Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Peristiwa G30S sudah memasuki tahun ke-58. Namun, cerita-ceritanya masih segar di ingatan bangsa Indonesia. Dalam peristiwa berdarah itu, tujuh orang perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) gugur menjadi korban.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Butuh waktu tiga hari untuk menemukan jasad mereka. Pada 4 Oktober 1965, jenazah tujuh perwira TNI AD diangkat dari sumur Lubang Buaya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Uniknya, proses pengangkatan jenazah tidak dilakukan oleh pasukan TNI AD, melainkan oleh Korps Komando Operasi (KKO) Angkatan Laut. KKO sekarang berubah nama menjadi Korps Marinir.
Pasukan KKO yang ditugaskan untuk mengangkat jenazah perwira TNI AD, yaitu Winarto, M. Sutarto, Sumarno (dokter gigi), Kho Tjioe Liong (dokter tentara), Saparimin, J. Kandouw, A. Sudardjo, Hartono, Samuri, I. Subekti, Baharudin dan Sugimin. Mereka dibawa dengan tiga mobil militer, tiga mobil tersebut sudah termasuk untuk mengangkut peralatan.
Sugimin (tiga dari kanan) saat menarik jenazah enam jenderal dan satu perwira dari sumur Lubang Buaya, 4 Oktober 1965. (Istimewa)
Dilansir dari tnial.mil.id, sebelum peristiwa 30 September 1965, Pelda KKO (purn) J. Venkandou dan Pelda KKO (purn) Sugimin sudah berada di Ancol, Jakarta Utara. Mereka sedang mempersiapkan acara Hari Ulang Tahun (HUT) TNI yang rencananya akan disaksikan langsung oleh Presiden Sukarno. “Sebelum peristiwa 30 September, kami sedang mempersiapkan Pantai Ancol untuk show of force acara HUT TNI. Kami sudah persiapkan sejak bulan Juli,” ujar Venkandou.
Pada 30 September 1965 malam, Venkandou sudah merasakan situasi yang tak lazim. Pada malam itu, ia melihat banyak sekali tentara yang seperti akan melakukan operasi. “Situasi di daerah Tanjung Priok, banyak tentara seperti mau ada operasi, seperti mau ada perang,” katanya.
Keesokan harinya, 1 Oktober 1965, Venkandou mendengar siaran radio Radio Republik Indonesia (RRI) yang sudah dikuasai oleh Letkol Untung, pimpinan pasukan Cakrabirawa yang menculik tujuh perwira TNI AD. Ketika itu, Letkol Untung mengumumkan lewat RRI bahwa ia adalah ketua dewan revolusi. “Kalau ada yang mau ikut langsung akan dinaikkan pangkat dan tingkat,” ujar Venkandou. Saat itu, Venkandou dan rekan-rekan belum mengetahui maksud dari siaran radio tersebut.
Sejurus setelah itu, peringatan HUT TNI dibatalkan. Pada 3 Oktober 1965 jam 10 malam, Vekandou dan Sugimin beserta rekan-rekan KKO didatangi Kapten Sukendar. Kedatangan Kapten Sukendar adalah untuk meminta bantuan mengangkat jenazah para perwira TNI AD yang terkubur di sumur Lubang Buaya. Sebelum menemui mereka, Kapten Sukendar sempat memastikan lokasi jenazah para perwira TNI AD kepada Mayor Jenderal Soeharto.
Selanjutnya: Kisah tim evakuasi pengangkatan 7 jenazah Perwira TNI AD dari sumur Lubang Buaya
Akhirnya, pada dinihari sekitar pukul 01.30, tim evakuasi yang terdiri dari 12 orang tersebut diberangkatkan ke Lubang Buaya. Sugimin mengungkapkan mereka malah menuju ke Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma karena belum tahu lokasi persisnya. Tujuan mereka ke sana adalah untuk bertanya kepada perwira yang berjaga. Namun, ia juga tidak tahu. “Akhirnya, kami bertemu seorang polisi di sekitar Halim, dialah yang menunjukkan jalan ke Lubang Buaya,” terang Sugimin.
Setelah menempuh jarak kurang lebih 3 kilometer dari Halim, tim evakuasi tiba di Lubang Buaya. Namun, lokasi ternyata sudah dijaga ketat oleh pasukan Resumen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD). “Kami dilarang masuk oleh pasukan baret merah, harus menunggu Mayor Jenderal Soeharto masuk lebih dulu,” ujar Sugimin.
Tim evakuasi tertahan di akses jalan menuju sumur Lubang Buaya sampai pagi menuju siang. Barulah sekitar pukul 11.00, rombongan Mayor Jenderal Soeharto datang. Setelah itu, tim evakuasi dipersilakan masuk. Sesampainya di sana, tim evakuasi langsung bekerja. Pada awalnya, terdapat kendala teknis karena sumur cukup dalam dan diameter sangat sempit. Bahkan, beberapa prajurit pingsan karena terpapar gas beracun dari dalam sumur Lubang Buaya.
Dari situ, dilakukanlah proses orientasi untuk mengetahui metode yang tepat untuk mengangkat seluruh jenazah. Terdapat tiga opsi pengangkatan. Pertama, mengangkat langsung. Kedua, memperlebar sumur. Ketiga, menggunakan tali. Atas keputusan Kho Tjioe Liang dan Kapten Sumarno, akhirnya dipilihlah opsi ketiga.
Proses evakuasi memakan waktu 4 jam, dari pukul 11.00 hingga sekitar 15.00. Ketujuh Jenazah perwira TNI AD korban G30S dimakamkan pada 5 Oktober 1965 di Taman Makam Pahlawan.
ANANDA RIDHO SULISTYA | KUKUH S. WIBOWO | M. RIZQI AKBAR