Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Sembilan Jam di Binjai

Inilah bentrokan antara polisi dan tentara yang paling banyak memakan korban.

13 Oktober 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SENAPAN mesin M-16, mortir, dan peluncur granat sudah ditarik pulang ke markasnya. Di jalan-jalan sudah tak ada lagi prajurit dengan wajah dicoreng-moreng. Toh, Binjai—kota kabupaten sekitar 40 kilometer ke arah barat dari Medan—belum sembuh benar. Sampai akhir pekan lalu, markas polisi yang hangus terbakar masih dipagari kawat berduri setinggi satu meter. Polisi lalu lintas belum seorang pun kelihatan berjaga di jalanan. Keluarga polisi yang mengungsi ke markas kepolisian di Medan juga belum berani kembali ke Binjai. Mereka masih takut serbuan bersenjata sembilan jam itu terulang. Serbuan itu diawali peristiwa yang sepele. Sabtu dua pekan lalu, sekelompok pemuda merusak Toko Grace Wall di Jalan Antara, Binjai. Tim reserse polisi bertindak cepat. Selain menghalau perusuh, polisi menangkap Marwan, seorang pemuda yang disebut polisi sebagai bandar narkotik dan obat berbahaya di kota itu. Dari Marwan ini, polisi menyita sembilan butir pil ekstasi. Ketika rumah Marwan digerebek, ternyata di situ sejumlah tentara sedang berkumpul. Mereka adalah prajurit dari kesatuan Lintas Udara 100, Binjai. Cara polisi melakukan penggerebekan itu rupanya membuat prajurit Lintas Udara tersinggung. Mereka langsung pulang ke markas. Sebentar kemudian, dalam jumlah yang lebih besar, orang-orang Lintas Udara itu menyatroni markas polisi Binjai. Rombongan tak diundang tadi diterima oleh Simbolon, seorang polisi di situ. Pertemuan tidak mulus, malah berlangsung panas. Mendadak sebilah pisau melaju ke rusuk Simbolon. Meleset. Simbolon menghindar. Tapi, ketika Ajun Komisaris Polisi Togu Simanjuntak muncul, sebilah sangkur menyambar telinga kepala satuan reserse itu. Putus seketika. Dengan kuping copot itu Simanjuntak melepas tembakan. Mendengar desingan peluru, rombongan tentara itu kabur. Kabar insiden ini merebak ke seantero kota kecil yang terkenal dengan rambutannya itu. Warga cemas. Puluhan polisi terlihat berjaga-jaga di markasnya. "Kami tak mau kecolongan lagi," kata seorang polisi di situ. Keadaan sementara memang bisa dikendalikan. Apalagi kabar adanya insiden itu sudah sampai ke Markas Kepolisian Daerah Sumatera Utara di Kota Medan. Tindakan pengamanan sempat dilakukan. Hari Minggu pagi, Wakil Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Utara, Brigjen Polisi Maman Supratman, langsung turun ke Binjai untuk menenangkan anak buahnya. Panglima Komando Daerah Militer Bukit Barisan, Mayor Jenderal Idris Gassing, juga mengeluarkan larangan keras: semua tentara di Binjai dilarang keluar markas. Gassing juga sempat mengaku bahwa sebab-musabab kasus ini adalah adanya prajurit yang menjadi beking bisnis haram. Warga Binjai pun lega mendengar langkah tegas itu. Tapi, diam-diam, sebuah "pemberontakan" disiapkan di Markas Lintas Udara 100 tadi. Delapan buah truk besar disiagakan, senjata diisi peluru penuh-penuh, puluhan granat disiapkan, dan seragam perang dikenakan. Target pun ditetapkan: Markas Kepolisian Resor Langkat di Binjai. Senjata langsung bicara. Dan dalam hitungan menit, markas polisi itu luluh-lantak. Sejumlah narapidana di sana langsung kabur. Dari markas polisi yang compang-camping itu, rombongan bersenjata ini menyapu jalanan untuk mencari "musuh"-nya. Sejumlah kendaraan yang diduga milik polisi dibakar. Aksi brutal ini menewaskan Tumpal Sidabutar, warga sipil yang sedang asyik mengendarai mobilnya di tengah kota. Lewat tengah malam, sekitar pukul setengah dua pagi, puluhan tentara itu membidik kantor Perusahaan Listrik Negara. Mereka minta listrik dipadamkan, tapi petugas listrik menolak. Apa jawab para tentara itu? Serentetan tembakan menghantam trafo listrik. Kota langsung gelap-gulita. Seperti adegan perang di film, dalam gelap itu rombongan menuju Markas Brigade Mobil di Jalan Soekarno-Hatta. Di depan markas itu, pasukan ini langsung tiarap di parit-parit. Senapan pun ditembakkan terus-menerus, sampai pukul setengah enam pagi. Itu artinya serbuan dilakukan selama sembilan jam. Ketika matahari terbit, Senin pekan lalu, Kota Binjai terbelah dua: pusat kota dikuasai tentara, sedangkan daerah pinggiran dikuasai polisi. Sembilan nyawa melayang dalam peristiwa ini: enam orang anggota polisi, satu tentara, dan dua orang sipil. Ini korban terbanyak bentrokan polisi dan tentara selama sejarahnya. Pertengahan Juli lalu, juga di Binjai, sejumlah anggota Lintas Udara 100 menyerang Markas Kepolisian Sektor Tandem, Langkat. Penyerangan ini diduga bermula dari penangkapan dan pembubaran arena judi dadu kopyok oleh aparat polisi. Kejadian yang sama pernah menimpa Kepolisian Sektor Seberlawan, Simalungun, Sumatera Utara. Disebut-sebut bahwa pemicunya adalah persoalan beking-membeking pencurian kelapa sawit di daerah itu. Serangan ini mengakibatkan seorang polisi terluka parah dan kantor polisi itu hancur lebur. Di Bogor, pertengahan Agustus 2001 lalu, juga terjadi bentrokan antara polisi dan tentara. Seorang polisi tewas diterjang pelor. Sebelumnya, Februari 2001, di Ambon, polisi dan sejumlah anggota marinir dari Angkatan Laut juga terlibat konflik. Bentrokan itu terjadi saat polisi melakukan sweeping di atas kapal penumpang. Di Ambon, bentrokan juga pernah terjadi antara polisi dan Komando Pasukan Khusus. "Perang" antara polisi dan tentara juga pecah di Serui, Papua, dan di Ngawi, Jawa Timur, serta beberapa daerah lainnya. Para petinggi militer di Jakarta telah mengambil tindakan. Batalion Lintas Udara 100 itu dikosongkan. Semua anggotanya dipindahkan. Komandan Batalion Lintas Udara 100, Mayor Infanteri Madsuni, yang kabarnya disandera anak buahnya ketika penyerangan terjadi, di-nonjob-kan. Dan 19 orang prajurit yang diduga terlibat langsung dipecat. Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Ryamizard sendiri yang melepaskan baju militer mereka, Rabu pekan lalu. Sebuah tim gabungan polisi dan tentara dibentuk di Jakarta, Jumat pekan lalu, untuk mengevaluasi kasus Binjai ini. Selain dipecat, tentulah tentara yang menghilangkan nyawa "kolega"-nya itu layak dikenai hukuman yang setimpal. Wenseslaus Manggut (Jakarta), Bambang Soed (Binjai)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus