DEMAM di pasar uang Jakarta, minggu pertama bulan ini, akhirnya mencapai titik kritis. Tinykat suku bunga pinjaman antarbank (call money) untuk yang menginap semalam (overnight) pagi hari 7 September itu naik dari pukul rata 50% menjadi 85%. Kenaikan luar biasa itu terjadi beberapa menit sesudah kurs tengah dolar ditetapkan naik dari Rp 1.055 menjadi 1.060. Dua hari sebelumnya, Bank Indonesia sudah pula menaikkan kurs tengah itu sebesar Rp 4. Naiknya dolar sebesar Rp 9 dalam dua hari transaksi itu, tentu saja, menyebabkan mata pengusaha, bankir, dan kalangan berduit berkunang-kunang. Tidak biasanya, memang, BI menaikkan kurs tengah demikian tinggi, mengingat sejak devaluasi Maret tahun lalu, depresiasi itU paling tinggi dilakukan sebesar Rp 2, setiap dua atau empat hari. Rupanya, dolar, demikian Tanri Abeng, presiden direktur PT Multi Bintang, kini, "Kursnya sudah mulai jogging." Kata beberapa pengusaha, kurs itu mulai berkobar, hampir berbarengan dengan saat nilai dolar menguat melawan sejumlah mata uang kuat Eropa Barat. Di hari Kamis pekan lalu itu, kurs dolar melawan mark Jerman naik dari 2,947 jadi 2,9695. Juga terhadap franc Prancis, naik dari 9,063 jadi 9,114. Kenaikan kurs itu, tampaknya, tak terelakkan karena suku bunga dolar diisukan bakal naik. Apa boleh buat, perkiraan yang belum tentu benar itu, ternyata, telah membuat para penusaha dan kalanan berduit di sini melakukan tindakan antisipasi: menarik dana rupiah mereka di bank, lalu mengkonversikannya, terutama ke dolar. Dengan cara itu para pengusaha yang punya utang valuta asing berusah mengurangi risiko kurs akibat naiknya dolar. Sedang bagi kalangan berduit, naiknya kurs tengah se besar Rp 31 dalam tempo 3 hari itu bisa dianggap telal menyusutkan nilai nyat simpanan rupiah mereka sebesar 3% Karena alasan itulah, mereka kemudian berusaha mengurangi rugi akibat penyusutan tadi dengan mengkonversikannya ke dolar. Jika spekulasi itu dilakukan ketika nilai dolar terus menguat, bukan mustahil mereka akan mendapat keuntungan lumayan dari kenaikan kurs tengah itu, tanpa harus pusing mendepositokannya. Tapi bagi kalangan bank umum swasta nasional (BUSN), tingkah laku spekulatif semacam itu berakibat fatal: penarikan dana rupiah secara besar-besaran tadi menyebabkan mereka kekurangan likuiditas. Untuk mengatasi kekurangan dana (missmatch) ini, kebanyakan anggota Perhimpunan Bank-Bank Swasta Nasional (Perbanas) ternyata lebih suka terjun ke pasar uang. Karena permintaan akan kue yang kecil itu besar, "Maka suku bunga di pasar uang tentu saja makin besar," ujar I Nyoman Moena. ketua Perbanas. Di hari-hari panas awal bulan ini tidak seperti biasanya, rupiah sulit dicari di pasar uang. Suplai dari lima bank pemerintah, yang dianggap punya kelebihan likuiditas rupiah itu rupanya menyuut besar sekali. Padahal biasanya, menurut perkiraan Nyoman Moena, yang juga presiden direktur Overseas Express Bank, volume rupiah yang luber dari lima bank pemerintah itu sehari paling tidak mencapai Rp 500 milyar. Apakah bank pemerintah juga menghadapi penarikan dana besar-besaran? "Tidak ada," ujar Somala Wiria, presiden direktur BNI 1946. Sampai awal pekan ini, dia tidak merasakan posisi giro dan deposito di banknya mendapat tekanan. Tidak ada pemilik dana, yang sebagian besar adalah badan usaha milik negara (BUMN), yang menarik rupiahnya untuk membayar pajaknya secara besar-besaran. Dalam posisi mantap seperti itu, Somala tetap merasa perlu bersikap "hati-hati" dalam memasarkan kelebihan rupiahnya ke pasar uang, apalagi pada saat suku bunga kini makin gila. Bankir kawakan ini, yang tiap hari memutarkan kelebihan likuiditasnya di pasar uang sekitar Rp 50 milyar, mengaku "konservatif" dalam menghadapi cuaca sekarang. Apa mau dikata, Sikap menahan diri itu, secara tidak disengaja, menyebabkan banyak anggota Perbanas makin kehausan rupiah. Sejumlah bank swasta ada juga yang nekat berusaha menyedot rupiah dengan menawarkan tingkat bunga deposito lebih tinggi 2%-4% dari sebelumnya. Dengan pelbagai upaya, sekalipun harus membayar mahal, mereka berusaha agar pengaturan dana sehari-hari mereka kelihatan tetap dianggap sehat oleh Bl. Tapi ada juga yang, karena sudah terpojok, terpaksa tega menolak permintaan kredit rupiah nasabahnya. Besar kemungkinan anggota Perbanas yang lain juga menghadapr penurunan likuiditas besar-besaran. Bi1a situasi itu terus berlanjut, dan makin banyak nasabah ditolak permintaan kreditnya, bukan mustahil dunia usaha akan macet. "Investasi dan kegiatan produksi akan menurun, harga barang pun akan naik," kata seorang pejabat teras Citibank di Jakarta. Sebab, biaya uang yang harus diperoleh melalui pinjaman modal kerja bunganya sudah makin mahal. Dalam keadaan seperti itu setiap pengusaha tentu akan berpikir keras untuk membiayai investasinya. Bank Sentral, yang tak ingin melihat anggota Perbanas rontok karena tidak likuid dan dunia usaha jadi macet, pada 7 September itu buru-buru menawarkan fasilitas diskonto (discount window). Fasilitas pinjaman jangka pendek untuk dua sampai empat minggu, yang berbunga 16,5% itu, dengan cepat dimanfaatkan bank swasta. Sampai Sabtu lalu sudah 30 bank swasta, tanpa memperhitungkan gengsi lagi, yang memanfaatkan dana murah sebesar Rp 100 milyar lebih dari Bank Sentral itu. Intervensi BI itu ternyata membuahkan hasil: Jumat siangnya suku bunga turun dari 85% (pagi) jadi 72%. Lalu Sabtu: 52%. Hari-hari ini diharapkan akan turun sampai 30%. "Asal dolar tidak naik lagi," ujar Nyoman Moena. Dalam krisis likuiditas seperti itu, kecil kemungkinan anggota Perbanas menyalahgunakan pinjaman murah tadi untuk diputarkan kembali. Sebab, hukumannya, kata Moena, cukup berat: bank bisa dianggap tidak sehat. Pokoknya, "Bank swasta sekarang tidak mau cari untung dulu. Yang penting, bisa survive," katanya menekankan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini