Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Berita Tempo Plus

Kisah anak ajaib di kedungombo

Ratusan penduduk kedungombo menyaksikan pementasan ketoprak dengan cerita "dumadining rowo pening". mereka sudah lama sedih & cemas, maka perlu hiburan. bupati boyolali merasa tak terganggu olehnya.

13 Mei 1989 | 00.00 WIB

Kisah anak ajaib di kedungombo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
LANGIT jernih biru di atas Kedungombo. Bulan muncul sepenggal. Ratusan manusia, laki-laki, wanita, dan anak-anak, bergerombol, mengepung sebuah panggung 11 x 14 meter di depan rumah Ngadimin. Malam itu, Jumat pekan lalu, penduduk Kedungombo bergadang menonton pementasan ketoprak, yang melakonkan cerita Dumadining Rowo Pening, kisah timbulnya Rawa Pening. Kendati tanpa umbul-umbul dan spanduk iklan, suasana malam itu cukup semarak. Sejumlah penduduk membuka warung, menjajakan rokok, singkong goreng, atau kopi panas. "Sudah lama kawan-kawan di sini sedih dan cemas, mereka perlu hiburan," kata Jaswadi, tokoh Kedungombo yang memprakarsai acara itu. Namun, yang benar-benar menjadi tokoh malam itu adalah Darmis, 38 tahun, yang bersama Jaswadi sering mewakili penduduk bermusyawarah dengan aparat. Dialah sutradara pementasan di Guyuban, Kemusu, Boyolali itu. Sekaligus dia dengan akting yang mantap -- memerankan tokoh pertapa dari Gunung Telomoyo, Kyai Anjar Selokantoro. Syahdan, dalam skenario Darmis, seekor naga sakti mendadak datang ke pertapaan Telomoyo. Di hadapan Kyai Selokantoro, sang naga mengaku bernama Joko Respati, dan mengklaim dirinya sebagai putra sang pertapa. Tentu saja sang pertapa kelimpungan. Lalu diciptakanlah sebuah trik: Respati akan diakui sebagai anak jika sanggup bertapa sambil melilit kaki Gunung Situnggur dengan tubuhnya. Tantangan itu diterima oleh Naga Respati, yang dimainkan oleh Sugiyo. Maka, Respati mulai menjulurkan badannya. Dasar ular sakti, Gunung Situnggur itu pun bisa dililitnya. Respati terbujur di situ sampai puluhan tahun lamanya. Suatu hari, penduduk Bonorowo, desa di lereng Gunung Situnggur, sedang melakukan bersih desa. Seorang penduduk yang sedang menggali tanah tiba-tiba terkejut: alat galinya menembus daging ular raksasa. Saat itu juga, penduduk menyembelih tubuh naga itu. Ajaib, dari perut ular tadi muncul seorang anak buruk rupa, yang mengaku bernama Baru Klinthing. Singkat kata, Baru Klinthing kembali ke pertapaan, dan diakui sebagai anak oleh Selokantoro. Setelah diberi pusaka sakti berupa lidi, anak ajaib itu disuruh kembali ke Bonorowo. Buntutnya, Baru Klinthing malah dihina dan nyaris dikeroyok. Tapi si bocah butut itu tak keder. Dia tancapkan lidinya ke tanah, sembari sesumbar. "Siapa pun tak akan sanggup membunuhku, kecuali ada yang bisa mencabut lidi ini." Semua laki-laki desa itu mencoba, tapi tak seorang pun sanggup. Maka, lidi itu dicabut sendiri oleh Baru Klinthing. Lantas, "sur . . ." air bah memancar dari anah dan menenggelamkan desa itu. "Berilah nama daerah ini Rawa Pening," begitu konon wasiat Baru Klinthing sebelum tubuhnya raib. Legenda Jawa kuno itu dimainkan oleh Darmis dkk. secara tidak mengecewakan. Ada tarian gemulai, gerak silat yang lincah, dan dialog yang tangkas. Adegan itu disisipi pula oleh guyonan yang getir. Umpamanya saja, tanpa keluar dari alur cerita, seorang tokoh mengeluh karena tak lagi bisa merumput dan berladang karena tanah di situ ditelan air rawa. Bahwa masalah air dan danau buatan yang diangkat ke panggung, ini diakui oleh Darmis sebagai hal yang disengaja. "Cerita itulah yang sesuai dengan masalah yang kami hadapi," ujarnya. Pementasan ketoprak dengan pemain-pemain lokal itu diselenggarakan untuk merayakan malem selikuran, malam ke-21 Ramadan, yang sering diistimewakan oleh penganut Islam-Jawa. Pementasan yang memperoleh izin yang berwajib itu menelan biaya Rp 300 ribu. "Tak ada bantuan dari luar," kata Jaswadi. Bupati Boyolali sendiri tampaknya tak merasa terganggu dengan acara ketoprak itu. "Kesenian mereka perlu dibina dan dikembangkan," kata Bupati M. Hasbi.Kastoyo Ramelan (Biro Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum