SEJAK awal tahun ini Bupati Minahasa tampak sibuk. Mula-mula ia
meresmikan 31 buah desa yang baru lahir. Kemudian melantik 6
orang pembantu baru pula. Para pembantu ini terdiri dari mereka
yang berpangkat setingkat di atas camat dengan tugas
mengkordinir bebetapa kecamatan, yaitu bekas distrik yang
dikepalai seorang hukum tua di zaman Belanda. Terakhir sekali,
dua pekan lalu, dikabarkan Bupati Minahasa, J.F. Lumentut,
diberhentikan dari jabatannya karena menurut penelitian Opstib
melakukan penyelewengan.
Desa-desa yang baru lahir itu adalah hasil pecahan desa lama
yang berpenduduk di atas 3.000 jiwa. Menurut Bupati Lumentut
(waktu itu), pemekaran ini dimaksudkan untuk memperlancar
pengawasan di samping akan berarti pula: menambah jumlah
bantuan desa dari Pemerintah Pusat. Namun pemecahan desa-desa
itu bukannya tak mengundang masalah -- setidak-tidaknya
begitulah banyak diperkirakan.
Misalnya pemecahan Desa Malalayang di Kecamatan Pineleng. Desa
ini dibagi dua menurut sungai yang mengalir di tengahnya. Tapi
setelah diteliti, penduduk seberang barat terdiri dari suku
Sangir sementara yang di seberang timur suku Bantik. Kedua suku
dengan darah mudah menyala itu, apa lagi kalau sedang tersiram
alkohol, mudah dibayangkan suatu ketika akan tersentuh rasa
kesukuannya.
Memperpanjang Jalan
Masih di Kecamatan Pineleng, Desa Kembes, dipecah menjadi utara
dan selatan. Ternyata sebelah utara penduduknya beragama GMIM
(Gereja Masehi Injili Minahasa) sedang yang sebelah selatan
penduduknya beragama Katolik. "Kerukunan agama bisa terganggu
setelah desa ini dipecah," ucap Hukum Tua Kembes, Pontoh
Kindangan. Masalah-masalah yang timbul akibat pemecahan desa itu
terjadi juga di desa-desa lainnya seperti soal batas dan
bangunan-bangunan desa yang sudah ada.
Tapi semua soal itu barangkali juga menjadi tugas 6 orang
pembantu bupati yang baru diangkat tadi untuk membenahinya.
Mereka adalah J.N. Kawatu di Kawangkoan, Teo Logor di Tomohon
N.F. Kewas di Ratahan J.A. Dotulong di Amurang, J.K. Pelealu di
Airmadidi dan H. Rombot di Tondano. Penempatan pejabat-pejabat
ini agaknya dirasa penting, terutama karena bupati sendiri
terkadang kewalahan menghadapi 27 kecamatan di daerahnya. Tapi
meskipun pengangkatan para pembantu bupati itu dimaksudkan juga
untuk memperlancar pemerintahah, tak sedikit pula camat yang
mulai was-was.
"Bukan tidak mungkin mereka itu akan jadi pelapor yang tidak
jujur kepada bupati tentang tindakan para camat," kata seorang
camat yang tak mau disebut namanya. Lagi pula dikhawatirkan
dengan adanya para pembantu bupati itu akan memperpanjang jalur
pemerintahan sebelum persoalan-persoalan sampai di tangan
bupati. Tapi Bupati Lumentut sendiri mengungkapkan bahwa
penambahan struktur pemerintahannya itu tak menyimpang dari UU
No. 5 tahun 1974. Malahan menurut Lumentut hal itu merupakan
persiapan pembentukan Daerah Swatantra Tingkat III yang telah
lama diidam-idamkan daerah-daerah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini