Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Karena Cekak Pencetak Kartu

Banyak persoalan, target proyek e-KTP diperkirakan meleset. Tiga menteri turun tangan.

27 Agustus 2012 | 00.00 WIB

Karena Cekak Pencetak Kartu
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

SEBELUM memasuki ruang percetakan, pria itu memasang rambu-rambu. "Tak boleh membawa kamera, tak boleh membawa telepon seluler, tak boleh ada wawancara," kata sang karyawan. Ia mewanti-wanti namanya tak ditulis lantaran khawatir ditegur Kementerian Dalam Negeri, pelaksana proyek kartu tanda penduduk elektronik alias e-KTP.

Terletak di lantai dasar gedung perkantoran Patra Jasa, di ruangan itulah sebagian e-KTP dicetak. Ruangan tersebut milik Kementerian Dalam Negeri. Empat belas mesin cetak personalisasi data—biasa disebut mesin "perso"—yang terpasang di ruangan itu punya PT Sandipala Arthaputra. Sesuai dengan kontrak, pencetakan harus dilaksanakan di gedung yang dikuasai Kementerian. Jadilah Sandipala memboyong mesin cetaknya ke Patra Jasa.

Pada Senin sepekan sebelum Lebaran itu, Wakil Direktur Utama PT Sandipala Arthaputra Sunarto Ponirin mempersilakan Tempo melihat proses pencetakan kartu. "Lihat saja, kami memang bekerja," katanya sebelum memimpin rapat direksi Sandipala di sebuah ruangan di lantai satu Patra Jasa siang itu. Lewat sekretarisnya, Sunarto kemudian meminta karyawan tadi mengantar Tempo memasuki ruang percetakan.

Di dalam ruangan, sejumlah pekerja tampak sedang memilah kartu yang sudah dicetak berdasarkan kecamatan asal. Sebagian kartu sudah terbungkus dalam kardus-kardus sebesar slof rokok yang bertumpuk di satu sudut ruangan. Kardus berwarna cokelat itu ditulisi nama-nama provinsi dengan spidol dan ditempeli kertas berisi data kabupaten/kota dan kecamatan asal. "Yang ini siap untuk dikirim," kata sang karyawan, menunjuk tumpukan kardus.

Sang karyawan menjamin data yang tercetak di kartu sama persis dengan data yang dikirimkan Kementerian. "Kami baru tahu ini kartu siapa setelah dicetak," ujarnya. Data berasal dari perekaman di kecamatan yang disimpan di server Kementerian. Ketika dikirimkan ke Sandipala untuk dicetak, data itu berupa enkripsi yang sandinya hanya diketahui Kementerian.

Bersama perusahaan percetakan milik negara, PNRI, Sandipala kebagian tugas mencetak 172 juta keping e-KTP, dari blangko kartu hingga personalisasi data. Pada kontrak awal, Sandipala mendapat jatah 60 persen pekerjaan dan PNRI 40 persen. Belakangan, kesepakatan itu diubah dengan porsi Sandipala 60 juta kartu, atau sekitar 34 persen pekerjaan, dan PNRI 112 juta kartu.

Sandipala semula diragukan bisa mencetak KTP elektronik itu karena perusahaan security printing ini hampir bangkrut menjelang dibeli pengusaha Paulus Tannos pada Maret 2011. Sandipala selalu merugi lantaran tak banyak menerima order. Setelah konsorsium PNRI memenangi proyek e-KTP pada Juli tahun lalu, sempat berembus isu bahwa Sandipala merupakan perusahaan abal-abal yang hanya meminjamkan "bendera".

Kini perseroan itu diburu-buru menyelesaikan pencetakan. Tahun lalu, Sandipala dan PNRI dikejar target mencetak 67 juta kartu. Sisanya, 105 juta, mesti selesai akhir tahun ini. Kenyataannya, hingga Desember 2011, kartu yang tercetak hanya 2 juta lembar. Akibatnya, pekerjaan tahun ini jadi berlipat.

Seorang petinggi konsorsium mengatakan lambannya pencetakan juga disebabkan oleh Kementerian, yang dituding telat mengirimkan data penduduk yang sudah direkam. Ujung-ujungnya, proses cetak ikut terlambat. Persoalan lain, pada awal pelaksanaan proyek, perseroan mesti mengeluarkan dana sendiri untuk modal produksi. Uang muka proyek baru dibayar Kementerian belakangan.

Menurut Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, melesetnya target pada 2011 lantaran pelaksanaan proyek mulur dari jadwal. Kementerian, kata Gamawan, lebih dulu disibukkan masa sanggah tender. Konsorsium yang tak puas terhadap keputusan Kementerian memenangkan PNRI terus mengajukan sanggahan. "Kami kehilangan waktu dua setengah bulan," kata Gamawan.

Namun musabab utama leletnya pencetakan data adalah minimnya jumlah mesin "perso" di konsorsium. Gamawan menyebutkan kapasitas semua mesin, baik di Sandipala maupun di PNRI, hanya bisa mencetak hingga 100 ribu kartu per hari. "Hitungan saya, kalau alatnya tak ditambah, target awal tak akan tercapai," ujarnya.

Itu sebabnya, pada Juli lalu, Gamawan meminta Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto mempertemukannya dengan Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan, yang membawahkan PNRI. "Pak Dahlan diajak agar tahu dari awal persoalan ini," ujar Gamawan. Sebelumnya, ia juga menyurati PNRI memperingatkan keterlambatan pencetakan. Surat juga ditembuskan kepada Dahlan Iskan.

Tetap buntu, Gamawan mengadu kepada Djoko Suyanto. Ketiga menteri kemudian meriung di kantor Djoko, membahas proyek KTP elektronik yang terseok-seok. Ketiganya lalu memutuskan memanggil Direktur Utama PNRI Isnu Edhi Wijaya. Di kantor Djoko, Isnu mengeluhkan konflik di tubuh konsorsium—antara lain perseteruan pemilik saham di Sandipala. Menurut Isnu, persoalan itu sedikit-banyak mengganggu pengerjaan proyek.

"Saya bilang ke Pak Dahlan, ‘Pak, saya minta maaf, tapi keluhan itu urusan PNRI. Urusan PNRI dengan perusahaan lain, saya tidak mau terlibat. Itu urusan konsorsium’," kata mantan Gubernur Sumatera Barat ini. Menurut Gamawan, Dahlan kemudian marah-marah. "Harus ada tindakan cepat. Sudah berapa kali saya ingatkan," ujar Gamawan menirukan Dahlan. Sepuluh hari setelah pertemuan tersebut, kata Gamawan, pencetakan kartu melonjak, dari sekitar 100 ribu menjadi 450 ribu kartu per hari.

Dengan 450 ribu kartu per hari, Gamawan yakin pada akhir tahun ini kartu yang selesai dicetak mencapai 100 juta. Sisanya, sekitar 70 juta, dicetak pada awal 2013. Tapi seorang petinggi konsorsium mengatakan, hingga Agustus ini, e-KTP yang sudah jadi cuma sekitar 42 juta. Artinya, dengan kapasitas cetak 450 ribu kartu per hari, sampai akhir Desember nanti jumlah kartu yang dicetak kurang dari 100 juta.

Tempo menemui Isnu Edhi Wijaya, tapi ia mengunci mulut rapat-rapat. "Silakan tanyakan kepada Kementerian Dalam Negeri," katanya pada awal Agustus lalu. Yang terang, setelah pertemuan di kantor Djoko, PNRI langsung membeli sejumlah mesin cetak baru dari Jerman.

Didera persoalan, Gamawan yakin target perekaman data 172 juta penduduk tercapai pada akhir tahun ini. Berbeda dengan pencetakan, proses perekaman data berlangsung lebih cepat. Ini karena alat perekam data—komputer, pemindai sidik jari dan retina, beserta tetek-bengeknya—hampir tersebar merata ke pelosok. Menurut sang Menteri, hingga Agustus ini saja perekaman data mencapai 126 juta.

Gamawan juga mengklaim sudah membayar uang muka proyek plus pembayaran termin pertama kepada konsorsium. Berbiaya Rp 5,8 triliun, Kementerian telah mengucurkan sekitar Rp 2 triliun untuk proyek. Pembayaran terakhir pada Mei lalu. Sunarto Ponirin, Wakil Direktur Utama Sandipala, membenarkan telah menerima sebagian pembayaran. Jumlahnya sekitar Rp 140 miliar. "Dibayarkan dua kali."

Anton Septian

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus