Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Serbet Usang di Meja Puan 

RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga teronggok di DPR nyaris 19 tahun. Ada lobi-lobi menjegalnya.

5 Maret 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Presiden Jokowi meminta DPR segera mengesahkan RUU PPRT.

  • PDI Perjuangan masih menolak, Golkar sudah balik badan mendukung.

  • RUU PPRT tak kunjung dibahas setelah 19 tahun.

PIDATO Presiden Joko Widodo pada 18 Januari 2023 yang meminta Dewan Perwakilan Rakyat segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) membuat gerah Puan Maharani. Ketua DPR itu segera menghubungi I Gusti Ayu Bintang Darmawati, sesama politikus PDI Perjuangan yang menjabat Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kepada Bintang, Puan mempertanyakan desakan pemerintah yang tiba-tiba gencar bersuara perihal RUU itu. Menurut Puan, pemerintah terlampau getol mendorong RUU PPRT disahkan. “Sangat wajar pertanyaan itu karena pemerintah mendesak RUU ini segera diundangkan,” ujar Bintang di kompleks Istana Negara Jakarta, Kamis, 2 Maret lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sehari setelah pidato Jokowi, kepada wartawan, Puan mengatakan draf RUU PPRT masih perlu mendapatkan masukan publik. Namun pada Selasa, 28 Februari lalu, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menuturkan bahwa Dewan akan membahas RUU itu setelah reses pada pertengahan Maret nanti. 

Bintang mengatakan Presiden meminta kementeriannya serius mengawal RUU PPRT di DPR. Pemerintah, kata Bintang, sudah siap membahas formalisasi pekerja rumah tangga bersama para politikus Senayan jika draf undang-undangnya telah dibawa ke rapat paripurna. Jika gol, pembahasan ini seperti pecah telur karena rancangan itu sudah ngendon di DPR hampir 19 tahun.

Menurut Bintang, RUU PPRT penting untuk memberikan kepastian hukum bagi para pembantu rumah tangga. Selama ini, PRT acap digolongkan sebagai kelompok pekerja informal tanpa payung hukum yang jelas. Padahal sebagian besar dari mereka adalah perempuan dan anak-anak yang rentan terhadap kekerasan fisik, psikis, dan seksual serta ekonomi. “Sebanyak 84 persen merupakan perempuan dan 14 persen di antaranya anak-anak,” ucapnya.

Presiden Joko Widodo bersiap memberikan keterangan pers supaya Kemenkumham dan Kementerian Ketenagakerjaan untuk berkonsultasi serta berdiskusi dengan DPR guna mempercepat penetapan Undang-Undang PPRT, di Istana Merdeka, Jakarta, 18 Januari 2023. BPMI Setpres/Muchlis Jr

Ketua Fraksi PDIP Utut Adianto tak menampik atau membenarkan kabar bahwa Puan bertemu dengan Bintang Darmawati membahas RUU PPRT. Namun ia membantah jika Puan disebut kesal karena tak diberi tahu lebih dulu soal rencana pemerintah mendengungkan RUU itu. “Di Senayan ada banyak urusan, ada ratusan RUU,” kata Utut.

Utut mengklaim, Puan justru membuka komunikasi dengan banyak pihak setelah Jokowi berpidato mendukung RUU PPRT. Puan meminta Utut mengundang Menteri Bintang Darmawati untuk mendiskusikannya. Bintang kemudian menemui Fraksi PDIP pada Senin, 30 Januari lalu. 

RUU PPRT mandek di meja pimpinan DPR sejak 2020 setelah rampung digodok di Badan Legislasi. Koalisi masyarakat sipil resah DPR akan mengabaikan pembahasan RUU itu kendati telah masuk program legislasi nasional prioritas.

Pada pertengahan 2022, Koordinator Koalisi Sipil RUU PPRT Eva Kusuma Sundari menghubungi Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej meminta pemerintah ikut mendorong RUU ini. “Sejak kami selesai dengan urusan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, saya langsung mengontak Eddy untuk meyakinkan RUU ini penting,” tuturnya.

Eva mengatakan muatan dalam RUU ini sesuai dengan Nawacita Jokowi. Jika disahkan, RUU PPRT akan memberikan kesan baik pada portofolio pemerintah seiring dengan berakhirnya masa jabatan Jokowi pada 2024. Selain itu, jumlah pekerja bakal bertambah di akhir masa jabatan Presiden karena 4,2 juta pekerja rumah tangga akan menjadi pekerja formal.

Kantor Staf Presiden kemudian membentuk Gugus Tugas Percepatan Pembentukan Undang-Undang tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga pada Agustus 2022. Eddy Hiariej yang memimpin. Tak lama berselang, menurut Eva, Eddy membuat analisis dari sisi hukum untuk membedah RUU tersebut. 

Eddy juga gencar menghubungi banyak orang di lingkaran pemerintah untuk memastikan mereka satu suara soal RUU PPRT. Di lingkup internal pemerintahan, masih ada berbagai kalangan yang ragu terhadap substansi RUU ini. Misalnya soal jam kerja dan unsur pidana.

Eddy mengatakan hanya menjalankan tugasnya sebagai Ketua Gugus Tugas. “Saya mendapatkan surat keputusan sebagai Ketua Gugus Tugas RUU PPRT, saya jalankan sesuai dengan tugas dan fungsinya. Semua kementerian/lembaga yang terlibat telah memiliki pandangan visi dan misi yang sama,” katanya pada Jumat, 3 Maret lalu. 

Gugus Tugas menargetkan DPR mengesahkan RUU itu dalam rapat paripurna penutupan masa sidang Desember 2022. Tujuannya agar RUU ini selesai sebelum masa jabatan pemerintahan Jokowi berakhir. Bersama timnya di Kantor Staf Presiden, Eddy banyak melobi politikus di partai yang bersuara keras mempertanyakan urgensi RUU ini.

Eddy kabarnya menemui beberapa anggota PDI Perjuangan dan Partai Golkar—dua partai yang belum sreg dengan RUU PPRT—sejak Agustus hingga Desember 2022. Dihubungi pada Jumat, 3 Maret lalu, Eddy membantah jika disebut telah melobi partai politik. Deputi II Kantor Staf Presiden Abetnego Tarigan juga ikut bergerilya menemui politikus PDIP. “Ada pembagian-pembagian tugas di Gugus Tugas Percepatan Undang-Undang PPRT, tapi tidak secara persis. Kami cair, tapi memastikan ada komunikasi politik dengan DPR,” ucap Abetnego.

Gugus Tugas meminta RUU PPRT mendapat perhatian penuh Presiden. Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko memberikan saran kepada Jokowi pada 27 September 2022 yang isinya meminta Presiden memberikan pernyataan terbuka soal RUU PPRT. Dalam salinan memo yang dilihat Tempo, pesan itu berbunyi: RUU PPRT akan menunjukkan keberpihakan pemerintah terhadap wong cilik. 

Selain bergerilya, anggota Gugus Tugas membuat daftar inventarisasi masalah (DIM) bayangan. Dalam DIM tersebut, pemerintah mengubah dan menghapus beberapa klausul yang dipertentangkan di DPR. Misalnya pasal 30 tentang pidana delapan tahun penjara dan denda Rp 125 juta bagi majikan yang melakukan kekerasan.

Dalam DIM usulan pemerintah, sanksi pidana dihapus, kemudian diubah menjadi sanksi administratif. “Bila ada tindak pidana, itu akan diatur di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,” tutur Abetnego. Ia mengatakan DIM bayangan pemerintah menampung usul berbagai partai politik. Dengan DIM itu, ia berharap pengesahan RUU PPRT di DPR tidak lagi terganjal.

Dalam rapat Badan Legislasi pada 1 Juli 2020, Fraksi PDIP meminta DPR menunda pembahasan RUU PPRT. Alasannya, butuh pendalaman substansi. Menurut wakil PDIP, perlu ada harmonisasi antara RUU PPRT dan Undang-Undang Ketenagakerjaan agar tak berbenturan.

Ketua Panitia Kerja RUU PPRT Willy Aditya mengatakan politikus PDIP memang acap menginterupsi pembahasan RUU PPRT. Para politikus itu, kata dia, khawatir terhadap unsur pidana di dalamnya. “Di rapat Baleg (Badan Legislasi) banyak yang paranoid,” ujarnya.

Di lain kesempatan, seorang anggota Badan Legislasi DPR mengaku pernah diingatkan oleh dua petinggi partai banteng agar tidak terlalu getol membahas RUU PPRT. Teguran itu terjadi setelah mereka mengirimkan surat berkali-kali kepada Puan Maharani agar segera membawa draf tersebut ke rapat paripurna.

Ketua Fraksi PDIP Utut Adianto menyatakan partainya tak melihat ada urgensi pengesahan RUU PPRT. Pernyataan ini juga ia sampaikan saat bertemu dengan tiga anggota Gugus Tugas di kantornya di lantai 7 kompleks Parlemen Senayan, Kamis, 2 Maret lalu.

Kepada tiga anggota Gugus Tugas itu, Utut mengatakan pelindungan pekerja rumah tangga telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. “Tidak ada kekosongan hukum, tidak ada kegentingan memaksa,” ucap Utut.

Selain itu, menurut Utut, masih banyak substansi RUU PPRT yang perlu diperbaiki. Muatan pidana dalam Pasal 30 RUU PPRT, ia mencontohkan, belum dipikirkan secara berimbang karena hanya menyasar pemberi kerja. Utut khawatir pasal itu rawan mengkriminalisasi majikan. Ia menyangkal jika fraksinya disebut menolak RUU PPRT. “Sambil merem pun kami tanda tangan kalau substansinya jelas,” katanya. 

Wakil Menteri Hukum dan HAM Eddy Hiariej mengkonfirmasinya. Menurut dia, politikus PDIP tidak keberatan terhadap RUU PPRT. “Hanya ada beberapa pasal yang disoroti, seperti ketentuan pidana,” ujarnya.

Di lingkup internal PDIP, suara mengenai RUU PPRT terpecah. Beberapa politikus PDIP di Badan Legislasi dan Komisi IX, yang menangani ketenagakerjaan, disebut-sebut mendukung rancangan ini. Namun politikus pendukung RUU PPRT cenderung diam atau tak mengkritik draf undang-undang itu. 

Pada akhir tahun lalu, PDIP juga menyelenggarakan diskusi terfokus di lingkup internal fraksi untuk membahas RUU itu. Dalam surat internal 23 November 2022, diskusi mengundang Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly, hingga Deputi II Kantor Staf Presiden Abetnego Tarigan. 

Diskusi berlangsung pada 3 Desember 2022 di kantor DPP PDIP selama hampir dua jam. Dalam sesi diskusi, Abetnego memberikan penjelasan kepada politikus PDIP bahwa RUU PPRT akan mengacu pada undang-undang tentang pekerja domestik di Hong Kong. 

Regulasi tersebut, kata dia, tidak akan memuat klausul pidana serta memberikan fleksibilitas pada negosiasi jam kerja dan upah. Juga tak akan mengatur pekerja yang memiliki unsur kekerabatan. “Saya lihat di forum itu enggak ada yang menolak,” tutur Abetnego.

Sementara itu, Partai Golkar menganggap RUU PPRT tak urgen. Dalam rapat Badan Legislasi pada 14 Januari 2021, politikus partai tersebut menilai DPR tak perlu membahas rancangan itu. “Golkar menolak untuk dilanjutkan karena masih belum mendesak,” ucap anggota Fraksi Golkar, Christina Ariyani.

Ketua DPP Partai Golkar Firman Soebagyo menjelaskan, semula partainya mempermasalahkan RUU itu karena isinya mengatur asas hubungan keluarga dalam pekerjaan pembantu rumah tangga. Menurut Firman, asas itu akan menjerat kerabat yang membayar kerabatnya bekerja di rumah mereka secara profesional. “Jangan sampai masalah pembantu ini dikapitalisasi oleh lembaga organisasi,” ujarnya.

Penolakan anggota Fraksi Golkar terhadap RUU PPRT membuat Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto memanggil Firman. Menurut Firman, Airlangga mempertanyakan alasan fraksinya tak sepakat melanjutkan pembahasan RUU PPRT. Setelah pemanggilan itu, kata Firman, partainya kini mendukung rancangan tersebut dibahas DPR. “Semua usulan Golkar sudah diakomodasi. Tidak ada alasan lagi kami menolak,” tuturnya.

Tak hanya melakukan lobi menekan DPR agar mengesahkan RUU PPRT, para pembantu rumah tangga juga getol berdemonstrasi menuntut pembahasan dan pengesahan. Koalisi masyarakat pendukung RUU PPRT puluhan kali menongkrongi pintu gerbang DPR setiap Rabu sejak 2020 sambil membentangkan kain serbet menuntut DPR mengesahkan RUU PPRT.

Ketua DPR RI Puan Maharani dan Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad saat Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, November 2022. Tempo/M Taufan Rengganis

Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Pekerja Rumah Tangga Lita Anggraini mengatakan koalisi akan terus menagih janji Puan Maharani melindungi pekerja yang mayoritas perempuan dan anak-anak. “Kalau sampai tidak ada kelanjutan pembahasan, kami akan mogok makan pada 15 Maret 2023,” kata Lita.

Koordinator Koalisi Sipil RUU PPRT Eva Sundari mengatakan kelompoknya berkali-kali menyurati Puan Maharani segera mengesahkan draf undang-undang tersebut. Dia khawatir nasib RUU ini usang di DPR jika tak segera dibahas. Apalagi, mendekati 2024, fokus para politikus Senayan bergeser ke pemilihan umum. “Kami sampai pegel. Apa mau PDIP, kami ikuti,” kata mantan anggota DPR dari PDI Perjuangan ini.

RAYMUNDUS RIKANG, EGY ADYATAMA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Francisca Christy Rosana

Francisca Christy Rosana

Lulus dari Universitas Gadjah Mada jurusan Sastra Indonesia pada 2014, Francisca mulai bergabung di Tempo pada 2015. Kini ia meliput untuk kanal ekonomi dan bisnis di Tempo.co.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus