Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Tanya Jawab Dengan Sitor Situmorang

Wawancara Tempo dengan Sitor Situmorang, yang dibebaskan dari tahanan karena peristiwa G-30-S/PKI. Di penjara mendalami buku tentang budhisme, zen & tao. setelah dibebaskan ia ingin kembali sebagai sastrawan. (nas)

30 Oktober 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAHANAN yang berhubungan dengan peristiwa G-30-S/PKI, sesungguhnya terbagi dalam 4 golongan Tiga golongan pertama A, B dan C -- sudah cukup 'terkenal' karena paling banyak mendapat sorotan di luar dan dalam negeri. Namun sejak tahun 1970, dipisahkanlah apa yang disebut 'golongan X', yakni mereka yang tidak langsung terlibat dalam peristiwa G-30-S, bukan anggota PKI dan juga bukan anggota organisasi-organisasi mantel PKI atau simpatisan PKI. Termasuk dalam kategori ini adalah tokoh-tokoh ormas pendukung PNI seperti ketua LKN (Lembaga Kebudayaan Nasional) Sitor Situmorang. Penyair berusia 53 tahun itu. baru saja dibebaskan secara penuh 23 September lalu, setelah ditahan 8 tahun lamanya, yang disambung dengan tahanan rumah 8 bulan dan tahanan kota setahun lebih. Berikut ini bagian-bagian wawancara pertama yang diberikan setelah bebas dengan wartawan TEMPO G.Y. Adicondro: TEMPO: Dalam tahanan, apakah ada perbedaan perlakuan antara golongan AC dengan golongan 'X'? SITOR: Sama saja. Lagi pula, kami sendiri 'kan tidak tahu dalam golongan mana kami dikelompokkan. Baru setelah keluar dari penjara Salemba, saya baru tahu saya dimasukkan golongan 'X' Tapi resminya yang tercantum dalam surat pembebasan saya adalah 'non-golongan', yakni mereka yang ditahan 'sebagai akibat peristiwa G-30-S. T: Selama dalam penjara, apakah bung ada kontak dengan dunia luar? S: Ada juga. Sesuai dengan peraturan, kami boleh menerima makanan dari luar maksimal 3 x seminggu, serta buku-buku agama. Lain tidak. Berkat bantuan T.B Simatupang (dari Dewan Gereja Indonesia) saya bisa dapat bahan bacaan agama. Bukan cuma bahan-bahan Kristen. tapi juga tentang Islam. Buddhisme. Hinduisme, Tao dan Zen. T: Buku-buku mana yang paling menarik bung selama di penjara? S: Khususnya tentang Buddhisme Zen dan Tao. Bukan sebagai agama saya sendiri tetap Kristen, tapi sebagai gejala kebudayaan. Dan setelah saya ke luar, minat itu tetap. Jadi bukan selama di penjara saja, karena keterbatasan hahan bacaan itu. Malah tanpa saya sadari, tendensi itu sudah ada dalam sajak-sajak saya sebelum ditahan. Buktinya setelah saya bebas, saya pergi ke Bali seminggu lamanya dan dalam waktu seminggu itu mengalirlah 40 - 50 sajak saya yang bernafaskan perpaduan antara Krisna dan Kristus. Mungkin ini sinkretis, tapi bagi saya ini merupakan usaha penggalian akar-akar kebudayaan nasional kita yang asli, sebelum kedatangan Hindu, Islam dan Kristen. Bagi saya, keaslian itu yang menarik seluruh dunia masih terasa di Bali. T: Sebenarnya, apa dasar pemikiran Anda dulu yang melahirkan pertentangan Anda dulu dengan para penandatangan Manifes Kebudayaan? S: Perbedaan pendirian. Tapi sejak dulu saya ini orang liberal, yang ingin memisahkan pergaulan dari politik. Meskipun berbeda pendapat, yang tua-tua di TIM sekarang ini -- seperti Ayip Rosidi dan Zaini sampai saat-saat terakhir sebelum saya ditahan tetap sahabat saya yang akrab. Saya sekarang mau 'belajar dari yang muda-muda. Secara khusus saya tertarik pada Rendra dan Sardono. karena kedua seniman muda ini sudah melewati taraf belajar dari luar -- khususnya Barat dan berusaha mencari akar kebudayaannya sendiri. Sardono dan Rendra, bagi saya merupakan pendalaman lebih lanjut dari pada apa yang dirintis oleh Ki Hajar Dewantoro. Sebenarnya saya kepingin tinggal sama Rendra mendalami cara kerja Bengkel Teater, tapi saya tidak bisa berpisah lagi dari keluarga saya di sini dan pekerjaan saya sebagai penterjemah di LPPM. T: Ketika Anda dibebaskan, bagaimana perasaan Anda terjun lagi ke tengah masyarakat? S: Di penjara begitu sunyi. Tiba di luar, saya pada mulanya tidak tahan mendengar kebisingan lalu-lintas. Bis, deru motor, suara radio tetangga. Pernah satu ketika jalan-jalan naik bis saja tidak tahan berada di tengah kesibukan dan keributan. buru-buru saya ajal isteri saya pulang ke rumah. Di rumah, pada mulanya saya merasa selalu dipandang dengan curiga oleh tetangga. T: Apa akibat penahanan Anda terhadap keluarga di luar penjara? S: Sampai tahun 1973, anak-anak saya yang enam orang itu masih sering diganggu karena dianggap 'anak PKI'. Rumah kami digugat, sebab memang tidak ada VB-nya. Dulu saya memang tidak pernah fikir soal VB-VB-an itu tapi baru kemudian saya sadari kesalahan itu. Soalnya rumah itu sebenarnya rumah instansi Departemen Keuangan, tapi karena waktu itu tidak ada yang mau menempati oleh sekretariat DPA diuruskan sehingga dapat saya tempati. Dulu kan saya pernah jadi anggota DPA mewakili PNI . Akhirnya tahun 1973 isteri dan anak-anak saya terpaksa keluar dari rumah itu, kemudian mereka numpang dirumah keluarga di Kebon Nanas, Karet Belakang. Belakangan ini saya dengan bahwa rumah itu pun mau digusur dalam rangka Proyek Kuningan, tapi untunglah baru pada tahap terakhir. Selama saya di penjara seluruh biaya keluarga ditanggung olah anak saya yang tertua, perempuan. Meskipun sekarang dia sudah berumur 30 tahum dia belum kawin. Juga adik-adiknya. Masih untung ada sahabat saya di Amerika selalu kirim uang untuk sekolah anak-anak saya, lewat Dr Kadarman. Setelah saya dipindahkan ke tahanan rumah. juga Dr Kadarman ini yang carikan pekerjaan bagi saya di LPPM, sebagai penterjemah buku-buku manajemen. Kan bisa dikerjakan di rumah. Setelah bebas penuh ditambah dengan rapat penyusunan istilah-istilah manajemen di LPPM, seminggu sekali. Dengan penghasilan itu, saya kini sudah bisa membiayai kebutuhan saya sendiri. Namun kebutuhan seluruh keluarga, masih ditanggung oleh anak saya yang tertua, yang bekerja di Bayer. Saya tidak tahu bagaimana pandangannya terhadap saya, ayah yang tidak pernah sukses menghidupi keluarganya, tidak pernah sukses sebagai kepala keluarga. Tapi saya yakin bahwa penahanan saya selama 8 tahun itu besar pengaruhnya terhadap dia. T: Apakah anda sudah boleh menulis juga novel, esei dan lain-lainnya? S: Resminya memang tidak dilarang. Dan setelah saya bebas, pada usia setua ini, apa lagi yang dapat saya pelajari? Tadi saya mau kembali ke profesi saya semula, sebagai sastrawan. Tapi sampai sekarang, baru sajak-sajak yang di Bali itu yang saya tulis. Menterjemahkan itu memang besar honorariumnya, tapi kurang ada kepuasan. Lebih baik dapat honorarium lima ribu tujuh ribu satu artikel, asal bisa kembali terjun ke bidang sastra. Dalam tahanan, kami memang tidak dilarang mengarang. Tapi kami dilarang memiliki alat tulis macam apapun, jadinya kan sama saja? T: Bagaimana dengan ambisi anda dulu untuk menjadi Menteri P & K? S: Dulu pun, bukan itu ambisi saya. Terlalu kecil. Ambisi saya waktu itu menggegerkan Paris. Nah, kalau waktu masih muda saja ambisi saya adalah menggegerkan Paris, maka setelah tua sekarang mestinya ambisi saya kan menggegerkan langit? (dia ketawa). Orang juga ada'yang tanya, apakah Sitor mau come-back. Saya bilang, saya sudah begitu lama tersisih dari pergaulan dengan masyarakat seniman. Sekarang saya mau belajar dulu mengamati yang muda-muda. Lagi pula, prestasi saya belum apa-apa dibandingkan dengan Pramudya. Dialah sastrawan yang hebat, jadi merupakan kerugian besar bagi kita bahwa dia masih ditahan. Itu sudah saya bilang sama Laksamana Sudomo, ketika saya pernah dipanggil selagi masih menjalani tahanan kota.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus