KORBAN SKB 3 Menteri di bidang perkayuan terus berjatuhan. Beberapa perusahaan, terutama di Riau dan Kalimantan Timur, mulai kelabakan. Puluhan ribu buruh harian menganggur. Beberapa Pemda mulai menghitung penciutan pendapatannya dari sektor ini. PT Pertisa Group di Riau misalnya sudah mulai menyetop kerja 600 buruhnya. "Apa boleh buat, tak ada jalan lain," kata Asrul Harun, direkturnya. Perusahaan-perusahaan lainnya di Riau segera mengikuti jejak rekannya itu. Dan kini dari 30 ribu buruh perkayuan di daerah itu, sekitar duapertiganya menganggur. Mereka terdiri dari buruh penebang, pembuka jalan, pengerek kayu gelondongan dari hutan sampai ke sungai, penghanyut kayu. Tiga bulan sejak SKB 3 Menteri itu keluar, memang banyak perusahaan kayu di Riau yang macet. PT Sindotim misalnya. Tahun ini perusahaan tersebut mendapat jatah 25.000 meter kubik enam bulan pertama baru menebang 17.500 meter kubik. Tapi akibat SKB 3 Menteri, belum sekubik pun diekspor. Malah sisanya dibiarkan tetap berdiri di hutan. Hingga para buruh pun menganggur. SKB (surat keputusan bersama) tiga menteri itu dikeluarkan 8 Mei 1980 oleh Menteri Pertanian, Perindustrian serta Perdagangan dan Koperasi. Keputusan itu mewajibkan pengusaha kayu menyisihkan sebagian produksinya untuk bahan baku industri pengolahan kayu dalam negeri. Sisanya boleh diekspor dalam bentuk log alias kayu gelondongan. Persentase penyediaan bahan baku tergantung dari usia izin HPH. Yang sudah tujuh tahun (seperti rata-rata perusahaan kayu di Riau) harus menyisihkan 60% dari produksi, kurang dari tujuh tahun 40%. SKB kemudian juga diperketat dengan peraturan pelaksanaan tiga dirjen: Kehutanan, Aneka Industri, Perdagangan Dalam Negeri. Peraturan pelaksanaan itu menetapkan: ekspor kayu log baru diizinkan kalau ada bukti jumlah bahan baku yang dijual untuk industri pengolahan kayu dalam negeri. Yang tidak memenuhi ketentuan, izin HPH-nya dicabut. Bisa dimaklumi kalau pengusaha yang selama ini ongkang-ongkang karena dapat langsung menjual log tanpa batas, kini jatuh terduduk. Harga log di luar negeri bisa US$80/ meter kubik, di dalam negeri cuma US$ 20. Peraturan serupa pernah muncul dua tahun lalu, yang antara lain mewajibkan pengusaha, terutama pemegang HPH, untuk meremajakan hutan dan mendirikan industri pengolahan kayu. Tidak semua pengusaha mematuhinya, sementara pemerintah nampaknya masih membiarkannya. "Tapi akibatnya sekarang, pengusaha yang memenuhi aturan juga terkena getahnya," ujar seorang pengusaha. SKB 3 Menteri itu rupanya selain merupakan upaya menjaga kelestarian sumber daya hutan, juga untuk merangsang hidupnya industri perkayuan dalam negeri. Untuk jangka panjang memang masuk akal, tapi buat sementara ini merupakan goncangan cukup hebat. Pemda-pemda yang punya hutan juga kehilangan sebagian sumber dana. Pemda Riau yang memiliki areal hutan 526 ribu ha dan menghasilkan 1,6 juta meter kubik setahun (75% diekspor sebagai log), sudah mentargetkan pemasukan Rp l,1 milyar dari IHH (iuran hasil hutan) untuk 1980/1981. Akibat SKB 3 Menteri, APBD Riau berkurang sekitar Rp 600 juta. Dan karena SKB itu pula, tingkat produksi kayu di Riau hanya berkisar 37,5% dari target atau kurang dari satu juta meter kubik. Menurut catatan Drs. Rivai Rahman, asisten bidang ekonomi kantor gubernur Riau, dari jumlah tersebut hanya 15% yang mampu terserap oleh industri perkayuan dalam negeri. Itu pun sebagian masih harus dilego ke luar Riau seperti Sumatera Barat. "Rendahnya daya serap itU karena industri pengolahan kayu di sini belum siap," tambah Rivai. Kehilangan Pekerjaan Di antara 52 pemegang HPH di Riau, baru 20 yang mendirikan industri kayu. Itu pun hanya berupa sawmill alias penggergajian kayu. Anehnya, sementara permohonan mendirikan industri kayu lapis di Riau banyak ditolak, kini di sana hanya ada satu perusahaan kayu lapis. Di Kaltim, SKB itu menimbulkan goncangan paling hebat. APBD tahun ini yang semula ditetapkan Rp 27,7 milyar merosot Rp 12,7 milyar. Sebelum ada SKB, Kal-Tim memproduksi 10 juta meter kubik log pertahun, dengan volume ekspor 7,5 juta meter kubik. Sisanya untuk bahan baku industri dalam negeri. Kini perhitungan itu terbalik hanya 2,5 juta meter kubik yang bisa diekspor. Meski begitu beberapa perusahaan berusaha tetap mempertahankan karyawan mereka -- malah ada perusahaan yang menaikkan gaji 150 karyawannya, tetap menjamin makan 500 buruhnya walau tak bekerja lagi. Puluhan ribu meter kubik kayu untuk industri dalam negeri tak ada yang laku dijual di daerah ini. Ketua Serikat Buruh Perkayuan FBSI Kal-Tim, Edmond, memperkirakan sekitar 6.000 buruh di sana akan kehilangan pekerjaan. Di antaranya lebih 500 orang telah mengadu kepadanya. Sebagian buruh itu minta diganti status mereka sebagai transmigran. Di Kal-Bar, meskipun APBD berkurang Rp 2 milyar akibat keputusan pemerintah tersebut, SKB diterima apa adanya. "Soalnya di sini sudah banyak industri perkayuan," kata Drs. H. Tamar Abdussalam, Asisten I Sekwilda Kal-Bar. Di sana kini tercatat 55 pemegang HPH dengan areal seluruhnya lima juta hektar lebih. Bahkan menurut Ir. Salah Achmed, Kepala Dinas Kehutanan, jumlah industri kayu diperkirakan dua kali lipat dibanding pemegang HPH.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini