ADA versi lain sebagai buntut razia terhadap penebang liar kayu
ulin di Kecamatan Jorong, Kalimantan Selatan (TEMPO 28 Januari
78). Versi ini tak lain berasal dari Gubernur Subardjo sendiri.
Pemberitaan pers tak sedramatis seperti digambarkan, katanya.
"Tidak benar 3 orang penduduk Jorong mati karena kelaparan"
Subarjo menambahkan.
Memang diakuinya, ada 3 orang penduduk kecamatan itu yang mati,
"tapi karena muntah berak dan terjadinya jauh sebelum Opstib
menyita kayu-kayu ulin dan menangkap penebang-penebang liar."
Tapi anan Manuntung di Banjarmasin yang pertama kali memuat
soal kematian itu tak memuat bantahan Gubernur Subardjo. Karena,
menurut kalangan harian itu, informasi yang mereka dapat berasal
dari keluarga dekat 3 orang yang mati itu, bahkan lengkap dengan
nma-nama para almarhum. Dan menurut sumber Hanan Manuntung,
kematian mereka jelasjelas karena kekurangan makan.
Subardjo juga membantah bahwa Sahida, Kepala Desa Asam-asam
mengajukan permintaan berhenti karena adanya larangan menebang
kayu ulin oleh penduduk. Tapi yang pasti, 2 pekan lampau
iuspida Kalimantan Selatan telah meninjau kembali peraturan
pelarangan menebang kayu jenis itu. Keputusannya, penduduk
Jorong diperkenankan menebang ulin di wilayah itu dengan
syarat-syarat tertentu. Yaitu, penebang sebelumnya harus
mempunyai surat izin, menebang tak boleh pakai gergaji mesin,
tapi harus memakai kapak alias belayung, izin tebang hanya
diberikan kepada penduduk Jorong, tidak bagi penduduk dari luar
wilayah itu.
Sejak syarat-syarat itu diumumkan sudah diberikan 70 izin untuk
penduduk dalam bentuk HPHH (hak pemungutan hasil hutan). Tiap
orang hanya satu izin. masing-masing untuk 100 hektar. Yang
sedang dalam proses lebih banyak lagi.
Tapi kemudian timbul soal masih berapa lama hutan jorong mampu
memberi mahan kepada penduduknya? "Di sinilah kita dihadapkan
pada dilema," kata Subardjo, "di mana hutan-hutan ulin sudah
mulai gundul, sementara hajat untuk menjaga kelestarian hutan
tertumbuk pada kebutuhan penduduk yang sudah terlanjur
menggantungkan hidupnya dengan mencari ulin." Menurut Gubernur
Katimantan Selatan itu, jika penduduk terus menerus menebang
ulin di sana, paling lama kayu-kayunya akan habis dalam waktu 10
tahun mendatang.
Karena itu agaknya, tinggal bagaimana pihak Pemerintah Daerah
Kalimantan sendiri meyakinkan penduduknya agar mulai menengok
potensi pertanian yang masih terpendam di Kecamatan Jorong.
Tapi kabar terakhir dari Banjarmasin menyebutkan bahwa 3
orang wartawan, yaitu Usman Rifani (Koresponden Sinar Harapan),
Suroso Sundoro (Koresponden Kompas) dan Lian Sitanggang dari
Hanan Media Masyarakat (Ban jarmasin) akhir bulan lalu ditangkap
Laksusda Kal-Sel/Kal-Teng. Beruntung bahwa ketiganya hanya 3
malam saja mengisi ruang tahanan, walaupun Suroso Sundoro
sempat disekap bersama-sama tahanan kriminil.
Pada mulanya tak seorang pejabat pun mau memberi keterangan
tentang sebab-sebab penangkapan itu. Ketiga wartawan itu juga
membisu setelah dibebaskan. Tapi Usman Rilani akhirnya menyebut
laporannya di Harian Sinar Harapan tentang pergantian Walikota
Banjarmasin sebagai penyebab. Menurut Suroso Sundoro,
penamanannya karena laporannya di Harian Kompas tentang
penebangan kayu ulin di Jorong. Tapi ditambahkannya, bukan itu
penyebab utama, "melainkan berita tentang ancaman kelaparan
terhadap penduduk Jorong akibat larangan penebangan ulin."
Menurut Koresponden Kompas itu, memang berita itu "suatu
kehilafan ketik saja." Katanya, "sudah saya beritahu redaksi
untuk diralat, tapi karena Kompas dilarang terbit, pembetulan
itu tak sempat muncul." Namun lain lagi alasan penahanan
Sitanggang. "Saya ditahan bukan soal berita," katanya kepada
TEMPO, "tapi tuduhan seakan-akan saya pernah berkata bahwa
Kepala Kejaksaan Muara Tewe tidak Pancasilais." Karena ia merasa
tidak pernah berkata demikian, tentu saja wartawan ini bingung
ketika ia dijemput petugas di penginapannya di Palangkaraya.
Setelah ditangkap di Palangkaraya, Sitanggang dibawa ke
Banjarmasin. "Saya memang ke Muara Tewe, tapi untuh mengecek
bcrita," ucapnya.
Soal penangkapan itu kabarnya sudah clear, baik antara mereka
yang bersangkutan maupun PWI setempat dengan pihak Laksusda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini