Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko mengatakan bahwa negara tidak bisa bangga hanya mengirimkan orang bersekolah ke luar negeri. Hal ini dia sampaikan dalam puncak peringatan Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (Harkteknas) ke-28 yang diselenggarakan di Gedung B.J. Habibie di Jakarta Pusat pada Kamis, 10 Agustus 2023.
“Itu semua orang bisa lakukan. Sejak zaman Bung Karno kita sudah lakukan. Zaman Pak Habibie juga sudah melakukan,” ujarnya. “Yang kita harus lakukan sekarang adalah bagaimana kita bisa menarik mereka ke sini.”
Menurut Handoko, negara harus memfasilitasi talenta tanah air yang sudah belajar di luar negeri dengan memberi mereka pekerjaan, ‘mainan’, dan peluang untuk bisa meningkatkan kapasitas kompetensinya di Indonesia. Jika tidak, maka menurutnya kekayaan intelektualnya tidak akan ada efeknya untuk negara.
Hal ini berhubungan dengan apa yang disampaikan Presiden Joko Widodo pada kesempatan lain, yaitu puncak acara LPDP Fest 2023 di Kasablanka Hall, Jakarta Selatan.
“Pulang! Pulang! Pulang! Meskipun gaji di sini mungkin lebih rendah sedikit, tetap pulang. Meskipun mungkin fasilitas enak di negara lain, tetap pulang,” kata Jokowi kepada penerima Beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) pada 3 Agustus lalu.
Handoko pun menegaskan bahwa kontribusi ke negara bisa diberikan dari mana saja. Tetapi, untuk memastikan negara bisa mencapai pertumbuhan ekonomi di atas tujuh persen, menurutnya tidak mungkin kalau tidak membuat nilai tambah di negara ini.
“Dan kalau tidak tujuh persen, sudah pasti kita masuk middle income trap,” kata dia.
Tantangan Membawa Talenta Pulang
Sebagai seorang yang juga merupakan mantan talenta diaspora, Handoko membeberkan tantangan membawa pulang talenta Indonesia yang bersekolah di luar negeri.
“Tidak bisa kita mendidik orang, dia sudah ‘jadi’ di luar, kemudian kita suruh balik dan berharap dia melakukan sesuatu. Tidak mungkin kalau kita tidak menyediakan ekosistem, tidak ada laboratoriumnya sama sekali dan dia harus mulai dari nol,” tuturnya kepada media.
Menurutnya, ada beberapa talenta yang mampu bertahan dengan baik. Namun, sebagian besar akhirnya justru malah jatuh. “Talenta bisa jadi talent karena ada ekosistem lingkungan juga. Itu yang menjadi tugas kami untuk melakukan itu,” tambahnya.
500 Posisi di BRIN untuk Talenta Matang
Handoko pun menyebut bahwa ada 500 posisi yang disediakan di BRIN setiap tahunnya sebagai bagian dari manajemen talenta dan upaya mempercepat peningkatan kapasitas sumber daya manusia.
“Kita merekrut anak-anak yang sudah jadi, minimal kualifikasinya S3 di berbagai bidang kepakaran. Jadi itu posisi yang kita buka untuk menjadi ASN di BRIN,” jelasnya. “Dan itu sudah kita mulai dari 2021.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jumlah periset BRIN saat ini ada sepuluh ribu orang di berbagai level. “Dan akan tetap sepuluh ribu, tidak akan berkurang atau bertambah. Masuk 500, keluar 500,” ujarnya.
Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa talenta BRIN yang keluar bisa karena pensiun, bisa juga mengalami redistribusi ke kampus.
“Ini supaya negara tidak berat harus memberikan semua ‘mainan’ ke semua kampus. Jadi kita kumpulkan di BRIN. Tapi yang sudah di BRIN, mampu berkembang dan survive, nanti sepuluh sampai 15 tahun saja di BRIN akan kita redistribusi ke kampus. Sehingga kampus akan menerima yg sudah matang saja,” terangnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini