Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Belajar mengajar matematika bagi siswa dengan disabilitas penglihatan menjadi sebuah tantangan tersendiri lantaran instruksi matematika yang banyak menggunakan akses visual seperti ruang, bentuk, bidang, dan grafik. Kendati demikian, saat ini sudah terdapat standart kurikulum pembelajaran matematika bagi siswa tunanetra yang dapat diterapkan di sekolah luar biasa maupun sekolah umum dengan program inklusi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Terdapat kurikulum pembelajaran yang tersedia bagi sekolah umum maupun luar biasa, sehingga setiap siswa tunanetra dapat belajar matematika seperti siswa pada umumnya yang tidak memiliki hambatan penglihatan, karena pada dasarnya matematika bagi siswa tunanetra adalah menerjemahkan instruksi matematika yang kebanyakan visual ke dalam bentuk perabaan," ujar Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Yayasan Mitra Netra, Aria Indrawati dalam Festival Matematika bagi Siswa Tunanetra di Saung Yayasan Mitra Netra, Sabtu, 21 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam festival matematika itu, siswa dibagi ke dalam empat kelompok belajar sesuai dengan sub bidang matematika yang diminati, yaitu geometri, matrix, bilangan dan aritmatika. Dalam kelompok geometri, siswa diajar untuk mengenali bangun ruang dan bidang seperti kerucut, kubus, silinder dan lain lain dengan cara meraba replika bentuk bangun matematika. Setelah siswa dapat mengenali bentuk bangun matematika, siswa diajarkan untuk menggunakan rumus geometri.
"Karena selama ini instruksi geometri dalam buku matematika kan menggunakan gambar, nah dalam festival ini mereka diajarkan untuk mengenali bangunan yang ada dalam gambar menggunakan perabaan, kemudian diajarkan penerapan dan penggunaan rumusnya," kata Aria.
Sementara itu dalam kelas matriks, siswa diajarkan untuk mengenali tabel matematika. Caranya, para siswa diberikan tabel dalam bentuk timbul untuk mengetahui baris dan kolom. Setelah itu, mereka diajarkan penggunaan rumus dan penggunaannya. Suasana yang agak berbeda terdapat dalam kelas bilangan, lantaran siswa dalam mempelajari konsep ini tidak menggunakan alat peraga khusus melainkan menggunakan kertas berhuruf Braille yang memuat kode matematika dalam bentuk braille.
Kelompok terakhir yang ada dalam festival ini adalah aritmatika. Siswa diajarkan menggunakan rumus matematika dan diagram cartesius. Salah satu alat peraga yang digunakan adalah styrofoam yang dimodifikasi dengan menggunakan pin dan tali timbul. Alat ini dikenal dengan nama G-board yang di dalamnya terdapat garis vertikal untuk menggambarkan sumbu X dan garis horisontal untuk menggambarkan sumbu Y. Di antara dua sumbu itu terdapat garis kotak- kotak yang menggambarkan titik diagram cartesius.
"Jadi anak - anak dapat meraba titik dalam diagram tersebut yang berbentuk kotak-kotak, kemudian menandainya dengan pin bila sudah ketemu titiknya, agar mengetahui grafiknya dililitkanlah tali fleksibel, hal ini bertujuan agar anak dapat meraba naik dan turun grafik tersebut," ujar salah satu fasilitator dari Yayasan Mitra Netra, Walmiyatun.
Festival Matematika bagi Siswa Tunanetra ini merupakan yang pertama kalinya diadakan di Indonesia. Kegiatan ini diikuti oleh 40 siswa tunanetra, mulai dari tingkat SD, SMP hingga SMA, baik yang menempuh pendidikan di sekolah reguler maupun sekolah khusus. Festival ini diselenggarakan dengan dukungan Liliane Fonds dan NLRIndonesia, partner internasional Mitra Netra, sebagai upaya untuk meningkatkan minat siswa tunanetra belajar matematika.
Selain melibatkan staf pengajar dari Universitas Negeri Jakarta, festival ini juga melibatkan staf pengajar dari Universitas Pamulang. Kegiatan ini juga diikuti oleh beberapa mahasiswa pendidikan matematika dan faasilitator dari Yayasan Mitra Netra.