TAHANAN yang berhubungan dengan peristiwa G-30-S/PKI,
sesungguhnya terbagi dalam 4 golongan Tiga golongan pertama A, B
dan C -- sudah cukup 'terkenal' karena paling banyak mendapat
sorotan di luar dan dalam negeri. Namun sejak tahun 1970,
dipisahkanlah apa yang disebut 'golongan X', yakni mereka yang
tidak langsung terlibat dalam peristiwa G-30-S, bukan anggota
PKI dan juga bukan anggota organisasi-organisasi mantel PKI atau
simpatisan PKI. Termasuk dalam kategori ini adalah tokoh-tokoh
ormas pendukung PNI seperti ketua LKN (Lembaga Kebudayaan
Nasional) Sitor Situmorang. Penyair berusia 53 tahun itu. baru
saja dibebaskan secara penuh 23 September lalu, setelah ditahan
8 tahun lamanya, yang disambung dengan tahanan rumah 8 bulan dan
tahanan kota setahun lebih.
Berikut ini bagian-bagian wawancara pertama yang diberikan
setelah bebas dengan wartawan TEMPO G.Y. Adicondro:
TEMPO: Dalam tahanan, apakah ada perbedaan perlakuan antara
golongan AC dengan golongan 'X'?
SITOR: Sama saja. Lagi pula, kami sendiri 'kan tidak tahu dalam
golongan mana kami dikelompokkan. Baru setelah keluar dari
penjara Salemba, saya baru tahu saya dimasukkan golongan 'X'
Tapi resminya yang tercantum dalam surat pembebasan saya adalah
'non-golongan', yakni mereka yang ditahan 'sebagai akibat
peristiwa G-30-S.
T: Selama dalam penjara, apakah bung ada kontak dengan dunia
luar?
S: Ada juga. Sesuai dengan peraturan, kami boleh menerima
makanan dari luar maksimal 3 x seminggu, serta buku-buku agama.
Lain tidak. Berkat bantuan T.B Simatupang (dari Dewan Gereja
Indonesia) saya bisa dapat bahan bacaan agama. Bukan cuma
bahan-bahan Kristen. tapi juga tentang Islam. Buddhisme.
Hinduisme, Tao dan Zen.
T: Buku-buku mana yang paling menarik bung selama di penjara?
S: Khususnya tentang Buddhisme Zen dan Tao. Bukan sebagai agama
saya sendiri tetap Kristen, tapi sebagai gejala kebudayaan. Dan
setelah saya ke luar, minat itu tetap. Jadi bukan selama di
penjara saja, karena keterbatasan hahan bacaan itu. Malah tanpa
saya sadari, tendensi itu sudah ada dalam sajak-sajak saya
sebelum ditahan. Buktinya setelah saya bebas, saya pergi ke Bali
seminggu lamanya dan dalam waktu seminggu itu mengalirlah 40 -
50 sajak saya yang bernafaskan perpaduan antara Krisna dan
Kristus. Mungkin ini sinkretis, tapi bagi saya ini merupakan
usaha penggalian akar-akar kebudayaan nasional kita yang asli,
sebelum kedatangan Hindu, Islam dan Kristen. Bagi saya, keaslian
itu yang menarik seluruh dunia masih terasa di Bali.
T: Sebenarnya, apa dasar pemikiran Anda dulu yang melahirkan
pertentangan Anda dulu dengan para penandatangan Manifes
Kebudayaan?
S: Perbedaan pendirian. Tapi sejak dulu saya ini orang liberal,
yang ingin memisahkan pergaulan dari politik. Meskipun berbeda
pendapat, yang tua-tua di TIM sekarang ini -- seperti Ayip
Rosidi dan Zaini sampai saat-saat terakhir sebelum saya ditahan
tetap sahabat saya yang akrab. Saya sekarang mau 'belajar dari
yang muda-muda. Secara khusus saya tertarik pada Rendra dan
Sardono. karena kedua seniman muda ini sudah melewati taraf
belajar dari luar -- khususnya Barat dan berusaha mencari akar
kebudayaannya sendiri. Sardono dan Rendra, bagi saya merupakan
pendalaman lebih lanjut dari pada apa yang dirintis oleh Ki
Hajar Dewantoro. Sebenarnya saya kepingin tinggal sama Rendra
mendalami cara kerja Bengkel Teater, tapi saya tidak bisa
berpisah lagi dari keluarga saya di sini dan pekerjaan saya
sebagai penterjemah di LPPM.
T: Ketika Anda dibebaskan, bagaimana perasaan Anda terjun lagi
ke tengah masyarakat?
S: Di penjara begitu sunyi. Tiba di luar, saya pada mulanya
tidak tahan mendengar kebisingan lalu-lintas. Bis, deru motor,
suara radio tetangga. Pernah satu ketika jalan-jalan naik bis
saja tidak tahan berada di tengah kesibukan dan keributan.
buru-buru saya ajal isteri saya pulang ke rumah. Di rumah, pada
mulanya saya merasa selalu dipandang dengan curiga oleh
tetangga.
T: Apa akibat penahanan Anda terhadap keluarga di luar penjara?
S: Sampai tahun 1973, anak-anak saya yang enam orang itu masih
sering diganggu karena dianggap 'anak PKI'. Rumah kami digugat,
sebab memang tidak ada VB-nya. Dulu saya memang tidak pernah
fikir soal VB-VB-an itu tapi baru kemudian saya sadari kesalahan
itu. Soalnya rumah itu sebenarnya rumah instansi Departemen
Keuangan, tapi karena waktu itu tidak ada yang mau menempati
oleh sekretariat DPA diuruskan sehingga dapat saya tempati. Dulu
kan saya pernah jadi anggota DPA mewakili PNI .
Akhirnya tahun 1973 isteri dan anak-anak saya terpaksa keluar
dari rumah itu, kemudian mereka numpang dirumah keluarga di
Kebon Nanas, Karet Belakang. Belakangan ini saya dengan bahwa
rumah itu pun mau digusur dalam rangka Proyek Kuningan, tapi
untunglah baru pada tahap terakhir.
Selama saya di penjara seluruh biaya keluarga ditanggung olah
anak saya yang tertua, perempuan. Meskipun sekarang dia sudah
berumur 30 tahum dia belum kawin. Juga adik-adiknya. Masih
untung ada sahabat saya di Amerika selalu kirim uang untuk
sekolah anak-anak saya, lewat Dr Kadarman.
Setelah saya dipindahkan ke tahanan rumah. juga Dr Kadarman ini
yang carikan pekerjaan bagi saya di LPPM, sebagai penterjemah
buku-buku manajemen. Kan bisa dikerjakan di rumah. Setelah bebas
penuh ditambah dengan rapat penyusunan istilah-istilah manajemen
di LPPM, seminggu sekali. Dengan penghasilan itu, saya kini
sudah bisa membiayai kebutuhan saya sendiri. Namun kebutuhan
seluruh keluarga, masih ditanggung oleh anak saya yang tertua,
yang bekerja di Bayer.
Saya tidak tahu bagaimana pandangannya terhadap saya, ayah yang
tidak pernah sukses menghidupi keluarganya, tidak pernah sukses
sebagai kepala keluarga. Tapi saya yakin bahwa penahanan saya
selama 8 tahun itu besar pengaruhnya terhadap dia.
T: Apakah anda sudah boleh menulis juga novel, esei dan
lain-lainnya?
S: Resminya memang tidak dilarang. Dan setelah saya bebas, pada
usia setua ini, apa lagi yang dapat saya pelajari? Tadi saya mau
kembali ke profesi saya semula, sebagai sastrawan. Tapi sampai
sekarang, baru sajak-sajak yang di Bali itu yang saya tulis.
Menterjemahkan itu memang besar honorariumnya, tapi kurang ada
kepuasan. Lebih baik dapat honorarium lima ribu tujuh ribu satu
artikel, asal bisa kembali terjun ke bidang sastra. Dalam
tahanan, kami memang tidak dilarang mengarang. Tapi kami
dilarang memiliki alat tulis macam apapun, jadinya kan sama
saja?
T: Bagaimana dengan ambisi anda dulu untuk menjadi Menteri P &
K?
S: Dulu pun, bukan itu ambisi saya. Terlalu kecil. Ambisi saya
waktu itu menggegerkan Paris. Nah, kalau waktu masih muda saja
ambisi saya adalah menggegerkan Paris, maka setelah tua sekarang
mestinya ambisi saya kan menggegerkan langit? (dia ketawa).
Orang juga ada'yang tanya, apakah Sitor mau come-back. Saya
bilang, saya sudah begitu lama tersisih dari pergaulan dengan
masyarakat seniman.
Sekarang saya mau belajar dulu mengamati yang muda-muda. Lagi
pula, prestasi saya belum apa-apa dibandingkan dengan Pramudya.
Dialah sastrawan yang hebat, jadi merupakan kerugian besar bagi
kita bahwa dia masih ditahan. Itu sudah saya bilang sama
Laksamana Sudomo, ketika saya pernah dipanggil selagi masih
menjalani tahanan kota.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini