PENYELESAIAN soal "teologi pembebasan" tetap saja mengambang. "Tidak ada pembicaraan yang menyinggung soal perubahan atau koreksi," kata Pater Leonardo Boff, tokohnya yang terkemuka dari Brazil Jumat pekan lalu ia menghadap kepala Kongregasi Doktrin Iman di Vatikan, Kardinal Ratzinger. Ini memang masalah dalam Gereja Katolik: teologi pembebasan, sebuah kenyataan yang tumbuh dari latar Amerika Latin. Sebagian besar rakyat di bagian benua yang mayoritas penduduknya Katolik itu, hidup dalam nasib yang sama - ditimpa kemiskinan, ketidakadilan, dan penindasan oleh berbagai pemerintah mereka yang juga orangorang Katolik. Dengan kenyataan itu, "Teologi pembebasan mencoba memahami iman yang benar-benar berakar di hati masyarakat Amerika Latin yang mendambakan pembebasan." Demikian Gustavo Gutierrez, teolog kelahiran Peru dan penasihat Majelis Uskup Amerika Latin, dalam bukunya A Theology of Liberation. Maka, Gereja di Amerika Latin sejak 1968 sepakat menerima paham itu, dan menempatkan diri di barisan orang miskin. Maka, teologi yang sudah merembet ke berbagai tempat ini (Eropa, Amerika Utara, Afrika, Filipina, dan pernah terlihat juga samar-samar di Indonesia) di Amerika Latin tak urung memancing bentrokan dengan pemerintah. Sampai 1979 tak kurang dari 935 rohaniwan ditahan, 79 gugur, dan 37 hilang misterius - menurut Penny Lernoux, Cry of the People. Dan itulah yang tidak disukai Vatikan. Pimpinan tertinggi Gereja Katolik itu berpendapat, teologi pembebasan bisa saja diterima asal tetap berpegang pada aspek-aspek tertentu "misteri penebusan". Tapi kekeliruan paham yang tumbuh sejak awal 1960-an itu adalah identifikasi analisa ilmiahnya dengan analisa marxis. Di situ terkait perjuangan kelas. Itu dinyatakan dalam dokumen penielasan resmi Paus, mengiringi "instruksi mengenai beberapa aspek tertentu teologi pembebasan", 6 Agustus lalu. Dan itulah memang puncak "ketegangan" antara Vatikan dan mereka selama empat tahun ini. Sebaliknya di kalangan yang dikritik. Beberapa tokoh teologi terkemuka - termasuk Gutierrez dan Hans Kung - malah membentuk Concillium, setahun yang lalu. Mereka menganggap tuduhan Vatikan dalam hal marxisme itu hampir serupa saja dengan tuduhan para penguasa pemerintahan. Tentunya karena mereka berhadapan langsung dengan berbagai pemerintah khas Amerika Latin. Sementara itu, pesan Gereja, yang pada zaman mutakhir memelihara citranya sebagai "si lembut hati", dinilai "terlalu abstrak" - bila bukan justru terikat oleh "tradisi diplomatik"-nya sendiri yang hanya bermain di kalangan atas sebelah kanan. Tentu, teologi pembebasan sendiri bisa terjebak ke dalam ukuran-ukuran politik, seperti dinyatakan Vatikan - termasuk, tentunya, bila sebuah pemerintahan berganti ke suatu bentuk ekstrem yang lain. Toh pihak Vatikan, seperti tampak dari kunjungan Leonardo Boff ke sana, bukan frontal menolak. Hanya, "Jangan sampai teologi yang intinya baik itu menjadi terlalu marxistis," seperti dikatakan kepada TEMPO oleh Mgr. Leo Soekoto, uskup agung Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini