Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Federasi Serikat Guru Indonesia atau FSGI mengutuk keras aksi kekerasan di sekolah yang kembali terjadi. Kali ini, seorang guru di SMK Swasta Bina Karya Larantuka di Flores Timur, NTT yang mencelupkan tangan seorang siswa ke air mendidih. FSGI mendesak agar polisi segera mengusut kejadian tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam keterangan tertulisnya, FSGI menyatakan bahwa sejumlah foto yang memperlihatkan tangan korban melepuh dan bernanah beredar luas di media sosial. Mereka menyatakan terduga pelaku diidentifikasi sebagai Bruder Nelson, seorang biarawan Katolik yang merupakan pendidik di sekolah itu.
"Orangtua siswa itu telah melaporkan kasus ini ke Polres Flores Timur pada 3 Agustus 2023," tulis Ketua Dewan Pakar FSGI Retno Listyarti dalam pernyataan tertulisnya yang diterima Tempo, Ahad, 6 Agustus 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Retno menyatakan bahwa pelaku bahkan membiarkan siswa tersebut tanpa pertolongan. "Sehingga anak tersiksa kesakitan hingga esok harinya," kata dia.
FSGI menyatakan bahwa perbuatan tersebut melanggar hak anak dan Hak Asasi Manusia, serta berlawanan dengan peraturan perundangan yang berlaku.
"Hal ini melanggar Konvenan Anti Penyiksaan, UU Perlindungan Anak, UU HAM, dan Permendikbud no. 82/2015 " ungkap Retno.
Desak polisi segera usut kasus tersebut
Karena itu, FSGI mendesak agar aparat kepolisian segera mengusut kasus tersebut. FSGI mendorong polisi untuk menggunakan UU Perlindungan Anak agar pelaku bisa dihukum seberat-beratnya.
Retno menjelaskan, polisi bisa menggunakan dua pasal dalam UU Perlindungan Anak, yaitu Pasal 54 dan 76. Untuk menjerat pelaku, menurut dia, polisi bisa menggunakan Pasal 76 yang mengatur soal tindakan kekerasan yang mengakibatkan luka berat atau cacat permanen terhadap anak. Hukuman dari pasal ini 15 tahun penjara.
"Dan bisa diperberat sepertiganya karena pelaku termasuk orang terdekat korban. Apalagi ini sekolah berasrama, dimana pengasuhan anak dipercayakan pada pihak sekolah," kata Retno.
Selanjutnya, pihak sekolah juga bisa diminta pertanggungjawaban
Selain itu, polisi juga dinilai bisa menjerat pihak sekolah dengan Pasal 54 UU Perlindungan Anak. Sekolah, menurut Retno, bisa diminta pertanggung jawaban karena dinilai lalai dalam melindungi siswanya.
"Pasal tersebut mewajibkan pihak sekolah melindungi peserta didik selama berada di lingkungan sekolah dari segala bentuk kekerasan, baik yang dilakukan oleh pendidik, tenaga pendidik, maupun peserta didik. Sekolah lalai dan gagal melindungi anak," kata dia.
Selain itu, FSGI juga menilai sekolah telah melanggar Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Satuan Pendidikan.
"Meskipun kejadian terjadi pada malam hari dan di ruang asrama, lingkungan tersebut tetap dianggap sebagai bagian dari sekolah," kata Retno.
Selanjutnya, dorong Pemda NTT untuk pulihkan kondisi korban
FSGI juga mendesak Dinas Kesehatan Provinsi NTT segera memulihkan kesehatan korban. Bahkan, menurut mereka, pemerintah daerah seharusnya menanggung seluruh biaya pengobatan anak tersebut.
Mereka juga meminta Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak (DP3A) Provinsi NTT untuk mendampingi korban selama pemeriksaan kepolisian dan juga memulihkan kondisi psikologis korban. Tak hanya korban, menurut mereka, Dinas DP3A Provinsi NTT juga harus melakukan assesmen psikologi dan psikososial ke peserta didik lain di sekolah berasrama tersebut.
"Karena ada dugaan juga mengalami kekerasan dalam bentuk yang lain saat proses pendidiplinan. Hal ini untuk pembenahan kedepannya dan melindungi peserta didik lain dari berbagai bentuk kekerasan atas nama mendidik dan mendisiplinkan. Karena dalam mendidik dan mendisiplinkan anak sejatinya tanpa kekerasan," kata Retno.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak atau Kementerian PPPA pada Mei lalu menyatakan bahwa terdapat 251 anak berusia 6-12 tahun menjadi kekerasan di sekolah selama periode Januari-April 2023. Sementara untuk kategori anak usia 13-17 tahun, terdapat 208 anak yang menjadi korban.