Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Rudini, di tengah kata & kenyataan

Mendagri rudini menarik perhatian masyarakat dengan ucapan & kritikannya yang blak-blakan. profil dari sosok rudini yang berbicara tentang rumah mirip "gedung putih", perlunya parpol mandiri, rakus.

28 Januari 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ANDA punya rumah mewah bak Istana Presiden Bush? Atau tanah berhektar-hektar? Bersiaplah. Menteri Dalam Negeri Rudini, dengan kata-kata bagaikan air bah awal tahun, telah datang menenggelamkan rasa nyaman Anda. Setidaknya sampai beberapa jam, mungkin sampai beberapa hari. Tapi siapa tahu. Pada mulanya memang kata, dan kata menjadi berita. Akhir-akhir ini, itulah yang terjadi dengan Rudini. Tapi bukannya tanpa dasar. Ia menarik perhatian karena suaranya menyentuh soal yang selalu laten hidup di masyarakat Indonesia, yakni keadilan. Pilihan waktunya juga tepat, misalnya ketika -- seperti kali ini -- orang sibuk bicara tentang pajak. Contohnya seusai ia menghadap Presiden Soeharto di Bina Graha, Jakarta, Sabtu pekan lalu. Ia waktu itu datang bersama dengan para gubernur yang baru selesai mengadakan rapat kerja. Tanah dan bangunan di daerah yang tak dibayar pajaknya karena pemiliknya tak berdomisili di situ akan disita oleh negara. "Tidak mau bayar pajaknya berarti tak mengakui bahwa tanah atau bangunan itu miliknya," kata Rudini, seperti memaklumkan idenya lewat para wartawan. Ia mengingatkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, yang memungkinkan pemerintah untuk melakukan penyitaan seperti itu terhadap milik orang yang tak mau membayar pajak. Memang diakuinya bahwa belum ada ketentuan yang mengatur batas waktu menunggak pajak, agar penyitaan bisa dilakukan. Tapi untuk itu Rudini sudah mengusulkan kepada Menteri Keuangan: bila ditagih tiga kali berturut-turut seseorang tetap tak juga membayar PBB (pajak bumi dan bangunan), maka tanahnya akan disegel. Ini, kata Rudini, ditujukan terhadap tanah pertanian milik orang kota yang tak produktif, suatu ketimpangan ketika para petani membutuhkan tanah garapan. Dengan kata lain, ini menyangkut soal keadilan. Dalam semangat yang sama, sebelumnya Rudini juga menyerukan agar rumah mewah dengan pekarangan yang luas serta tanah luas tak produktif milik orang kota agar dikenai PBB khusus -- bila perlu sebesar 100 kali dari biasa. "Rumahnya saja sudah berharga milyaran rupiah. Maka, pantas bila dikenai pajak Rp 200 juta, misalnya," katanya di depan peserta Rakornas Dinas Pendapatan Daerah se-Indonesia di Balai Kota Surakarta, 12 Januari lalu. Menurut Rudini, para pemilik tanah jenis itu adalah orang yang "tidak punya pola pikir Pancasilais". Mereka membeli tanah itu cuma dengan harapan untuk menjualnya lagi bila harga tinggi. Padahal banyak rakyat yang tak bertanah. "Maka, pukul saja mereka dengan pajak setinggi-tingginya," serunya. Rudini memang tak cuma bicara tentang rumah ala White House dan tanah milik orang kota. Dalam rapat gubernur terbatas yang diadakan di Jakarta pertengahan Mei lalu, Menteri ini juga mengajukan ide pembatasan yang lain. Ia menentukan untuk membatasi jabatan bupati dan wali kota cuma satu kali masa jabatan. Hanya dengan memenuhi kriteria yang amat selektif seseorang bisa mengulangi masa jabatannya yang kedua (lihat wawancara hal 18). Rudini nampaknya memang ingin memberikan citra yang lebih baik bagi aparatnya -- dengan menjaga mereka dari kemungkinan penyelewengan karena terlalu lama berkuasa. Tentu saja ada kritik terhadap gagasan pembatasan waktu itu: justru karena hanya boleh sekali masa jabatan saja, seorang petugas akan bersikap "mumpung berkuasa" sebelum diganti. Menurut analisa para ahli, masalahnya yang sebenarnya adalah tak adanya kontrol. Dan kontrol itu tak seharusnya cuma datang dari atas. Mungkin karena itulah Rudini, yang sebagai Menteri Dalam Negeri bertindak juga sebagai "pembina politik di dalam negeri", berbicara lebih jauh lagi. Ia mengimbau organisasi politik agar mandiri. Harapan itu ia sampaikan di depan Rapim PDI di Yogyakarta, 9 Januari 1989. Mandiri artinya organisasi itu mampu menyelesaikan masalah yang ada sesuai dengan konstitusinya. Ini mungkin juga berarti tidak bisa dicampurtangani oleh kekuatan luar, termasuk pemerintah. Mungkin berbagai gagasan Rudini itu masih perlu dilihat kapan bisa dilaksanakannya. Tetapi sejauh ini, bagi masyarakat, yang kangen akan gerakan politik untuk menghidupkan kembali kegairahan bernegara, ucapan Rudini terasa segar -- meskipun, seperti sudah bisa diduga, akan ada yang menganggapnya "sensasional". Oleh para pengritiknya, Rudini bahkan diduga punya motif lain dengan bicara seperti itu -- entah apa. Tapi bagaimanapun ia disambut gembira. Sekjen PPP Mardinsyah melihat kepemimpinan yang dijalankan Rudini "berorientasi ke bawah". Di samping itu, ada keinginannya yang kuat agar semua peraturan yang ada dilaksanakan dengan konsekuen. "Lihat saja pernyataannya soal anti-pamer kekayaan, pembangunan rumah-rumah mewah dan sebagainya itu," kata Mardinsyah. Dalam soal yang menyangkut kemandirian organisasi politik, menurut Mardinsyah, "Rudini berusaha mengurangi terjadinya kolesterol politik," katanya. "Kolesterol politik" ini memang istilah yang dipakai dalam kritik yang dilontarkan oleh Ketua Umum PPP Jailani Naro terhadap tersekatnya saluran aspirasi dari bawah ke dalam birokrasi pemerintah, gejala yang umum dirasakan dewasa ini. Setidaknya oleh PPP. Menurut Naro, pada peringatan hari lahir PPP 5 Januari yang lalu, organisasi politik yang ada -- ia tak menyebut Golkar atau lainnya -- ditopang oleh birokrasi, hingga pembagian peran birokrasi dengan peran orpol jadi kabur. Alur pikiran yang kritis dan korektif pun tersumbat "kolesterol" itu. Sementara itu, mandiri, bagi organisasi seperti PPP dan PDI, memang bukan soal gampang. Seperti dikatakan Ketua Umum PDI Soerjadi, ketidakmandirian yang terjadi selama ini bukan cuma disebabkan oleh adanya ambisi pribadi-pribadi yang takut kehilangan kesempatan dan fasilitas. Juga, kata Ketua PDI itu pula, "karena adanya konsep-konsep tertentu yang sengaja dibuat untuk menciptakan kondisi tidak mandirinya orpol itu." Sebab itulah, kata Soerjadi, sikap Rudini perlu didukung. Suara Rudini penting, sebab datang dari seorang yang berperan selaku pembina politik dalam negeri. "Tentu lain itu artinya kalau yang ngomong ketua partai," kata Soerjadi. Menurut perkiraannya, pandangan Rudini mencerminkan adanya "perubahan kualitas sikap pemerintah". Artinya, kata Ketua Umum PDI itu, "Saya tak melihat ini sekadar pernyataan pribadi Pak Rudini." Soerjadi tak menjelaskan seberapa jauh dugaannya itu berdasar. Tapi jika dari Golkar juga ada sambutan buat Rudini, siapa tahu Soerjadi benar. Setidaknya, ucapan Rudini adalah ucapan yang ingin dikatakan banyak orang, juga di pemerintahan. Sekjen Golkar Rachmat Witoelar, misalnya, mengakui kalau dari pernyataan-pernyataannya itu terlihat keinginan Rudini untuk meluruskan apa yang belum beres, dan itu disampaikannya dengan bahasa yang sederhana, segar, dan tak rancu. "Ia memberikan inspirasi pada kita untuk melakukan hal yang sama," kata Rachmat. Dan nampaknya ada gema di aparat. Gubernur DKI Jakarta Wiyogo, yang selama ini memang dikenal suka "menggebrak" berbagai kemacetan di daerahnya, misalnya, amat gembira pada tembakan Rudini terhadap rumah mewah dan tanah-tanah kosong itu. "Saya setuju. Sangat setuju," katanya tegas. Dalam penarikan PBB tanah-tanah kosong selama ini Wiyogo mengakui menghadapi masalah, terutama dalam mendata para pemilik tanah. Sering tanah itu sudah mengalami beberapa kali mutasi kepemilikan sampai mengusut pemiliknya saja sulit. "Orang sekarang beli tanah tak lewat lurah, tapi notaris," katanya. Untuk memecahkan kesulitan itu, kini Wiyogo mulai bertindak keras. Baru-baru ini ia menyita sebidang tanah di kawasan Duren Sawit, Jakarta Timur, yang tak jelas siapa pemiliknya dan belum melunasi PBB. Ada yang mengatakan tanah itu milik Mabes Angkatan Laut, tapi ketika Wiyogo mengecek ke sana, pemiliknya tetap tak jelas. "Soal itu kami kejar terus, sampai-sampai saya sendiri berbicara dengan KSAL," kata Wiyogo. Ternyata, KSAL Laksamana Kasenda mempersilakan Pemda DKI menyita tanah itu. Soal itu sudah beres, tapi kata Wiyoo, "Itu salah satu contoh sulitnya menagih PBB." Langkah Gubernur Wiyogo itu segera dipuji oleh Mendagri Rudini. "Tak peduli ABRI, kalau salah, ya salah. Tapi saya yakin, kasus itu cuma keteledoran staf saja," kata Rudini, seperti dikutip harian Jayakarta, Senin lalu. Rudini sendiri memang merasa langkahnya didukung tak cuma oleh Wiyogo. Ia beri contoh bagaimana para gubernur dan bupati sekarang rajin turun ke lapangan tanpa pakai baju safari, sehingga lebih mudah menjalin komunikasi dengan rakyat seperti yang ia anjurkan. Rudini menganggap baju safari dan tongkat komando "bisa menghambat hubungan dengan rakyat" -- suatu pengakuan bahwa bahkan atribut birokrasi pun sudah dienggani masyarakat. Gubernur Timor Timur juga menyatakan turut mendukung Rudini. "Dia tegas dan tak ada basa-basi," katanya. Maka, berbagai gagasan Mendagri itu ia terapkan di daerahnya. Bahkan gagasan Rudini -- yang sebenarnya belum tentu cemerlang agar pemda menyisihkan anggaran daerah untuk memproduksi satu film cerita setiap tahun, didukungnya juga. Biarpun ia mengakui, "Di daerah kami tak ada artis, tak ada sutradara, tapi petunjuk yang saya terima segera saya bicarakan dengan staf di daerah." Memang sudah umum bila gubernur tunduk, bahkan taklid, kepada Menteri Dalam Negeri, tapi tak cuma soal film yang sudah dikerjakan di Timor Timur. Di sana sudah ada pembatasan jabatan bupati untuk cuma satu masa saja. Dari 13 bupati di daerahnya, cuma satu yang menduduki jabatannya dua kali, dan itu pun sesuai dengan kriteria yang ditentukan Depdagri. Di Timor Timur, misalnya, yang terpenting bupati itu berhasil membina keamanan di daerahnya. Rudini sendiri sejauh ini tak main-main. Saat ini dari berbagai daerah terdengar berita bupati yang ditolak Rudini, sekalipun sudah disetujui oleh gubernur setempat, bahkan ada yang sudah dipilih oleh DPRD. Sebagian besar karena sudah menjabat dua kali masa jabatan. Sekadar contoh: Wali Kota Bukittinggi B. Burhanuddin dicalonkan kembali oleh DPRD setempat dan Gubernur Sumatera Barat Hasan Basri Durin, November tahun lalu, tiga bulan sebelum masa jabatan sang wali kota itu berakhir. Ternyata, 23 Desember yang lalu, calon ini ditolak oleh Menteri Dalam Negeri. Juga Bupati Tapanuli Utara Gustav Sinaga, di Sumatera Utara. Sekalipun Gustav sudah didukung oleh semua fraksi yang ada, ditambah lagi sokongan dari tokoh-tokoh adat di daerahnya, toh Rudini tak bergeming. Lebih ramai lagi yang terjadi Bogor, Jawa Barat. Bupati Soedardjat Nataatmadja malah sudah sempat terpilih oleh sidang DPRD untuk masa jabatannya yang kedua, tapi Rudini tetap menolaknya. Akhirnya ia digantikan oleh calon lain, Eddie Yoso Martadipura. Belum cukup. Mobil Toyota Cressida seharga Rp61 juta, yang dihadiahkan oleh Pemda Kabupaten Bogor kepada bekas bupati itu sebagai kenang-kenangan, diperintahkan Rudini agar dikembalikan. Walaupun pemberian mobil itu melalui sidang pleno khusus DPRD Bogor, 4 Oktober 1988, sepekan kemudian Soedardjat mengembalikan mobil itu. Nasib yang menimpa sejumlah calon bupati di NTT memang tak sama dengan kasus Soedardjat dan kawan-kawannya tadi. Sekarang ada lima bupati di daerah itu yang sudah dipilih DPRD urung dilantik karena Rudini. Menteri Dalam Negeri ini juga sempat memanggil Gubernur Fernande karena memutasikan sejumlah pejabat di lingkungannya yang rupanya memancing keresahan di daerah itu. Kenapa para calon bupati itu disetop? Jawab Rudini: "Saya dapat laporan bahwa di sana DPRD dan lain-lainnya ditekan untuk menerima mereka dengan alasan calon-calon itu sudah direstui Mendagri. Itu tidak benar. Saya tak mau nama saya dipakai untuk menakut-nakuti orang." Siana yang "menakut-nakuti" belum jelas. Gubernur NTT Fernandez sendiri tak mau berbicara banyak tentang kasus itu. Ia cuma mengatakan bahwa Menteri berwewenang untuk menilai para calon bupati itu. Sebelum ini Rudini memang pernah pula turun tangan ke NTT untuk menyelesaikan pemilihan bupati Timor Tengah Selatan (TTS). Pieter Alexander Tallo, yang pertengahan September lalu terpilih sebagai bupati untuk masa jabatan yang kedua, ditolak oleh Fernandez, yang awal September menjadi Gubernur NTT. Sesuai dengan garis Rudini? Rupanya tidak. Dari penelitian yang dilakukan Rudini, Tallo betul-betul didukung oleh DPRD setempat. Lebih penting dari itu, sarjana hukum UGM ini sedang giat "mempermalukan orang-orang pemalas". Bila ia temukan orang yang lontang-lantung tak mau kerja, ke mulut orang itu ia suapkan segenggam lumpur. Enak atau tak enak, rupanya ada hasilnya. Karena malu, ladang penduduk yang selama ini ditinggalkan mulai tampak terurus. Momentum seperti inilah yang disebut Rudini sebagai salah satu kriteria penting sehingga seseorang bisa melanjutkan jabatannya sebagai kepala daerah dua kali. "Kalau ia diganti, belum tentu momentum itu berjalan terus," kata Rudini. Ini terjadi juga pada Wali Kota Bandung Ateng Wahyudi. Pada bulan ini masa jabatan Ateng habis. Ia cenderung agar Ateng tak diganti dulu. "Bukan karena ia bekas murid saya di AMN Magelang," katanya. Tapi karena itu momentum sedang terjadi. Ada yang mengkritik bahwa kasus-kasus tadi bisa menyebabkan Menteri Dalam Negeri nampak tidak konsisten, atau bisa terpeleset kepada sikap "sewenang-wenang". Setidaknya ia bisa mematikan pertimbangan dan prakarsa pejabat daerah. Tapi Rudini, selain punya wewenang, juga menganggap intervensinya perlu. Dan ini nampak baru 10 bulan setelah ia di kursi di Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat itu. Kasusnya: pembangunan kantor Gubernur Sumatera Utara di Jalan Pancing Medan. Konstruksi itu sejak Juni lalu dihentikannya. Gedung itu memang luar biasa. Ia mulai dibangun tiga tahun yang lalu, di lokasi seluas 60 hektar. Bangunan utama berupa kantor untuk gubernur, sekwilda, dan para asistennya sudah siap. Biaya yang sudah dihabiskan untuk gedung megah itu mencapai Rp5,7 milyar. Menurut rencana, bangunan berbiaya APBD ini baru selesai dalam lima tahun mendatang, dengan dana sekitar Rp1 milyar setiap tahun. Gedung itu sebenarnya telah diresmikan oleh Gubernur Kaharuddin Nasution pada 11 Juni 1988, persis dua hari sebelum ia menyerahkan jabatan kepada gubernur baru, Raja Inal Siregar. Tapi gubernur baru membaca gelagat tak sehat di sini. Maka, kantornya belum ia pindahkan ke sana, dan gedung baru itu pun telantar. Keputusan pejabat setempat yang ganjil dan mahal seperti kasus di Medan itu memang menyebabkan tindakan korektif Menteri diperlukan. Tetapi ada yang mengatakan bahwa soalnya akan lebih baik seandainya ada keterbukaan mengkritik sebelum suatu keputusan seorang gubernur atau bupati berlaku, khususnya dari kalangan DPRD. Dan itulah yang tak cukup ada. Maka, seorang Menteri Dalam Negeri yang berniat baik pun bisa repot. Akan lebih sering sendirian. Mungkin itu yang harus dihadapi Rudini. Gagasan PBB khusus untuk rumah mewah itu, misalnya, belum tentu akan terlaksana. Surat Keputusan Menteri Keuangan tentang PBB yang mulai berlaku 1 Januari 1989, misalnya, belum memuat harapan Rudini untuk menaikkan PBB "White House" sampai 100 kali. Bangunan termewah masuk kategori yang berharga Rp1,03 juta tiap meter persegi. Pajaknya cuma Rp1.200 tiap meter persegi, atau 10 kali lebih besar dari pajak bangunan yang seharga Rp98 tiap meter persegi (lihat Ekonomi Bisnis: "Menggebrak Orang Kaya"). Apalagi Rudini nampaknya masih harus menghadapi bawahannya sendiri. Seorang bupati di Sumatera Selatan, misalnya, ternyata mampu membangun rumah yang ditaksir bisa bernilai Rp1 milyar. Rumah itu berlantai dua, berukuran 35 x 50 meter, semua kusennya dibuat dari kayu jati pilihan dan lantainya marmer putih keabuan. Arus listriknya yang 4.000 Watt. Sebagai penambah semaraknya "gedung putih" ini, di garasinya bertengger sebuah jip Mercy baru warna hijau lumut. Halaman rumah dilengkapi taman burung. Dan rumah ini terletak di Batu Raja, kota kecil yang tersuruk hampir 200 km dari Palembang. Komentar Gubernur Sumatera Seatan Ramly Hasan Basri, "Kalau itu benar, memang tak layak ada rumah seperti itu ada di sana." Sang pemilik rumah sendiri tak merasa kikuk. Ia mengaku rumah itu sebagai hasil jerih payahnya 22 tahun bertugas sebagai jaksa, ditambah dua kali masa jabatan Bupati Ogan Komering Ulu (OKU). "Masa, sekian lama bekerja, tak bisa mengumpulkan duit," kata M. Saleh Hasan, bupati itu, kepada TEMPO. Ia keberatan kalau rumahnya itu disamakan nilainya dengan yang ada di Jakarta. Harga tanah di sana tak sebanding dengan harga di kota besar. Juga, "di sini batu dan pasir tinggal ambil di sungai," katanya. Lagi pula, ketika ia membangun rumah itu tiga tahun yang lalu, memang belum ada imbauan seperti yang dikeluarkan Rudini sekarang. "Saya waktu itu sudah minta ijin untuk membangunnya pada Gubernur dan Jaksa Tinggi," kata bupati yang masa jabatannya akan berakhir Juli mendatang itu. Kasus seperti itu bisa bercerita banyak, tapi yang pasti, jalan masih panjang dan rumit bagi Rudini. Namun, ia nampaknya belum akan surut. Kepada wartawan yang menyertainya dengan pesawat Hercules menuju Manado, hari Minggu lalu, ia menegaskan bahwa ia berbicara untuk mempersempit jurang antara orang yang mampu dan tak mampu. "Zaman sekarang ini banyak sekali orang berkelakuan seperti badak. Kulit mukanya tebal, tak tahu malu, ndablek, rakus, serta hanya memperkaya diri sendiri. Itu sebabnya saya bicara blak-blakan dan terus terang, karena sudah muak melihat kondisi seperti itu," katanya. Diucapkan oleh seorang menteri, kata-kata Rudini memang bisa memberikan inspirasi, seperti kata Rachmat Witoelar. Meskipun di Indonesia kini, itu bisa juga menimbulkan harapan -- atau malah sebaliknya kecurigaan -- yang tidak-tidak.Amran Nasution, Rustam F. Mandayun, Tri Budianto Soekarno, Bersihar Lubis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus