Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

KKN Di Lapangan Achmad Lamo

Dirjen pendidikan p & k menilai kkn masih dalam pengembangan, sehingga perlu dievaluasi terus. di civitas akademika masih ada persoalan tentang kkn. unhas menjadikan kkn kegiatan intra kurikuler. (pdk)

30 Oktober 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIBA di Taraweang, Kecamatan Labakkang, Pangkep, Prof. Dr. Dody Tisna Amidjaja, Dirjen Pendidikan Tinggi P&K, nampak terharu. Memimpin rombongan Pimpinan Pelaksana Kuliah Kerja Nyata (KKN) se Indonesia di Sulawesi Selatan, Dirjen yang kini masih merangkap rektor ITB itu memang mendapat sambutan yang meriah. Menjelang tempat penyambutan resmi di Balai Desa, sekelompok pramuka dan ibu-ibu berseragam kebaya hijau yang berpeluh disengat matahari siang, berjajar membentuk pagar. Kabarnya mereka sudah menunggu rombongan sejak pagi-pagi. Sementara tetabuhan kesenian daerah itu hingar bingar menambah suasana seperti pesta menyambut raja. Dody yang mengenakan safari warna terang dengan rambut putihnya yang tersisir mulus, seperti biasanya terbungkuk-bungkuk membalas hormat, mengobral senyum. Katanya, sambutan meriah itu baru pertama kalinya dterima sejak memegang jabatan Dirjen, dua bulan belakangan ini. "Sambutan saudara-saudara membuat saya terharu", katanya, "kalau tidak malu sama isteri saya, rasanya saya bisa mencucurkan airmata". Hadir di daerah Gubernur Achmad Lamo, 11 sampai 16 Oktober kemarin, rombongan Pimpinan Pelaksana KKN dari 20 perguruan tinggi negeri itu, di setiap tempat memang selalu mendapat sambutan yang serupa. Ada tarian, ada makanan dan minuman. Ada pidato sekaligus dengan acara tukar menukar vandel kenang-kenangan. Dan ada juga diskusi lapangan. Sehingga perjalanan panjang yang menempuh alur sejauh 724 Km melalui Pangkep, Kabupaten Barru, Sidrap, Tator dan Soppeng di samping merupakan kunjungan kerja, rasanya mirip piknik juga. Tentu saja yang terakhir itu bukan maksud utama. Karena tujuan kunjungan yang ketiga kalinya dilaksanakan oleh Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat (DPPPM) itu, selain untuk meninjau langsung lapangan terhadap pelaksanaan KKN dan tukar menukar informasi serta pengalaman tentang pelaksanaan KKN, juga bermaksud untuk meningkatkan dan menyempurnakan pelaksanaan KKN. Pemda Sudah berhasilkah KKN Universitas Hasanuddin (Unhas) di daerahnya'? Sebagai salah satu dari tiga perguruan tinggi negeri yang pertama kali melaksanakan KKN (dua universitas lainnya, Andalas dan Gajahmada). Unhas tentu saja sudah memiliki pengalaman banyak. Setidak-tidaknya KKN Unhas di Sulsel bukan saja sudah menghasilkan konsep yang semakin matang, tapi juga sambutan fihak Pemda agaknya sudah semakin meyakinkan. Tidak hanya berupa bantuan fasilitas dan uang, tapi Pemda lewat Gubernur Achmad Lamo, 7 Oktober kemarin telah mengeluarkan SK untuk membentuk Team Pembina Daerah Kuliah Kerja Nyata (KKN) dan TKS-BUTSI. Tugas team ini antara lain mengkoordinir penyelenggaraan, perencanaan dan pengalokasian kedua jenis kegiatan tersebut. Dari kebijaksanaan itu agaknya bisa disimpulkan: Pemda memang akan memanfaatkan KKN untuk pembangunan daerah. Lewat diskusi lapangan antara rombongan pimpinan pelaksana KKN ke-20 perguruan tinggi negeri itu dengan pejabat daerah tingkat desa, kecamatan dan kabupaten di Sulsel, masyarakat serta mahasiswa KKN sendiri, memang nampak jelas bahwa program ini cukup memiliki manfaat. "Administrasi desa saya semakin baik", ujar seorang Kepala Desa di Taraweang. Desa ini sudah didatangi mahasiswa KKN sebanyak dua gelombang. Di sana para mahasiswa itu telah melakukan kegiatan non fisik, seperti kursus Pendidikan Kesejahteraan Keluarga, Keluarga Berencana dan Pemberantasan Buta Huruf. Juga ikut membuat percontohan kandang ayam yang memenuhi persyaratan, membuat papan nama Ketua RK/RT serta memperbaiki administrasi desa yang meliputi penertiban angka-angka, penyajian data dan gambar lainnya. Adanya mahasiswa KKN, "bagaikan pucuk dicinta ulam tiba", ujar P Andi Lolo, Kepala Desa Tinoring, Tator. Bahkan di desa Kandora, Tana Toraja, seorang Kepala Desa telah menantang KKN Unhas. "Coba tolonglah bikinkan sebuah pola pengembangan desa baru", ucap Lappang, pensiunan ABRI, Kepala Desa Gandang Batu, Kecamatan Mengkendek, Tator. Tentu saja kritik bukan tidak ada dari masyarakat. Seorang pejabat di Kecamatan Labakkang misalnya, nampak kurang begitu puas terhadap hasil yang dicapai mahasiswa KKN. Katanya, mahasiswa itu hanya dimodali oleh pengetahuan yang terlalu umum. Sehingga di desa mereka lebih banyak berfungsi sebagai petugas dcsa yang melaksanakan program yang sudah dimiliki dan ditentukan desa dari pada sebagai seorang penggerak pembangunan desa. Mereka juga tidak mengerti prioritas pembangunan apa yang diharapkan desa. Padahal kalau mereka mengetahui itu, titik berat pengetahuan yang harus dibekali mereka sebelum turun ke desa akan ditekankan pada sektor prioritas pembangunan desa itu. "Mereka terlalu generalis", katanya. Kenyataan tersebut nampaknya telah mendorong seorang peserta rombongan untuk bertanya: "Apakah tanpa KKN tugas-tugas desa selama ini bisa dilaksanakan?" Jawab Kepala Desa di situ: "Bisa juga kita laksanakan, tapi dengan adanya KKN ada tambahan pendorong" Namun alasan yang lebih nampak jujur kelihatannya datang dari Naharuddin, guru SD Mandalle. Ketika acara diskusi lapangan itu, Naharuddin hanya menonton dan mendengarkan di luar gedung. Katanya, kegiatan desa bisa berjalan, dengan atau tanpa mahasiswa KKN. "Tapi kedatangan mereka, penghargaan buat kami di desa", katanya "ini peristiwa sejarah pak". Guru SD itu juga tak lupa menunjukkan bagaimana mahasiswa KKN mengajarkan kepada rakyat di desanya cara buang air besar di WC yang dibikinkan. Bukan di sawah-sawah. Biaya Makan & Nginap Sementara drs. Kuba Daudah, Sekretaris Wilayah Daerah Kabupaten Barru ada juga menyebutkan kelemahan KKN. "Tapi kelemahan ini tidak berarti bila dibandingkan dengan hal-hal yang positifnya", katanya. Kuba Daudah pada mulanya memang ragu juga terhadap mahasiswa KKN ini. "Tapi antara ongkos yang harus keluar dan manfaat yang dicapai mahasiwa KKN itu ternyata lebih besar", katanya lagi. Karena itu kepada mahasiwa KKN, Pemda Kabupaten Barru, menanggung seluruh biaya konsumsi selama bertugas. Walaupun mahasiswa KKN itu dari Unhas memperoleh uang saku untuk hidup di desa sebesar Rp 10 ribu tiap bulan. "Di sini bukan di kota, soal makan bukan masalah bagi kami", ujar Kuba lagi menambahkan. Memang hampir setiap keluarga yang ditumpangi mahasiwa KKN di Sulsel, tidak menarik bayaran biaya makan dan menginap. Lain dengan di Jawa Barat, seperti yang diceritakan oleh peserta dan ITB. Keluarga di daerah Pelabuhan Ratu yang menampung mahasiswa KKN meminta ongkos sewa sesuai dengan harga yang berlaku di pasaran. "Di desa kami, mahasiswa KKN itu kami anggap keluarga sendiri", ujar seorang Kepala Desa di Segeri-Madane. Walaupun kemudian diakui oleh seorang pejabat kecamatannya, kalau dihitung-hitung ongkos untuk menampung mahasiswa KKN itu setiap orangnya sampai juga pada angka Rp 10 ribu per bulannya. Kredit Berkembang mulai dari berstatus semi sukarela pada tahun akademi 1975, kemudian tahun berikutnya sudah berstatus intra kurikuler, KKN Unhas, seperti yang diakui Prof. Dr. A. Amiruddin, masih dalam taraf mencari bentuk. Apa yang kita lakukan sekarang memang baru mencari bentuk. Belum tentu berhasil. Tapi dari kita harus ada keberanian untuk mencoba", ujar Amiruddin. Sikap rektor Unhas itu nampaknya memang sesuai dengan pendapat Dirjen Pendidikan Tinggi. Dalam sebuah diskusi lapangan, Dody Tisna Amidjaja memang menyebut KKN secara keseluruhan masih dalam taraf pengembangan. "Karena itu perlu penilaian terus menerus. Bukan saja terhadap konsep dan falsafahnya tapi juga pada cara-cara pelaksanaannya", katanya. Di kalangan civitas akademika sendiri, KKN nampaknya masih menimbulkan persoalan-persoalan. Misalnya tentang imbalan kredit yang dirasakan sementara mahasiswa kurang memuaskan. Peserta dari ITB menunjukkan bahwa imbalan 2 kredit untuk KKN yang makan waktu minimal tiga bulan sebagai kurang wajar. Sementara di Unhas, pada beberapa fakultas yang belum memakai sistim kredit, KKN dirasakan hanya sebagai tambahan beban. Dan sempat tumbuh juga perasaan tidak adil dari eks KKN yang telah kehilangan waktu berbulan-bulan terhadap rekannya yang jadi sarjana tanpa melalui program itu. Barangkali atas dasar itu pula, rektor Unhas mengeluarkan kebijaksanaan untuk menetapkan KKN sebagai intra kurikuler yang wajib diikuti oleh semua mahasiswa. "Tanpa ikut KKN, diploma sarjana si mahasiswa itu jangan harap dapat tandatangan saya", kata Prof. Amiruddin. Dijadikannya KKN Unhas sebagai kegiatan intra kurikuler, selain masih menimbulkan masalah di kalangan mahasiswa, juga belum semua staf pengajar di sana menerima kebijaksanaan itu. "Banyak di antara mereka yang berpendapat KKN merugikan mahasiswa", ujar rektor, "karena itu yang penting sekarang adalah bagaimana agar,staf pengajar itu mau dan bisa menghayati kegunaan KKN itu. Tahap sekarang saya baru menjual ide". Namun diakui rektor, kini timbul persoalan: apakah KKN dititik beratkan untuk membantu pembangunan atau untuk proses belajar mahasiswa. Pernyataan Amiruddin di depan acara diskusi terakhir antara peserta rombongan itu, sempat memancing reaksi juga. Cepat-cepat Drh.Pang Soeparman Asngari, anggota Team Pembina Pusat KKN yang memimpin diskusi itu menunjuk buku hijau Pedoman Pelaksanaan KKN terbitan DPPPM P & K. Isinya, tujuan KKN selain agar supaya perguruan tinggi bisa menghasilkan sarjana pembangunan yang menghayati permasalahan masyarakat, juga membantu pemerintah mempercepat gerak pembangunan dan mempersiapkan kader-kader pembangunan di pedesaan. Rektor Unhas tentu saja bukan tidak tahu program KKN dari kacamata pemerintah. Karena itu katanya, sebenarnya tujuan KKN adalah bagaimana supaya sarjana lulusan Perguruan Tinggi peka terhadap pembangunan masyarakat. Nampaknya bagi Amiruddin, itu tak berarti bahwa penekanan KKN adalah pernbangunan masyarakat pedesaan. "Bagi saya pendekatan KKN tetap dititik beratkan pada pendidikan si mahasiswa yang bisa memberi pengalaman", ujar rektor sambil mengakui bahwa sikapnya terhadap KKN itu banyak fihak yang tak menyetujui. Katanya, pendidikan tinggi sekarang ini lebih banyak orientasinya pada masalah kota, menyebabkan mahasiswa yang hendak turun ke desa mesti belajar lagi. "Bukankah itu berarti beban buat mereka?" tanya Amiruddin. Kalau masyarakat terlalu mengharapkan KKN membantu pembangunan daerahnya "saya takut mereka akan kecewa, sebab mahasiswa-mahasiswa itu masih belajar", lanjut Amiruddin, "kepada mahasiswa saya selalu tekankan supaya jangan sok tahu. Saya juga ingin menghilangkan gambaran seolah-olah mahasiswa selalu ngemis. Karena itu saya selalu katakan kepada mereka, jadilah duta-duta kecil Unhas". Kejelasan terhadap titik berat KKN menurut rektor Unhas itu mesti ada. "Kalau tidak begitu, kedua belah fihak akan frustrasi", ucap Amiruddin, "saya tidak menutup kemungkinan bahwa KKN ada manfaatnya untuk pembangunan desa". Dengan begitu maka yang diperoleh mahasiswa selama KKN adalah sikap. Bukan pengetahuan ataupun keterampilan. Dan memang itulah yang diinginkan, bukan?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus