Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Politik

Kemensos Akan Tetap Proses Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto

Kemensos menyatakan akan bekerja berdasarkan mekanisme normatif, selama tidak ada aturan yang dilanggar untuk usulan gelar pahlawan Soeharto.

16 April 2025 | 16.09 WIB

Aktivis pegiat HAM, masyarakat sipil dan mahasiswa melakukan seruan aksi Kamisan ke 857, di depan Istana Merdeka, Jakarta, 10 April 2025. Aksi ini menyerukan penolakan wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden RI ke-2 Soeharto, dinilai upaya penghapusan sejarah dan pemutihan terhadap kejahatan sebagai pelanggar hak asasi manusia dan melakukan kekerasan kepada warga sipil yang dilakukan selama 32 tahun menjabat sebagai Presiden. Tempo/Imam Sukamto
Perbesar
Aktivis pegiat HAM, masyarakat sipil dan mahasiswa melakukan seruan aksi Kamisan ke 857, di depan Istana Merdeka, Jakarta, 10 April 2025. Aksi ini menyerukan penolakan wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden RI ke-2 Soeharto, dinilai upaya penghapusan sejarah dan pemutihan terhadap kejahatan sebagai pelanggar hak asasi manusia dan melakukan kekerasan kepada warga sipil yang dilakukan selama 32 tahun menjabat sebagai Presiden. Tempo/Imam Sukamto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Sosial menyatakan bakal tetap memproses usulan gelar pahlawan nasional untuk presiden ke-2, Soeharto, di tengah gelombang penolakan dari sejumlah kalangan. Menteri Sosial Saifullah Yusuf mengatakan kementeriannya akan bekerja berdasarkan mekanisme normatif, selama tidak ada aturan yang dilanggar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Kemensos tetap normatif. Kalau memang tidak ada yang dilanggar, kami harus memproses usulan itu dan menaikkannya ke Dewan Gelar,” kata Saifullah Yusuf atau akrab disapa Gus Ipul kepada Tempo, Rabu, 16 April 2025.

Wacana pemberian gelar pahlawan untuk Soeharto menuai kritik tajam dari sejumlah aktivis HAM dan keluarga korban pelanggaran HAM berat masa Orde Baru. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) sebelumnya menyatakan bahwa pemberian gelar tersebut mengingkari nilai-nilai keadilan dan melukai para korban.

Namun, Gus Ipul menyebut Kementerian Sosial (Kemensos) hanya menjalankan mekanisme yang telah ditetapkan. Ia menjelaskan, proses pengusulan gelar dimulai dari tingkat kabupaten, kemudian dibawa ke provinsi untuk dibahas dan diseminarkan. Setelah memenuhi syarat, nama calon akan dikirim ke Kemensos dan dievaluasi oleh tim yang terdiri dari sejarawan, akademisi, hingga tokoh masyarakat.

“Nama Pak Harto termasuk yang dibahas oleh tim. Ini bukan usulan baru, tapi sudah muncul sejak beberapa tahun lalu,” katanya. Ia juga membantah klaim bahwa pengusulan dilakukan oleh satu pihak saja, misalnya dari kalangan politisi. “Siapa pun bisa mengusulkan, asal sesuai mekanisme. Nggak bisa satu orang saja.”

Gus Ipul juga menyebut dahulu pengusulan gelar untuk Soeharto terkendala oleh keberadaan Tap MPR. “Tapi sekarang Tap MPR-nya sudah dicabut. Jadi yang diusulkan itu ada nama Pak Harto, Gus Dur juga,” ujarnya.

Proses untuk menjadikan Soeharto sebagai pahlawan, kata dia, akan tetap berjalan sesuai prosedur. Namun, Gus Ipul tak menutup ruang bagi masyarakat untuk berbeda pendapat. “Setuju atau tidak setuju boleh saja. Namanya juga demokrasi,” tuturnya.

Hingga kini, belum ada keputusan final dari Dewan Gelar terkait usulan nama Soeharto. Kementerian Sosial memastikan akan melanjutkan proses sesuai ketentuan yang berlaku, meski diwarnai penolakan dari publik yang kian menguat.

Kontras menilai wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto sebagai bentuk pelecehan terhadap para korban pelanggaran HAM yang terjadi selama rezim Orde Baru.

Anggota Divisi Pemantauan Impunitas Kontras Jessenia Destarini menyebut usulan tersebut sangat bermasalah karena sama saja dengan memutihkan sejarah kelam dan menghapus jejak kejahatan yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru.

“Pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto merupakan sebuah pelecehan terhadap martabat para korban dan melukai perasaan mereka,” ujar Jessenia saat dihubungi, Sabtu, 12 April 2025. “Lebih dari dua dekade pasca reformasi, korban masih harus terus menuntut keadilan dan tak kunjung mendapatkannya, namun individu yang paling bertanggung jawab atas kejahatan tersebut justru diwacanakan untuk diberi gelar pahlawan.”

Menurut Kontra, masa pemerintahan Soeharto ditandai dengan pelanggaran HAM berat, represi terhadap kebebasan sipil, perampasan lahan, eksploitasi sumber daya alam, militerisasi kehidupan warga, serta maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Semua itu, kata Jessenia, seharusnya menjadi alasan kuat untuk menolak usulan tersebut.

Ia menekankan, pemberian gelar itu juga bertentangan dengan semangat Reformasi 1998 yang menuntut perubahan menuju pemerintahan yang demokratis dan menghargai hak asasi manusia. “Reformasi bukan hanya pergantian presiden, tetapi juga momentum perubahan struktural demi menjamin perlindungan HAM dan pengakuan atas kejahatan yang dilakukan Orde Baru,” katanya.

Kontras juga menilai pemberian gelar tersebut sebagai bentuk impunitas yang berbahaya. “Pemerintah seakan memaklumi bahwa Soeharto bertanggung jawab atas berbagai kejahatan HAM dan penyalahgunaan kekuasaan. Ini membangun pola pikir pemakluman terhadap kejahatan negara,” ujar Jessenia.

Dinda Shabrina

Lulusan Program Studi Jurnalistik Universitas Esa Unggul Jakarta pada 2019. Mengawali karier jurnalistik di Tempo sejak pertengahan 2024.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus