MASALAH Timor Timur hari-hari ini menjadi dilema diplomatik Presiden Fidel Ramos. Yakni, boleh atau tidak Universitas Filipina menyelenggarakan konferensi tentang hak asasi manusia di Timor Timur. Pasalnya, Jakarta tak setuju dengan konferensi yang rencananya diadakan pada awal Juni nanti. Tapi Ramos tentu tak mungkin bersikap menyalahi konstitusi Filipina yang menjamin kebebasan menyatakan pendapat. "Kebebasan berbicara dan kebebasan berkumpul adalah dua pasal yang paling dijunjung tinggi di Filipina," kata Ramon Isberto, redaktur Kantor Berita Inter-Press Service, kepada TEMPO. Sejauh ini Jakarta, lewat jalur diplomatik, sudah cukup mendesak. Kedutaan Besar RI di Manila beberapa kali menjelaskan kepada koran-koran setempat, konperensi tentang Timor Timur itu, "Menyerang langsung kepentingan dalam negeri Indonesia." Di Jakarta, Menteri Luar Negeri Ali Alatas dan Menteri Sekretaris Negara Moerdiono menyatakan kekecewaannya pada sikap Ramos. Ramos sendiri tentu sudah merasa cukup mendukung Jakarta dengan secara resmi mengakui Timor Timur sebagai wilayah Indonesia. Bila ada pendapat lain di Filipina tentang Timor Timur, terang itu tak mewakili sikap pemerintah. Sebenarnya, ada juga pejabat Filipina yang tak setuju konferensi itu diadakan. Wakil Presiden Joseph Estrada menyarankan agar konferensi itu diselenggarakan di luar Filipina agar tak merusak hubungan Indonesia-Filipina. "Pertemuan itu berlawanan dengan nilai-nilai tradisional kami, seperti pagkakapit-bahay (kerukunan tetangga) dan utang na loob (utang budi)." Blas Ople, Ketua Komisi Hubungan Internasional di Senat, menganjurkan presidennya agar "menimbang kembali" keputusannya. "Perlu diketahui lebih lanjut sifat pertemuan itu, yang tampaknya diprakarsai oleh unsur-unsur kolonialisme Barat di Asia. Mereka bertujuan memalukan Indonesia dan Filipina dan memecah-belah persahabatan kedua negara," katanya di harian Philippine Inquirer. Lantas ada Nyonya Santanina Rasul, satu-satunya anggota Senat yang beragama Islam. Ia mengkhawatirkan perundingan antara pemerintah Filipina dan wakil Front Pembebasan Nasional Moro yang diprakarsai Jakarta terancam oleh dampak kericuan itu. Tapi itulah Filipina, yang memberikan toleransi perbedaan sikap, meski dalam tubuh pemerintahan sekalipun. Lalu mengapa Jakarta mempersoalkan konferensi itu? Ternyata pertemuan yang akan dihadiri LSM dari 200 negara itu diselenggarakan oleh Asia-Pacific Conference on East Timor, forum yang didirikan di Bangkok pada tahun 1992 lalu. Di bela kangnya adalah suatu organisasi ahli-ahli hukum bernama International Platform of Jurists in East Timor (IPJET). Lembaga ini bermarkas di Negeri Belanda, dan memang sudah lama mendukung kelompok anti-integrasi, misalnya, Fretilin. Semula konperensi itu mengundang dua ibu negara, Nyonya Danielle Mitterand dari Prancis dan Nyonya Maria Barroso Soares dari Portugal. Namun, keduanya menolak. Di Filipina, peserta konferensinya termasuk LSM yang berpolitik kiri, antara lain, Bukluran sa Ikaunlad ng Sosyalistang Isip at Gawa. Indonesia rupanya masih terus berupaya. Akhir pekan lalu Menteri Ali Altas bertemu dengan utusan khusus Presiden Ramos, mantan Menlu Filipina Raul Manglapus, untuk mendengarkan langsung penjelasan pemerintah Filipina soal konferensi tersebut. Yuli Ismartono dan Linda Djalil
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini