TIBA di Taraweang, Kecamatan Labakkang, Pangkep, Prof. Dr. Dody
Tisna Amidjaja, Dirjen Pendidikan Tinggi P&K, nampak terharu.
Memimpin rombongan Pimpinan Pelaksana Kuliah Kerja Nyata (KKN)
se Indonesia di Sulawesi Selatan, Dirjen yang kini masih
merangkap rektor ITB itu memang mendapat sambutan yang meriah.
Menjelang tempat penyambutan resmi di Balai Desa, sekelompok
pramuka dan ibu-ibu berseragam kebaya hijau yang berpeluh
disengat matahari siang, berjajar membentuk pagar. Kabarnya
mereka sudah menunggu rombongan sejak pagi-pagi. Sementara
tetabuhan kesenian daerah itu hingar bingar menambah suasana
seperti pesta menyambut raja. Dody yang mengenakan safari warna
terang dengan rambut putihnya yang tersisir mulus, seperti
biasanya terbungkuk-bungkuk membalas hormat, mengobral senyum.
Katanya, sambutan meriah itu baru pertama kalinya dterima sejak
memegang jabatan Dirjen, dua bulan belakangan ini. "Sambutan
saudara-saudara membuat saya terharu", katanya, "kalau tidak
malu sama isteri saya, rasanya saya bisa mencucurkan airmata".
Hadir di daerah Gubernur Achmad Lamo, 11 sampai 16 Oktober
kemarin, rombongan Pimpinan Pelaksana KKN dari 20 perguruan
tinggi negeri itu, di setiap tempat memang selalu mendapat
sambutan yang serupa. Ada tarian, ada makanan dan minuman. Ada
pidato sekaligus dengan acara tukar menukar vandel
kenang-kenangan. Dan ada juga diskusi lapangan. Sehingga
perjalanan panjang yang menempuh alur sejauh 724 Km melalui
Pangkep, Kabupaten Barru, Sidrap, Tator dan Soppeng di samping
merupakan kunjungan kerja, rasanya mirip piknik juga. Tentu saja
yang terakhir itu bukan maksud utama. Karena tujuan kunjungan
yang ketiga kalinya dilaksanakan oleh Direktorat Pembinaan
Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat (DPPPM) itu, selain
untuk meninjau langsung lapangan terhadap pelaksanaan KKN dan
tukar menukar informasi serta pengalaman tentang pelaksanaan
KKN, juga bermaksud untuk meningkatkan dan menyempurnakan
pelaksanaan KKN.
Pemda
Sudah berhasilkah KKN Universitas Hasanuddin (Unhas) di
daerahnya'? Sebagai salah satu dari tiga perguruan tinggi negeri
yang pertama kali melaksanakan KKN (dua universitas lainnya,
Andalas dan Gajahmada). Unhas tentu saja sudah memiliki
pengalaman banyak. Setidak-tidaknya KKN Unhas di Sulsel bukan
saja sudah menghasilkan konsep yang semakin matang, tapi juga
sambutan fihak Pemda agaknya sudah semakin meyakinkan. Tidak
hanya berupa bantuan fasilitas dan uang, tapi Pemda lewat
Gubernur Achmad Lamo, 7 Oktober kemarin telah mengeluarkan SK
untuk membentuk Team Pembina Daerah Kuliah Kerja Nyata (KKN) dan
TKS-BUTSI. Tugas team ini antara lain mengkoordinir
penyelenggaraan, perencanaan dan pengalokasian kedua jenis
kegiatan tersebut. Dari kebijaksanaan itu agaknya bisa
disimpulkan: Pemda memang akan memanfaatkan KKN untuk
pembangunan daerah.
Lewat diskusi lapangan antara rombongan pimpinan pelaksana KKN
ke-20 perguruan tinggi negeri itu dengan pejabat daerah tingkat
desa, kecamatan dan kabupaten di Sulsel, masyarakat serta
mahasiswa KKN sendiri, memang nampak jelas bahwa program ini
cukup memiliki manfaat. "Administrasi desa saya semakin baik",
ujar seorang Kepala Desa di Taraweang. Desa ini sudah didatangi
mahasiswa KKN sebanyak dua gelombang. Di sana para mahasiswa itu
telah melakukan kegiatan non fisik, seperti kursus Pendidikan
Kesejahteraan Keluarga, Keluarga Berencana dan Pemberantasan
Buta Huruf. Juga ikut membuat percontohan kandang ayam yang
memenuhi persyaratan, membuat papan nama Ketua RK/RT serta
memperbaiki administrasi desa yang meliputi penertiban
angka-angka, penyajian data dan gambar lainnya. Adanya mahasiswa
KKN, "bagaikan pucuk dicinta ulam tiba", ujar P Andi Lolo,
Kepala Desa Tinoring, Tator. Bahkan di desa Kandora, Tana
Toraja, seorang Kepala Desa telah menantang KKN Unhas. "Coba
tolonglah bikinkan sebuah pola pengembangan desa baru", ucap
Lappang, pensiunan ABRI, Kepala Desa Gandang Batu, Kecamatan
Mengkendek, Tator.
Tentu saja kritik bukan tidak ada dari masyarakat. Seorang
pejabat di Kecamatan Labakkang misalnya, nampak kurang begitu
puas terhadap hasil yang dicapai mahasiswa KKN. Katanya,
mahasiswa itu hanya dimodali oleh pengetahuan yang terlalu umum.
Sehingga di desa mereka lebih banyak berfungsi sebagai petugas
dcsa yang melaksanakan program yang sudah dimiliki dan
ditentukan desa dari pada sebagai seorang penggerak pembangunan
desa. Mereka juga tidak mengerti prioritas pembangunan apa yang
diharapkan desa. Padahal kalau mereka mengetahui itu, titik
berat pengetahuan yang harus dibekali mereka sebelum turun ke
desa akan ditekankan pada sektor prioritas pembangunan desa itu.
"Mereka terlalu generalis", katanya.
Kenyataan tersebut nampaknya telah mendorong seorang peserta
rombongan untuk bertanya: "Apakah tanpa KKN tugas-tugas desa
selama ini bisa dilaksanakan?" Jawab Kepala Desa di situ: "Bisa
juga kita laksanakan, tapi dengan adanya KKN ada tambahan
pendorong" Namun alasan yang lebih nampak jujur kelihatannya
datang dari Naharuddin, guru SD Mandalle. Ketika acara diskusi
lapangan itu, Naharuddin hanya menonton dan mendengarkan di luar
gedung. Katanya, kegiatan desa bisa berjalan, dengan atau tanpa
mahasiswa KKN. "Tapi kedatangan mereka, penghargaan buat kami di
desa", katanya "ini peristiwa sejarah pak". Guru SD itu juga
tak lupa menunjukkan bagaimana mahasiswa KKN mengajarkan kepada
rakyat di desanya cara buang air besar di WC yang dibikinkan.
Bukan di sawah-sawah.
Biaya Makan & Nginap
Sementara drs. Kuba Daudah, Sekretaris Wilayah Daerah Kabupaten
Barru ada juga menyebutkan kelemahan KKN. "Tapi kelemahan ini
tidak berarti bila dibandingkan dengan hal-hal yang positifnya",
katanya. Kuba Daudah pada mulanya memang ragu juga terhadap
mahasiswa KKN ini. "Tapi antara ongkos yang harus keluar dan
manfaat yang dicapai mahasiwa KKN itu ternyata lebih besar",
katanya lagi. Karena itu kepada mahasiwa KKN, Pemda Kabupaten
Barru, menanggung seluruh biaya konsumsi selama bertugas.
Walaupun mahasiswa KKN itu dari Unhas memperoleh uang saku untuk
hidup di desa sebesar Rp 10 ribu tiap bulan. "Di sini bukan di
kota, soal makan bukan masalah bagi kami", ujar Kuba lagi
menambahkan.
Memang hampir setiap keluarga yang ditumpangi mahasiwa KKN di
Sulsel, tidak menarik bayaran biaya makan dan menginap. Lain
dengan di Jawa Barat, seperti yang diceritakan oleh peserta dan
ITB. Keluarga di daerah Pelabuhan Ratu yang menampung mahasiswa
KKN meminta ongkos sewa sesuai dengan harga yang berlaku di
pasaran. "Di desa kami, mahasiswa KKN itu kami anggap keluarga
sendiri", ujar seorang Kepala Desa di Segeri-Madane. Walaupun
kemudian diakui oleh seorang pejabat kecamatannya, kalau
dihitung-hitung ongkos untuk menampung mahasiswa KKN itu setiap
orangnya sampai juga pada angka Rp 10 ribu per bulannya.
Kredit
Berkembang mulai dari berstatus semi sukarela pada tahun akademi
1975, kemudian tahun berikutnya sudah berstatus intra
kurikuler, KKN Unhas, seperti yang diakui Prof. Dr. A.
Amiruddin, masih dalam taraf mencari bentuk. Apa yang kita
lakukan sekarang memang baru mencari bentuk. Belum tentu
berhasil. Tapi dari kita harus ada keberanian untuk mencoba",
ujar Amiruddin. Sikap rektor Unhas itu nampaknya memang sesuai
dengan pendapat Dirjen Pendidikan Tinggi. Dalam sebuah diskusi
lapangan, Dody Tisna Amidjaja memang menyebut KKN secara
keseluruhan masih dalam taraf pengembangan. "Karena itu perlu
penilaian terus menerus. Bukan saja terhadap konsep dan
falsafahnya tapi juga pada cara-cara pelaksanaannya", katanya.
Di kalangan civitas akademika sendiri, KKN nampaknya masih
menimbulkan persoalan-persoalan. Misalnya tentang imbalan kredit
yang dirasakan sementara mahasiswa kurang memuaskan. Peserta
dari ITB menunjukkan bahwa imbalan 2 kredit untuk KKN yang makan
waktu minimal tiga bulan sebagai kurang wajar. Sementara di
Unhas, pada beberapa fakultas yang belum memakai sistim kredit,
KKN dirasakan hanya sebagai tambahan beban. Dan sempat tumbuh
juga perasaan tidak adil dari eks KKN yang telah kehilangan
waktu berbulan-bulan terhadap rekannya yang jadi sarjana tanpa
melalui program itu. Barangkali atas dasar itu pula, rektor
Unhas mengeluarkan kebijaksanaan untuk menetapkan KKN sebagai
intra kurikuler yang wajib diikuti oleh semua mahasiswa. "Tanpa
ikut KKN, diploma sarjana si mahasiswa itu jangan harap dapat
tandatangan saya", kata Prof. Amiruddin.
Dijadikannya KKN Unhas sebagai kegiatan intra kurikuler, selain
masih menimbulkan masalah di kalangan mahasiswa, juga belum
semua staf pengajar di sana menerima kebijaksanaan itu. "Banyak
di antara mereka yang berpendapat KKN merugikan mahasiswa", ujar
rektor, "karena itu yang penting sekarang adalah bagaimana
agar,staf pengajar itu mau dan bisa menghayati kegunaan KKN itu.
Tahap sekarang saya baru menjual ide". Namun diakui rektor, kini
timbul persoalan: apakah KKN dititik beratkan untuk membantu
pembangunan atau untuk proses belajar mahasiswa. Pernyataan
Amiruddin di depan acara diskusi terakhir antara peserta
rombongan itu, sempat memancing reaksi juga. Cepat-cepat
Drh.Pang Soeparman Asngari, anggota Team Pembina Pusat KKN yang
memimpin diskusi itu menunjuk buku hijau Pedoman Pelaksanaan KKN
terbitan DPPPM P & K. Isinya, tujuan KKN selain agar supaya
perguruan tinggi bisa menghasilkan sarjana pembangunan yang
menghayati permasalahan masyarakat, juga membantu pemerintah
mempercepat gerak pembangunan dan mempersiapkan kader-kader
pembangunan di pedesaan.
Rektor Unhas tentu saja bukan tidak tahu program KKN dari
kacamata pemerintah. Karena itu katanya, sebenarnya tujuan KKN
adalah bagaimana supaya sarjana lulusan Perguruan Tinggi peka
terhadap pembangunan masyarakat. Nampaknya bagi Amiruddin, itu
tak berarti bahwa penekanan KKN adalah pernbangunan masyarakat
pedesaan. "Bagi saya pendekatan KKN tetap dititik beratkan pada
pendidikan si mahasiswa yang bisa memberi pengalaman", ujar
rektor sambil mengakui bahwa sikapnya terhadap KKN itu banyak
fihak yang tak menyetujui. Katanya, pendidikan tinggi sekarang
ini lebih banyak orientasinya pada masalah kota, menyebabkan
mahasiswa yang hendak turun ke desa mesti belajar lagi.
"Bukankah itu berarti beban buat mereka?" tanya Amiruddin. Kalau
masyarakat terlalu mengharapkan KKN membantu pembangunan
daerahnya "saya takut mereka akan kecewa, sebab
mahasiswa-mahasiswa itu masih belajar", lanjut Amiruddin,
"kepada mahasiswa saya selalu tekankan supaya jangan sok tahu.
Saya juga ingin menghilangkan gambaran seolah-olah mahasiswa
selalu ngemis. Karena itu saya selalu katakan kepada mereka,
jadilah duta-duta kecil Unhas". Kejelasan terhadap titik berat
KKN menurut rektor Unhas itu mesti ada. "Kalau tidak begitu,
kedua belah fihak akan frustrasi", ucap Amiruddin, "saya tidak
menutup kemungkinan bahwa KKN ada manfaatnya untuk pembangunan
desa". Dengan begitu maka yang diperoleh mahasiswa selama KKN
adalah sikap. Bukan pengetahuan ataupun keterampilan. Dan memang
itulah yang diinginkan, bukan?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini