuk masuk Seskoad. Sebetulnya dilihat dari peringkatnya perwira itu mestinya layak diterima. Tapi Rudini kontan mencoret nama perwira itu. "Buat apa perwira yang tak percaya pada diri sendiri seperti itu," katanya. Rudini memang telah membuktikan bahwa fisiknya tak menyebabkan ia harus kalah dari teman-temannya yang memiliki fisik yang lebih kekar dan besar. Suatu kali sewaktu masih berpangkat letnan satu, ia pernah bertugas di sebuah daerah terpencil di Palopo, Sulawesi Selatan, untuk menumpas pemberontakan Kahar Muzakar. Pertama sampai di situ ia sudah dilecehkan anak buahnya. Mereka bisik-bisik di belakangnya. "Mau apa letnan kecil ini," kata mereka seperti kemudian diceritakan Rudini. Rudini kemudian mengajak anak buahnya melakukan patroli dalam jumlah kecil lima orang yang tak pernah dilakukan di sana. Biasanya setiap berpatroli paling sedikit satu regu, karena kawasan itu memang rawan dari serangan pemberontak. Rudini sendiri turut memimpin patroli-patroli kecil itu. Sejak itu pula anak buahnya mengakui keberanian sang komandan. Pulang dari Breda, 1955, dengan pangkat letnan dua, Rudini memulai karier militer sebagai komandan peleton Batalyon 518 Kodam Brawijaya di Malang. Pada tahun itu pula ia diberangkatkan ke Sulawesi Selatan, turut serta menumpas pemberontakan Kahar Muzakar. Setelah dua tahun, ia kembali ditugaskan di kota kelahirannya. Pada 1959, tugasnya dialihkan dari pasukan menjadi pelatih taruna AMN di Magelang. Di kaki Gunung Tidar inilah Rudini menemukan Oddyana kini 51 tahun, gadis asal Cirebon yang waktu itu menetap di Malang bersama orangtuanya. Mereka menikah pada 1959, dan kini mendapat seorang putra dan dua putri. Yang sulung, Mirna Adriani, sarjana psikologi UI, kini belajar komputer di Los Angeles, AS. Kemudian Arif Haristiono bulan depan akan diwisuda di Fakultas Ekonomi UI. Sedang si bungsu Dewi Nandiri masih belajar di sebuah SMA di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Cukup lama ia bertahan di AMN Magelang, yang banyak mencetak para pimpinan ABRI itu. Kasad Jenderal Eddy Sudrajat, misalnya, atau Menteri Transmigrasi Soegiarto dan Kasospol ABRI Letjen. Harsudiono Hartas adalah produk kampus yang terletak di kaki Gunung Tidar ini, sebagai angkatan pertama, 1960. Tapi yang bisa disebut sebagai anak didik langsung Rudini di antaranya ialah Wakasad Letjen. Sahala Rajagukguk, Gubernur Sumatera Utara Mayor Jenderal Raja Inal iregar, dan Sekjen Depdagri Mayjen. S. Noegroho. Mereka terbilang angkatan kedua AMN yang tamat 1961. Tak kurang dari delapan tahun Rudini berada di AMN. Menurut Karma Soeparman, adalah bekas Menko Polkam Surono yang kemudian menarik Rudini kembali ke pasukan. Surono adalah Gubernur AMN Magelang, 1964-1966, dan kemudian Pangdam Diponegoro (1966-1969). Semasa Surono menjabat Pangdam itulah, 1967, Rudini diangkat sebagai Wakil Komandan Batalyon 401/Banteng Raiders, Kodam VII Diponegoro, di Srondol, Semarang. Sejak itu karier Rudini terus melejit: ia menjadi kepala staf dan kemudian Komandan Brigade Infanteri 18/Linud Kostrad, 1972-1974. Pada masa inilah ia ditugasi sebagai komandan kontingen pasukan Garuda ke Timur Tengah (1973). Di Kostrad rupanya Rudini cukup lama bertahan. Ia menjadi Komandan Komando Tempur Lintas Udara (Linud) Kostrad (1976). Rudini pernah ditugasi ke Tim-Tim, 1975. Kemudian ia menjadi Kepala Staf Kostrad (1977-1978), dan Komandan Kostrad (1981). Pada Februari 1983, pangkatnya naik menjadi letnan jenderal. "Saya pikir, inilah pangkat saya yang tertinggi," kata Rudini. Ternyata, bulan berikutnya, Maret 1983, ia dangkat menjadi Kasad. Banyak orang yang kaget pada waktu itu, karena Rudini merupakan orang kedua setelah Mayor Jenderal Soeharto (kini Presiden) yang meloncat dari Panglima Kostrad menjadi Kasad. Ketika pada 1986 ia menyerahkan jabatan itu kepada Letjen. Try Sutrisno, dan Rudini yang ketika itu berpangkat jenderal serta belum pensiun, ternyata ia tak memegang jabatan apa-apa. Orang lalu menduga, karier Rudini sudah berakhir. Setahun kemudian ia pun dipensiunkan. Kegiatannya waktu itu hanyalah mengurus karate -- sampai sekarang ia Ketua Umum FORKI -- selain memimpin Tri Usaha Bhakti, perusahaan yang antara lain memiliki HPH untuk menyantuni pembangunan asrama prajurit dan berbagai kebutuhan TNI-AD lainnya. Ternyata, dalam susunan Kabinet Pembangunan V, Maret 1988, nama Rudini tercantum sebagai Menteri Dalam Negeri. "Ketika dipanggil Presiden, saya kira saya akan diangkat menjadi Menhankam," kata Rudini, yang rupanya ikut kaget akan pengangkatan itu. Betapa tidak? Ia sekarang membawahi para gubernur, bupati, sampai lurah. Ia pula pembina politik dalam negeri. Semua tentu membutuhkan keterampilan tertentu. Padahal, sepanjang kariernya, Rudini terus berkubang di pasukan tempur. Ia hampir tak pernah memegang jabatan teritorial seperti Komandan Kodim atau Korem. Ia hanya sempat menjadi Pangdam XIII/Merdeka di Manado, 1978-1981. Tapi sifat ketelitian dan kerapian yang dimilikinya tampaknya cukup membantu kariernya. Sebagai Kasad ia menyempurnakan sistem pembinaan personal di jajarannya. Di meja kerjanya waktu itu ada sebuah pesawat komputer yang berisi data personalnya. "Kalau Pangab bertanya berapa kolonel yang sudah masuk Lemhanas, tinggal saya pencet saja, dalam beberapa detik jawaban yang tepat sudah diperoleh," kata Rudini, yang gemar elektronik itu. Semasa muda ia juga suka menyanyi dan bermain organ. Selain itu, seperti dikatakan Soeprapto, Dirjen Perikanan, yang menjadi Irjen Mabes AD semasa Rudini menjadi Kasad, "Pak Rudini itu tegas, keras, berani, dan konsekuen." Paling tidak, hal itu dilihat Soeprapto ketika Rudini melancarkan Operasi Kartika, yang menghantam korupsi dan manipulasi di lingkungan Angkatan Darat. Operasi ini dilancarkan 6 Juni 1983, dan mengakibatkan 24 pejabat di lingkungan TNI-AD terkena tindakan. Operasi ini sempat berjalan dua gelombang -- Operasi Kartika I dan Kartika II -- berakhir pada Januari 1985. "Karena pengawasan melekat sudah jalan dengan dilancarkannya Operasi Kartika," ujar Rudini ketika itu. Pada masa Rudini sebagai Kasad itu berlangsung reorganisasi ABRI yang dinilai sukses itu. Tapi ia juga diterpa berbagai macam isu. Misalnya, asal usul leluhurnya dari Lahat itu. Ia pula diembuskan memiliki beberapa rumah mewah, padahal sampai sekarang ia masih tinggal di rumah dinas ABRI di Jalan Fatmawati, Jakarta Selatan. Sehari setelah namanya diumumkan menjadi Mendagri, ia segera mengumpulkan anak-anak dan sanak familinya. "Di situ ia berkata bahwa tidak akan memberi fasilitas pada saudara-saudaranya. Ia hanya mau dihubungi oleh sanak keluarga hanya sebagai Rudini, bukan sebagai Menteri," kata salah seorang keponakannya. Penggemar olahraga tenis dan golf ini mengaku sering marah pada aparat bawahannya, yang mau membantu seseorang cuma karena mengaku-ngaku familinya. "Gubernur atau bupati, saya suruh menelepon saya bila didatangi orang seperti itu," kata Rudini.Amran Nasution, Ahmadie Thaha
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini