Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

"wahyu" dalam sejarah raja-raja ...

Secara teori kedudukan raja mutlak kuat, namun dalam kenyataan sejarah jawa kedudukan mereka mudah gon-cang. perebutan kekuasaan sering terjadi, dengan konsepsi wahyu sebagai landasan rasionalisasinya.

30 Oktober 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perkara Sawito menyebabkan masalah "wangsit" petunjuk dari "atas" menjadi menarik perhatian. Masalah ini sebenrnya bukan hal baru dalam kesadaran orang Indonesia asal Jawa. Karena itu TEMPO meminta kepada Dr. OngHok-ham menulis tentang soal itu. Sarjana sejarah kelahiran Surabaya lulusan Yale University ini kini mengajar di U.I, dan dikenal terkemuka dalam sejarah Jawa abad ke-19. BELIAU adalah Yang Maha-Sempurna yang jadi raja di dunia seperti para Nabi zaman dahulu". Dengan kata-kata itulah Susuhunan Paku Buwana IX melukiskan Sultan Agung, raja Mataram di abad ke-17. Seakan-akan nenek-moyangnya yang mashyur ini adalah titisan para nabi -- bahkan Tuhan sendiri. Tentu ke-Tuhan-an menitis pada raja tidak secara badaniah, tetapi secara spirituil. Artinya, raja adalah penerima wahyu Tuhan yang terkenal sebagai wahyu-kedaton (kerajaan). Memang legitimasi kekuasaan raja Jawa sering didasarkan atas wahyu-kerajaan yang diterimanya. Konsep ini lebih dominant daripada konsep bahwa legitimasi itu adalah karena hak-hak lain, misalnya keturunan. Konsep wahyu di satu fihak menjelaskan kekuasaan mutlak raja dan menyamakan perlawanan terhadapnya sebagai perlawanan terhadap Tuhan. Tetapi di lain fihak, juga menjadikan kedudukan raja tidak stabil. Sebab dalam teori wahyu dapat berpindah dari dirinya setiap waktu dan datang pada siapapun juga. Kekuasaan raja menurut konsepsi ini adalah re-inkarnatif. Dari sinilah timbul gerakan-gerakan Ratu Adil dalam sejarah Jawa. Teori-teori re-inkarnatif wahyu kerajaan dipakai oleh pelbagai pemberontak untuk mencoba merebut kekuasaan. Dalam hubungan terakhir ini istilah Ratu-Adil harus dilihat sebagai retorik para lawan raja. MUDAH GONCANG Biarpun dalam teori kedudukan raja demikian mutlak dan kedudukannya demikian diagung-agungkan. namun dalam kenyataan sejarah Jawa kedudukan raja dan dinasti sangat mudah goncang. Sejak dahulu dinasti-dinasti saling menyusul dan saling meruntuhkan. Dalam satu dinasti para pangeran merebut kekuasaan dari raja atau dari para ahli warisnya. Konsepsi wahyu merasionalisir putusnya tradisi kerajaan. Kerajaan dapat hancur, meskipun konsepsi kedudukan raja hidup secara kontinu. Bagaimana pun juga kegoncangan-kegoncangan ini membuat para pujangga kraton hati-hati mengenai keabadian kekuasaan seorang raja tertentu atau dinastinya. Sering timbul ramalan, bahwa raja hanya dapat berkuasa "seumur jagung" atau dinastinya hanya sampai 7 turunan. Jadi seakan-akan kekuasaan itu hanya terbatas waktunya karena takdir. Soal takdir inilah yang penting bagi hilangnya dan jatuhnya wahyu ke tangan orang lain. Tetapi biarpun takdir adalah penting, si penerima wahyu kerajaan masih harus berusaha untuk menerimanya. Biasanya melalui pertapaan. Demikianlah saling jalin menjalin tradisi-tradisi Hindu dan Islam dalam kepercayaan-kepercayaan ini. Pembatasan waktu atas kekuasaan ini sangat erat hubungannya dengan kosmologi Hindu yang membagi perkembangan sejarah dalam cycles (zaman-zaman yang berulang). Konsep ini terdapat dalam Serat Jayabaya yang menjadi populer di Jawa kira-kira pada akhir abad ke-18. Di sini versi yang kita pakai yang terutama berlaku dalam abad ke-19, yang penuh dengan gerakan Ratu-Adil. Serat Jayabaya ini merupakan suatu sejarah-ramalan (prophetic chronicle) Jawa yang membagi sejarah dalam 4 yuga atau zaman. Sejarah Jawa dimulai dengan pemerintahan raja Jayabaya dari Kediri (abad 11 ) yang merupakan zaman keemasan. Kemudian disusul oleh zaman-zaman yang makin memburuk, sampai pada zaman dekadensi. Yang terburuk adalah yang terakhir, disebut Kali-Yuga. Sesudah ini masyarakat Jawa dibebaskan dari kesengsaraan oleh seorang Ratu-Adil bergelar Tanjung Putih atau Heru-Cokro, pendiri zaman emas baru. Dari Serat Jayabaya inilah berasal istilah Ratu Adil yang dipakai oleh beberapa pemberontak, antara lain oleh Diponegoro, yang memakai gelar Heru-Cokro. Biasanya para sarjana memperhatikan Serat Jayabaya ini sebagai dokumen budaya, yang memang penting. Tetapi menurut hemat saya, kita juga harus memperhatikannya sebagai dokumen sosial, untuk melihat isyu-isyu yang hidup dalam masyarakat. Bila dilihat dari segi dokumen sosial maka pembagian sejarah dalam 4 zaman sebenarnya tidak penting bagi masyarakat. Yang dikenal masyarakat sebenarnya hanya dua zaman, yaitu zaman normal dan zaman edan (Kali-Yuga). eperti kita dapat menerkanya, zaman emas atau zaman normal adalah adil makmur. Di sini yang penting adalah pajak-pajak dan beban-beban negara yang ringan atau hampir tak ada. Memang dalam sejarah Jawa setiap dinasti baru biasanya meringankan pajak dan beban-beban (sayangnya rajaraja yang kemudian menyusul biasanya memperbesar beban-beban dan pajak itu. Jadi dinasti-dinasti baru selalu menguntungkan masyarakat, dalam arti masyarakat dibebaskan dari beban-beban. Kegandrungan masyarakat akan pembaruan kekuasaan dalam sejarah Jawa. Hal ini terlihat sekali dalam cara bagaimana Serat Jayabaya melukiskan zaman-aman buruk sebagai perbedaan dari zaman emas. Yang terutama dirasakan sebagai menyukarkan hidup rakyat adalah perang saudara atau perang tahta. Kemudian pajak-pajak tinggi. Inflasi merupakan isyu lain. Inflasi ini digambarkan sebagai pemalsuan uang logam oleh raja yang menyebabkan uang logam dengan nilai tinggi hilang dari peredaran untuk ditimbun oleh orang-orang kaya. Jelas sekali obsesi Serat Jayabaya adalah di sekitar persoalan hilangnya kekayaan dari masyarakat. Zaman edan dilukiskan sebagai zaman di mana emas hilang dari desa-desa, bahkan dari negara untuk dikirim ke luar negeri. Begitu juga pusaka-pusaka berupa keris-keris dan senjata-senjata lain. Dunia "timur" petani ini juga cukup "materialistis", rupanya. DITINDAK Seperti dikatakan di atas versi Serat Jayabaya yang dipakai di sini berasal dari abad ke-19*). Dari 1830 sampai pergerakan nasional hampir tidak ada satu tahun lewat tanpa timbul gerakan Ratu-Adil di Jawa yang kadang mengakibatkan pemberontakan dan yang kadang sudah dapat ditindak sebelumnya oleh penguasa-penguasa kolonial. Banyaknya gerakan di sekitar pemimpin yang menamakan diri sebagai penerima wahyu-kerajaan mungkin berhubungan dengan hilangnya keuasaan politis raja-raja Jawa ke tangan Belanda. Dan memang penguasa kolonial membebani rakyat dengan pajak tinggi dan kerja paksa, sehingga timbul harapan-harapan agar ada pembebasan. Hal ini menjadikan harapan akan lahirnya Dinasti baru oleh Ratu Adil merajalela di masyarakat. Namun gerakan-gerakan ini sering hanya dipimpin oleh tokoh-tokoh setempat, seorang petani biasa dan juga hanya terbatas, tidak mencapai skala luas. Dan gerakan-gerakan itu mudah ditindak. Selama abad ke-19 ada lebih banyak lagi gerakan-gerakan Ratu Adil daripada apa yang dilaporkan oleh pemerintah kolonial. Yang dilaporkan itu hanya yang bertujuan memakai kekerasan. Padahal dalam gerakan Ratu Adil sering tidak ada niat mempergunakan kekerasan. Sebab dalam konsepsinya wahyu dapat diterima juga melalui pertapaan. Banyak sekali tokoh yang merasa, melalui adanya tanda-tanda ajaib, akan menerima wahyu kerajaan, dan mengundurkan diri ke dalam hutan atau gunung-gunung. Sampai wafat di tempat-tempat sunyi ini, mereka merasa bahwa pada dirinya telah jatuh wahyu kerajaan. Atau bahwa dia adalah Ratu Adil baru, tanpa banyak orang menghebohkannya. Penentangan, melalui gerakan Ratu-Adil, terhadap pemerintah kolonial, juga tidak selalu dapat diartikan sebagai penentangan terhadapnya. Sering gerakan Ratu-Adil ini hanya cara perlawanan tertentu melalui retorik tradisionil yang dikenal masyarakat. Tapi bagaimana pun juga, gerakan Ratu Adil dilatar-belakangi oleh keadaan sosial ekonomi dari kelompok masyarakat atau pribadi tertentu. Dengan timbulnya berbagai macam bentuk pergerakan nasional, maka ada saluran baru guna menyampaikan ketidak-puasan masyarakat pada pemerintah. Dengan demikian maka gerakan Ratu-Adil juga berkurang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus