Perkara Sawito menyebabkan masalah "wangsit" petunjuk dari
"atas" menjadi menarik perhatian. Masalah ini sebenrnya
bukan hal baru dalam kesadaran orang Indonesia asal Jawa. Karena
itu TEMPO meminta kepada Dr. OngHok-ham menulis tentang soal
itu. Sarjana sejarah kelahiran Surabaya lulusan Yale
University ini kini mengajar di U.I, dan dikenal terkemuka
dalam sejarah Jawa abad ke-19.
BELIAU adalah Yang Maha-Sempurna yang jadi raja di dunia seperti
para Nabi zaman dahulu". Dengan kata-kata itulah Susuhunan Paku
Buwana IX melukiskan Sultan Agung, raja Mataram di abad ke-17.
Seakan-akan nenek-moyangnya yang mashyur ini adalah titisan para
nabi -- bahkan Tuhan sendiri.
Tentu ke-Tuhan-an menitis pada raja tidak secara badaniah,
tetapi secara spirituil. Artinya, raja adalah penerima wahyu
Tuhan yang terkenal sebagai wahyu-kedaton (kerajaan).
Memang legitimasi kekuasaan raja Jawa sering didasarkan atas
wahyu-kerajaan yang diterimanya. Konsep ini lebih dominant
daripada konsep bahwa legitimasi itu adalah karena hak-hak lain,
misalnya keturunan. Konsep wahyu di satu fihak menjelaskan
kekuasaan mutlak raja dan menyamakan perlawanan terhadapnya
sebagai perlawanan terhadap Tuhan. Tetapi di lain fihak, juga
menjadikan kedudukan raja tidak stabil. Sebab dalam teori wahyu
dapat berpindah dari dirinya setiap waktu dan datang pada
siapapun juga. Kekuasaan raja menurut konsepsi ini adalah
re-inkarnatif.
Dari sinilah timbul gerakan-gerakan Ratu Adil dalam sejarah
Jawa. Teori-teori re-inkarnatif wahyu kerajaan dipakai oleh
pelbagai pemberontak untuk mencoba merebut kekuasaan. Dalam
hubungan terakhir ini istilah Ratu-Adil harus dilihat sebagai
retorik para lawan raja.
MUDAH GONCANG
Biarpun dalam teori kedudukan raja demikian mutlak dan
kedudukannya demikian diagung-agungkan. namun dalam kenyataan
sejarah Jawa kedudukan raja dan dinasti sangat mudah goncang.
Sejak dahulu dinasti-dinasti saling menyusul dan saling
meruntuhkan. Dalam satu dinasti para pangeran merebut kekuasaan
dari raja atau dari para ahli warisnya. Konsepsi wahyu
merasionalisir putusnya tradisi kerajaan. Kerajaan dapat hancur,
meskipun konsepsi kedudukan raja hidup secara kontinu.
Bagaimana pun juga kegoncangan-kegoncangan ini membuat para
pujangga kraton hati-hati mengenai keabadian kekuasaan seorang
raja tertentu atau dinastinya. Sering timbul ramalan, bahwa raja
hanya dapat berkuasa "seumur jagung" atau dinastinya hanya
sampai 7 turunan. Jadi seakan-akan kekuasaan itu hanya terbatas
waktunya karena takdir. Soal takdir inilah yang penting bagi
hilangnya dan jatuhnya wahyu ke tangan orang lain.
Tetapi biarpun takdir adalah penting, si penerima wahyu kerajaan
masih harus berusaha untuk menerimanya. Biasanya melalui
pertapaan. Demikianlah saling jalin menjalin tradisi-tradisi
Hindu dan Islam dalam kepercayaan-kepercayaan ini.
Pembatasan waktu atas kekuasaan ini sangat erat hubungannya
dengan kosmologi Hindu yang membagi perkembangan sejarah dalam
cycles (zaman-zaman yang berulang). Konsep ini terdapat dalam
Serat Jayabaya yang menjadi populer di Jawa kira-kira pada akhir
abad ke-18.
Di sini versi yang kita pakai yang terutama berlaku dalam abad
ke-19, yang penuh dengan gerakan Ratu-Adil. Serat Jayabaya ini
merupakan suatu sejarah-ramalan (prophetic chronicle) Jawa yang
membagi sejarah dalam 4 yuga atau zaman. Sejarah Jawa dimulai
dengan pemerintahan raja Jayabaya dari Kediri (abad 11 ) yang
merupakan zaman keemasan. Kemudian disusul oleh zaman-zaman yang
makin memburuk, sampai pada zaman dekadensi. Yang terburuk
adalah yang terakhir, disebut Kali-Yuga. Sesudah ini masyarakat
Jawa dibebaskan dari kesengsaraan oleh seorang Ratu-Adil
bergelar Tanjung Putih atau Heru-Cokro, pendiri zaman emas baru.
Dari Serat Jayabaya inilah berasal istilah Ratu Adil yang
dipakai oleh beberapa pemberontak, antara lain oleh Diponegoro,
yang memakai gelar Heru-Cokro.
Biasanya para sarjana memperhatikan Serat Jayabaya ini sebagai
dokumen budaya, yang memang penting. Tetapi menurut hemat saya,
kita juga harus memperhatikannya sebagai dokumen sosial, untuk
melihat isyu-isyu yang hidup dalam masyarakat. Bila dilihat dari
segi dokumen sosial maka pembagian sejarah dalam 4 zaman
sebenarnya tidak penting bagi masyarakat. Yang dikenal
masyarakat sebenarnya hanya dua zaman, yaitu zaman normal dan
zaman edan (Kali-Yuga).
eperti kita dapat menerkanya, zaman emas atau zaman normal
adalah adil makmur. Di sini yang penting adalah pajak-pajak dan
beban-beban negara yang ringan atau hampir tak ada. Memang dalam
sejarah Jawa setiap dinasti baru biasanya meringankan pajak dan
beban-beban (sayangnya rajaraja yang kemudian menyusul biasanya
memperbesar beban-beban dan pajak itu. Jadi dinasti-dinasti baru
selalu menguntungkan masyarakat, dalam arti masyarakat
dibebaskan dari beban-beban. Kegandrungan masyarakat akan
pembaruan kekuasaan dalam sejarah Jawa.
Hal ini terlihat sekali dalam cara bagaimana Serat Jayabaya
melukiskan zaman-aman buruk sebagai perbedaan dari zaman emas.
Yang terutama dirasakan sebagai menyukarkan hidup rakyat adalah
perang saudara atau perang tahta. Kemudian pajak-pajak tinggi.
Inflasi merupakan isyu lain. Inflasi ini digambarkan sebagai
pemalsuan uang logam oleh raja yang menyebabkan uang logam
dengan nilai tinggi hilang dari peredaran untuk ditimbun oleh
orang-orang kaya. Jelas sekali obsesi Serat Jayabaya adalah di
sekitar persoalan hilangnya kekayaan dari masyarakat. Zaman edan
dilukiskan sebagai zaman di mana emas hilang dari desa-desa,
bahkan dari negara untuk dikirim ke luar negeri. Begitu juga
pusaka-pusaka berupa keris-keris dan senjata-senjata lain. Dunia
"timur" petani ini juga cukup "materialistis", rupanya.
DITINDAK
Seperti dikatakan di atas versi Serat Jayabaya yang dipakai di
sini berasal dari abad ke-19*). Dari 1830 sampai pergerakan
nasional hampir tidak ada satu tahun lewat tanpa timbul gerakan
Ratu-Adil di Jawa yang kadang mengakibatkan pemberontakan dan
yang kadang sudah dapat ditindak sebelumnya oleh
penguasa-penguasa kolonial. Banyaknya gerakan di sekitar
pemimpin yang menamakan diri sebagai penerima wahyu-kerajaan
mungkin berhubungan dengan hilangnya keuasaan politis raja-raja
Jawa ke tangan Belanda. Dan memang penguasa kolonial membebani
rakyat dengan pajak tinggi dan kerja paksa, sehingga timbul
harapan-harapan agar ada pembebasan. Hal ini menjadikan harapan
akan lahirnya Dinasti baru oleh Ratu Adil merajalela di
masyarakat. Namun gerakan-gerakan ini sering hanya dipimpin
oleh tokoh-tokoh setempat, seorang petani biasa dan juga hanya
terbatas, tidak mencapai skala luas. Dan gerakan-gerakan itu
mudah ditindak.
Selama abad ke-19 ada lebih banyak lagi gerakan-gerakan Ratu
Adil daripada apa yang dilaporkan oleh pemerintah kolonial. Yang
dilaporkan itu hanya yang bertujuan memakai kekerasan. Padahal
dalam gerakan Ratu Adil sering tidak ada niat mempergunakan
kekerasan. Sebab dalam konsepsinya wahyu dapat diterima juga
melalui pertapaan. Banyak sekali tokoh yang merasa, melalui
adanya tanda-tanda ajaib, akan menerima wahyu kerajaan, dan
mengundurkan diri ke dalam hutan atau gunung-gunung. Sampai
wafat di tempat-tempat sunyi ini, mereka merasa bahwa pada
dirinya telah jatuh wahyu kerajaan. Atau bahwa dia adalah Ratu
Adil baru, tanpa banyak orang menghebohkannya.
Penentangan, melalui gerakan Ratu-Adil, terhadap pemerintah
kolonial, juga tidak selalu dapat diartikan sebagai penentangan
terhadapnya. Sering gerakan Ratu-Adil ini hanya cara perlawanan
tertentu melalui retorik tradisionil yang dikenal masyarakat.
Tapi bagaimana pun juga, gerakan Ratu Adil dilatar-belakangi
oleh keadaan sosial ekonomi dari kelompok masyarakat atau
pribadi tertentu. Dengan timbulnya berbagai macam bentuk
pergerakan nasional, maka ada saluran baru guna menyampaikan
ketidak-puasan masyarakat pada pemerintah. Dengan demikian maka
gerakan Ratu-Adil juga berkurang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini