DILIHAT dari tongkrongannya, Yayasan Kartika Eka Paksi tak bisa disepelekan. Selain pemiliknya adalah Angkatan Darat—pasukan yang hingga kini masih disegani—besaran usahanya tak bisa dianggap kecil. Dengan aset sekitar Rp 315 miliar, Kartika Eka Paksi bisa disejajarkan dengan perusahaan rokok BAT, perusahaan eceran Hero, atau produsen obat Indofarma. Jumlah anak perusahaan dan perusahaan patungannya pun lumayan besar, 39 perusahaan. Kantornya pun berada di sebuah kawasan bisnis utama Jakarta. Pendek kata, Eka Paksi layak disebut sebagai salah satu konglomerat kelas menengah Indonesia. Tapi cobalah tengok "jeroan"-nya. Gambarannya sungguh suram.
Bisa dibilang, sebagian besar anak perusahaan Yayasan Kartika Eka Paksi atau perusahaan patungan yang didirikannya bersama sejumlah pengusaha lokal ataupun perusahaan asing (Jurong Engineering, Singapura, atau Guthrie Berhad, Malaysia) adalah perusahaan sakit. Dari 39 perusahaan itu, yang bisa disebut punya nama hanyalah Bank Artha Graha, International Timber Corporation Indonesia (ITCI), dan Truba Jurong Engineering. Yang lain? "Kebanyakan adalah perusahaan yang dipertahankan oleh pemiliknya meskipun merugi karena mereka join dengan tentara," kata sumber TEMPO yang mengamati perkembangan bisnis tentara.
Hasil yang dicapai yayasan yang "kebesaran nama" ini jauh dari tujuan pembentukannya semula: untuk menyejahterakan prajurit. Baru pada tahun 2000 prajurit merasakan hasil yayasan dengan mendapat tunjangan hari raya. Jumlahnya? Rp 100 ribu saja per orang. Dengan begitu banyaknya masalah yang timbul, sementara hasilnya begitu sedikit, tak aneh bila suatu ketika Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto pernah berucap, "Saya akan kasih semua yayasan ini kalau saya diberi uang Rp 100 miliar."
M. Taufiqurohman, Arif A. Kuswardono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini