Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Simbiosis yang Tak Menguntungkan

Usaha patungan Yayasan Kartika Eka Paksi dengan sejumlah mitra bisnisnya tak maju. Mereka memilih mengembangkan usahanya sendiri.

13 Oktober 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SIMBIOSIS parasitisme, begitulah agaknya hubungan antara Yaya-san Kartika Eka Paksi dan mitra bisnisnya. Dalam bahasa awamnya, orang Yayasan bisa bilang: lu untung, gue yang rugi. Sejumlah kongsi bisnis Yayasan yang berada di bawah kendali Angkatan Darat Republik Indonesia yang "dicolek"—dengan kasar ataupun halus—awalnya memang membantu bisnis Yayasan. Tapi, setelah kongsi ini membuat kocek pengusaha itu gendut, mereka pun membangun bisnis sendiri. Pada awalnya, tentara punya konsesi tapi tak punya duit. Angkatan Darat, misalnya, memegang konsesi hak pengusahaan hutan jutaan hektare di Kalimantan. Melihat peluang itu, datanglah para pengusaha seperti Bob Hasan (Nusamba), Tommy Winata (Artha Graha), Yos Sutomo (Sumber Mas), dan keluarga Sunarko (Grup Hasko). Mulanya, semua berjalan lancar. Terjadi simbiosis mutualisme: para tentara yang buta bisnis itu mendapat ilmu baru, mitranya bisa menjalankan bisnis secara leluasa dengan bantuan senjata. Tapi, setelah itu timbangan mulai doyong. Para mitra mulai membangun kerajaan bisnis sendiri—yang lebih menjanjikan keuntungan—sembari tetap mempertahankan hubungan bisnisnya dengan militer. Yos, misalnya, memilih usaha perhotelan dan pariwisata ketika tahu bisnis kayu akan habis. Agaknya mereka melihat kongsinya dengan Yayasan Kartika Eka Paksi sebagai sebuah kewajiban. Tak lebih. "Ingin bisnis yang benar dengan tentara? Bagaimana mungkin? Untung atau rugi, mereka tetap harus menyetor dividen," kata seorang pengamat. Berikut ini profil pengusaha yang mendapat keuntungan dari kedekatannya dengan Yayasan Kartika Eka Paksi. Tommy Winata Tommy Winata identik dengan tentara. Anggapan seperti itu tidak terlalu salah. Bos Grup Artha Graha ini memulai bisnis dengan membangun kantor dan fasilitas tentara di Singkawang, Kalimantan Barat, pada 1972 ketika masih berusia 15 tahun. Sejak itulah Tommy lengket dengan tentara. Ia membangun banyak kantor dan juga perumahan untuk tentara di berbagai wilayah Indonesia. Namun, secara resmi Tommy baru berkongsi dengan Yayasan Kartika Eka Paksi pada 1989 ketika diajak Edi Sudrajat—ketika itu Ketua Yayasan Kartika Eka Paksi—membenahi Bank Propelat, yang kemudian berubah nama menjadi Bank Artha Graha. Di bank ini, Yayasan pada mulanya menguasai 40 persen saham. Sisanya dibagi dua di antara Tommy dan Sugianto Kusuma. Bank beraset Rp 6,7 triliun ini terus berkembang menjadi salah satu bank kelas menengah Indonesia. Dengan lobinya di kalangan tentara dan Keluarga Cendana, Tommy pun memperbesar bisnisnya sendiri. Tahun 1997 ia mengakuisisi Bank Artha Prima. Aksi itu membuat kepemilikan saham Yayasan menurun menjadi 20 persen. Alasannya, "Karena kita tak sanggup setor modal," kata Yulius Harun, Koordinator Bidang Usaha Yayasan Kartika Eka Paksi. Di lain pihak, Tommy mendapat durian runtuh karena memperoleh suntikan dari Bank Indonesia Rp 1,2 triliun—menurut pengakuan Tommy, yang ia terima hanya Rp 530 miliar plus harus menanggung utang pemegang saham lama. (Baca juga tulisan Bila Utang Tidak Terbayar, di rubrik Ekonomi dan Bisnis.) Dengan alasan harus mencicil utang tersebut, menurut sumber TEMPO, dalam beberapa tahun terakhir Artha Graha tak pernah memberi dividen kepada Yayasan. Yayasan dan Tommy terus mengembangkan usahanya ke properti dengan membangun Gedung Bank Artha Graha di Sudirman Central Business District (SCBD) dan bisnis kebugaran di Hotel Dharmawangsa, Jakarta Selatan. Yayasan—kantornya nyempil di Gedung Artha Graha— menguasai 40 persen saham di Buanagraha Artha Prima, yang kini mengelola gedung tersebut. Sisanya dibagi dua untuk Tommy dan Sugianto. Sedangkan di Dharmawangsa, Yayasan hanya memiliki 37,09 persen saham, dan sisanya dimiliki PT Puri Dharmawangsa Raya Hotel. Kedua bisnis ini masih merugi. Buanagraha bahkan kini tersangkut kredit macet di Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Dari sini, nyatalah bahwa kongsi dengan Tommy tak memberi hasil nyata bagi Yayasan. Namun, di mana-mana kongsi itulah yang "dijual" Tommy untuk bisnis pribadinya. Apa saja sih bisnis lelaki berusia 44 tahun itu? Lihat saja, bersama Sugianto, ia mengembangkan PT Jakarta International Hotel & Development. Perusahaan dengan aset Rp 4,5 triliun ini memiliki hotel berbintang lima, Borobudur, dan Kawasan Bisnis Sudirman. Pusat bisnis yang terletak di Segitiga Emas Jakarta ini dibangun di atas lahan seluas 44 hektare. Setelah diempas rugi gara-gara krisis ekonomi pada 1997, mulai tahun lalu Jakarta International sudah mampu memetik laba yang lumayan. Pada 2001, perusahaan yang sering dianggap menjadi bagian dari Yayasan Kartika Eka Paksi itu—meskipun tak ada kaitan sama sekali di antara keduanya—berhasil membukukan laba Rp 250 miliar. Jaring bisnis Tommy merambah ke mana-mana, dari bisnis pariwisata di Pulau Sebaru Kecil di Kepulauan Seribu, Jakarta Utara, sejumlah perusahaan properti yang menggarap berbagai kawasan perumahan, hingga telekomunikasi. Total jenderal, ada 35 anak perusahaan Artha Graha yang tidak terkait dengan Yayasan Kartika. Selain itu, banyak pihak yang yakin bahwa Tommy juga berada di belakang bisnis perjudian, sebagai bagian dari The Gang of Nine, para pengusaha judi di Jakarta. Kalau ke mana-mana, Tommy selalu mengumbar kedekatannya dengan tentara. Untuk bisnis yang satu ini, ia mati-matian membantahnya. "Bisnis saya tidak ada yang gelap," katanya. Yos Sutomo Jalan kemitraan pengusaha perkayuan Yos Sutomo dengan Yayasan Kartika Eka Paksi dimulai tahun 1986. Hubungan bisnis ini mulanya dijalani Yos dengan agak terpaksa, ketika ia diberi dua pilihan agar bisa terus berbisnis: berkongsi dengan pengusaha yang dekat dengan Istana atau bergandengan dengan Yayasan Kartika Eka Paksi. "Yos memilih yang kedua," kata Ibnu Chotob, tangan kanan Yos. Yos Sutomo sebenarnya tak butuh yayasan ini. Kerajaan bisnis perkayuannya di Kalimantan Timur sudah dibangunnya sejak 1970-an. Ia populer karena banyak menyumbang panitia pembangunan masjid. Tapi, tahun 1983 ia dicokok kejaksaan dengan tuduhan tidak membayar pajak dan harus mendekam di penjara selama tujuh bulan pada 1983. Namun, jaksa tak bisa membuktikan kesalahannya sehingga Yos akhirnya bebas. Banyak pihak yang yakin, Yos masuk bui karena ia menolak permintaan Bob Hasan agar Yos mengikuti aturan main ekspor kayu yang harus melalui Apkindo (Asosiasi Panel Kayu Indonesia), yang dipimpin Bob. Sekeluar ia dari penjara, pilihan kemitraan itulah yang ditawarkan kepada Yos. Sejak itulah Yos Sutomo menjalin bisnis dengan Kartika Eka Paksi dengan tetap bergulat di bidang kehutanan dan industri perkayuan. Keduanya lalu mendirikan Grup Sumber Mas, yang memiliki sejumlah anak perusahaan seperti Meranti Sakti Indonesia, Sumber Mas Timber, Kayan River Indah Plywood, dan beberapa yang lain. Saham Yayasan di sana hanya 22-24 persen. Selebihnya dimiliki Yos dan keluarganya. Yos yang mengeluarkan modal, dan Yayasan mesti membayar saham kosong dengan dividen. Rupanya, di antara para anak asuh Yayasan ini terjadi saling sirik. Bob Hasan, misalnya, mengambil hak pengusahaan hutan (HPH) Sumber Mas seluas 325 ribu hektare melalui International Timber Corporation Indonesia—yang notabene juga anak perusahaan Yayasan Kartika. "Inilah bisnis. Tak berarti kalau mitra kita tentara, lalu semuanya beres," kata Ibnu. Praktis, sejak saat itu Sumber Mas tak punya hutan sendiri dan harus membeli bahan baku kepada perusahaan lain. Kini hanya Meranti Sakti yang masih punya HPH. Akibatnya, usaha patungan ini tak berkembang. Dengan begitu, ada alasan Yos untuk mengirim sumbangan yang tipis ke Yayasan. Kongsi dengan tentara boleh diklaim bangkrut, tapi jangan kira Yos ikut jadi kere. Di tengah bisnis perkayuannya yang mandek, Yos mengalihkan bisnis pribadinya ke perhotelan dan pariwisata. Saat ini pengusaha itu memiliki Hotel Bumi Senyiur (bintang empat) dengan 144 kamar di Samarinda, dan Hotel Grand Senyiur (bintang lima) dengan 183 kamar di Balikpapan. Lelaki ini juga punya dua lapangan golf di dua kota itu. Kini, Yos sedang mengembangkan kawasan wisata pantai di Manggar, Balikpapan, di atas lahan seluas 100 hektare, tanpa digandeng tentara. "Pak Yos tahu persis bisnis kayu akan habis," kata Ibnu. Pintar. Grup Hasko Grup Hasko berpatungan dengan Yayasan Kartika dalam sebuah perusahaan kayu lapis: Panca Usaha Palopo Plywood. Siapa sih Grup Hasko? Dibandingkan dengan mitra bisnis lokal lain seperti Tommy dan Yos, nama kelompok ini memang tak banyak dikenal publik. Padahal kelompok usaha yang dibangun oleh Hasan Sunarko dan kini diteruskan oleh anak-anaknya ini tak bisa dibilang kecil. Usahanya di bidang perkayuan membentang dari Jambi di Sumatera, Basirih di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, sampai Sulawesi. Hasko memiliki pabrik plywood dengan kapasitas 700 ribu meter kubik per tahun atau delapan persen dari total kapasitas produksi nasional. Pada pertengahan Agustus lalu, Hasko melalui Grup Sumber Graha Sejahtera membeli 74,56 persen saham PT Sumalindo Lestari Jaya, anak perusahaan Astra International, dengan harga Rp 14 miliar. Besaran usaha Hasko langsung melonjak karena aset PT Sumalindo mencapai Rp 1,6 triliun (2001) dengan omzet tahunan hampir Rp 1 triliun. Sementara usaha grup ini membubung, tak demikian halnya dengan mitranya bersama Yayasan, yang bisa dibilang sekadar hidup. "Inilah susahnya Yayasan, karena mitra usahanya kebanyakan juga berbisnis di bidang yang sama. Tak mengherankan jika mereka lebih memilih bisnisnya sendiri," begitu komentar sumber TEMPO menanggapi perkongsian itu. M. Taufiqurohman, Wenseslaus Manggut, Levi Silalahi, Redy M.Z. (Samarinda)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus