Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Kodok-kodok hutasoit

Peternakan kodok tertunda menunggu penetapan Departemen Agama. Dalam agama islam, ada aliran yang mengharamkan ada yang tidak. (ag)

15 September 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KODOK akan diternakkan. Kodok akan diekspor. Bukankah kodok haram? Pertanyaan itu, yang diajukan wartawan kepada J.H. Hutasoit, menteri muda urusan peningkatan produksi peternakan dan perikanan, mendapat jawaban: sedang ditunggu penetapan dari Departemen Agama. Menteri Hutasoit, menghadap Presiden di Binagraha Senin minggu lalu. Masalahnya, dianggap penting ataupun tidak, mayoritas Muslimln Indonesia memang pantang makan kodok demikian juga menjualnya - termasuk kepada konsumen non-Muslim - ataupun membudidayakannya. Kodok itu binatang yang "hidup di dua alam", dan karenanya haram. Nabi sendiri, menurut beberapa hadis, jelas melarang memakan binatang jenis amfibi itu. Itulah sebabnya Imam Syafii, yang mazhabnya dipraktekkan sebagian besar Muslimin kita, mengharamkannya. Begitu juga Imam Hanafi dan Imam Hambali. Sulitnya, empat ayat dalam Quran - sumber pertama penetapan hukum - berulang-ulang hanya menyebut bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang disembelih "untuk yang selain Allah" (di salah satu tempat: "tidak disertai nama Allah"). Hanya itu yang haram. Kodok, amfibi, tidak. Bagi yang mengharamkan, masalahnya mudah: hadis Nabi itu dianggap saja sebagai penjelasan ayat - dan memang itu fungsi utama hadis. Tapi Imam Maliki, misalnya, justru menilai bahwa hadis itu bertentangan dengan Quran. Alasannya bisa ditunjukkan oleh Mahmud Syaltut, bekas syekh Alzhar, Mesir. Katanya, "Ayat-ayat itu memakai ungkapan eksklusif (hashr) yang menun)ukkan hanya empat macam itu yang dharamkan." Jadi, logikanya, Nabi tak mungkin mengharamkan kodok. Hadis yang disebut itu tak layak dijadikan andalan, meski ia dinilai autentik (sahih) menurut penelitian. Toh, Maliki masih merasa perlu membuat kompromi. Daging kodok, menurut sang imam, makruh hukumnya - tidak dilarang, tapi "tak disukai agama". Bentuk kompromi yang lain datang dari Persis - Persatuan Islam. Dalam Quran ada satu ungkapan: halalan thaiyiban. Artinya: halal dan bagus. Bagi Persis dan yang sepaham. Seperti ditunjukkan Dedy Rachman, guru Pesantren Persis di Bandung, tampaknya kodok itu cuma "halal" saja, tidak plus "bagus". Bagaimana bagi para penggemar?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus