Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Soal Ulin, Menurut Subarjo

Muspida kal-sel meninjau kembali larangan menebang kayu ulin & izin menebang diberikan pada penduduk kec. jorong. gubernur kal-sel membantah adanya penduduk yang mati kelaparan selama adanya larangan.(dh)

11 Februari 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA versi lain sebagai buntut razia terhadap penebang liar kayu ulin di Kecamatan Jorong, Kalimantan Selatan (TEMPO 28 Januari 78). Versi ini tak lain berasal dari Gubernur Subardjo sendiri. Pemberitaan pers tak sedramatis seperti digambarkan, katanya. "Tidak benar 3 orang penduduk Jorong mati karena kelaparan" Subarjo menambahkan. Memang diakuinya, ada 3 orang penduduk kecamatan itu yang mati, "tapi karena muntah berak dan terjadinya jauh sebelum Opstib menyita kayu-kayu ulin dan menangkap penebang-penebang liar." Tapi anan Manuntung di Banjarmasin yang pertama kali memuat soal kematian itu tak memuat bantahan Gubernur Subardjo. Karena, menurut kalangan harian itu, informasi yang mereka dapat berasal dari keluarga dekat 3 orang yang mati itu, bahkan lengkap dengan nma-nama para almarhum. Dan menurut sumber Hanan Manuntung, kematian mereka jelasjelas karena kekurangan makan. Subardjo juga membantah bahwa Sahida, Kepala Desa Asam-asam mengajukan permintaan berhenti karena adanya larangan menebang kayu ulin oleh penduduk. Tapi yang pasti, 2 pekan lampau iuspida Kalimantan Selatan telah meninjau kembali peraturan pelarangan menebang kayu jenis itu. Keputusannya, penduduk Jorong diperkenankan menebang ulin di wilayah itu dengan syarat-syarat tertentu. Yaitu, penebang sebelumnya harus mempunyai surat izin, menebang tak boleh pakai gergaji mesin, tapi harus memakai kapak alias belayung, izin tebang hanya diberikan kepada penduduk Jorong, tidak bagi penduduk dari luar wilayah itu. Sejak syarat-syarat itu diumumkan sudah diberikan 70 izin untuk penduduk dalam bentuk HPHH (hak pemungutan hasil hutan). Tiap orang hanya satu izin. masing-masing untuk 100 hektar. Yang sedang dalam proses lebih banyak lagi. Tapi kemudian timbul soal masih berapa lama hutan jorong mampu memberi mahan kepada penduduknya? "Di sinilah kita dihadapkan pada dilema," kata Subardjo, "di mana hutan-hutan ulin sudah mulai gundul, sementara hajat untuk menjaga kelestarian hutan tertumbuk pada kebutuhan penduduk yang sudah terlanjur menggantungkan hidupnya dengan mencari ulin." Menurut Gubernur Katimantan Selatan itu, jika penduduk terus menerus menebang ulin di sana, paling lama kayu-kayunya akan habis dalam waktu 10 tahun mendatang. Karena itu agaknya, tinggal bagaimana pihak Pemerintah Daerah Kalimantan sendiri meyakinkan penduduknya agar mulai menengok potensi pertanian yang masih terpendam di Kecamatan Jorong. Tapi kabar terakhir dari Banjarmasin menyebutkan bahwa 3 orang wartawan, yaitu Usman Rifani (Koresponden Sinar Harapan), Suroso Sundoro (Koresponden Kompas) dan Lian Sitanggang dari Hanan Media Masyarakat (Ban jarmasin) akhir bulan lalu ditangkap Laksusda Kal-Sel/Kal-Teng. Beruntung bahwa ketiganya hanya 3 malam saja mengisi ruang tahanan, walaupun Suroso Sundoro sempat disekap bersama-sama tahanan kriminil. Pada mulanya tak seorang pejabat pun mau memberi keterangan tentang sebab-sebab penangkapan itu. Ketiga wartawan itu juga membisu setelah dibebaskan. Tapi Usman Rilani akhirnya menyebut laporannya di Harian Sinar Harapan tentang pergantian Walikota Banjarmasin sebagai penyebab. Menurut Suroso Sundoro, penamanannya karena laporannya di Harian Kompas tentang penebangan kayu ulin di Jorong. Tapi ditambahkannya, bukan itu penyebab utama, "melainkan berita tentang ancaman kelaparan terhadap penduduk Jorong akibat larangan penebangan ulin." Menurut Koresponden Kompas itu, memang berita itu "suatu kehilafan ketik saja." Katanya, "sudah saya beritahu redaksi untuk diralat, tapi karena Kompas dilarang terbit, pembetulan itu tak sempat muncul." Namun lain lagi alasan penahanan Sitanggang. "Saya ditahan bukan soal berita," katanya kepada TEMPO, "tapi tuduhan seakan-akan saya pernah berkata bahwa Kepala Kejaksaan Muara Tewe tidak Pancasilais." Karena ia merasa tidak pernah berkata demikian, tentu saja wartawan ini bingung ketika ia dijemput petugas di penginapannya di Palangkaraya. Setelah ditangkap di Palangkaraya, Sitanggang dibawa ke Banjarmasin. "Saya memang ke Muara Tewe, tapi untuh mengecek bcrita," ucapnya. Soal penangkapan itu kabarnya sudah clear, baik antara mereka yang bersangkutan maupun PWI setempat dengan pihak Laksusda.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus