Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Ayo, Berbelanja

Kampanye melalui alat untuk meningkatkan hasrat konsumtif masyarakat. Usaha menggalang tabungan dianggap mampu membiayai investasi. Pemerintah turut menaikkan daya beli pegawai negeri. (eb)

15 September 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBAGAI bos penghasil barang-barang konsumsi Tanri Abeng, presiden di rektur PT Multi Bintang Indonesia, belakangan ini sering berbicara mengenai perlunya usahi "menciptakan permintaan" Tumbuhnya permintaan, yang dianggapnya akan mampu mendorong kenaikan produks itu, kini dibutuhkan justru untuk menarik minat calon penanam modal. Dalam Seminar Periklanan II, yang diselenggarakan TEMPO pekan lalu di Jakarta, dia menyebut kemungkinan iklan berperanan aktif untuk merangsang permintaan itu. Dia menganggap, usaha itu bisa dilakukan tanpa harus melecut pola pembelanjaan konsumen secara berlebih-lebihan. "Ini hanya bisa dilakukan bila ada pertumbuhan yang bisa dibagi rata," ujar Tanri. "Tidak saja untuk golongan yang bisa menabung, tapi juga untuk kelompok yang punya kemampuan berbelanja." Sampai batas tertentu, pandangan itu tampaknya selaras dengan anjuran ahli ekonomi tersohor John Maynard Keynes, pada tahun 1930-an. Guna mengatasi depresi hebat yang mencekik Inggris ketika itu, dia menganjurkan pemerintah menciptakan pekerjaan umum secara besar-besaran, agar masyarakat kecil kelak punya kemampuan berbelanja. Sebab, hadirnya proyek itu secara langsung akan menambah Jumlah uang dl tangan mereka, hingga merangsang munculnya permintaan efektif. Secara nyata, pemerintah sesungguhnya juga sudah melakukan injeksi rupiah ke masyarakat pedesaan, dengan menciptakan pelbagai proyek Inpres: mulai dari penghijauan sampai memberi bantuan kepada desa. Kendati devisa minyak makin berkurang, usaha itu masih diteruskan hingga kini. Bahkan, guna memulihkan daya beli pegawai negeri dan ABRI, pada tahun anggaran berjalan ini gaji mereka dinaikkan pukul rata 15%. Dengan kebijaksanaan itu, pemerintah berusaha menambah rupiah yang berada dalam pos belanja pegawai dan pensiun, dan sebelumnya Rp 2,75 trilyun menjadi hampir Rp 3,2 trilyun. Sebagai konsekuensi membesarnya pos pengeluaran itu, injeksi rupiah levat berbagai proyek besar jadi berkurang, karena kemampuan pemerintah membiayainya dari tabungan menurun. Dalam kondisi seperti itu, efektivitas suntikan ke arah pegawai negeri dan ABRI, tentu saja, jadi dipertanyakan. Tapi Mochamad Hatta, direktur Personalia dan Hubungan Luar PT Unilever, rupanya punya pandangan cukup unik. Kenaikan permintaan, katanya, tidak selalu harus dilakukan dengan injeksi uang pemerintah. Tanpa itu, pemerintah dianggapnya bisa saja ikut' mendidik masyarakat untuk membeli, misalnya, shampo yang terjangkau kantung mereka. Persoalannya tinggal bagaimana menyampaikan, "Bahwa di pasar tersedia juga shampo berbotol plastik murah, selain shampo kemasan botol mahal," katanya. Hanya dengan kampanye melalui iklan, masyarakat bisa diberitahu bahwa selain menghasilkan Rinso, Unilever juga memasarkan sabun cuci Sunlight yang cukup merakyat. Ketika TVRI masih bebas menyiarkan program siaran niaga, kampanye pemberitahuan itu bisa lebih efisien menjangkau masyarakat desa. Dan, ketika kemudian halaman iklan di surat kabar dan majalah juga dibatasi, usaha mendorong permmtaan itu seolah menemui kebuntuan yang sempurna. Pentingkah iklan? Menurut Dr. Iwan Jaya Azis, iklan menjadi kunci sukses utama dalam mendorong kenaikan hasrat mengkonsumsi - bukan karena dibutuhkan, tapi bagaimana kebutuhan itu diciptakan melalui produksi barang itu. Karena itu, jika iklan kemudian dianggap "sebagai alat untuk meningkatkan hasrat mengkonsumsi masyarakat, adalah tepat," kata ketua Jurusan Program Pasca-Sarjana UI itu. Sampai batas tertentu hasrat mengkonsumsi itu, mungkin, bisa dianggap baik yang pada tingkat pertama akan mendorong angka penjualan berbagai barang primer. Tapi, bila semangat itu sampai menjegal usaha menggalang tabungan, soalnya tentu bisa runyam. Sejak berbagai bank pemerintah dibebaskan menetapkan bunga deposito sendiri, mulai Juni 1983 lalu, jumlah seluruh dana yang dapat disedot berbagai lembaga keuangan itu meningkat dari Rp 4,9 trilyun (Mei 1983) jadi Rp 7,2 trilyun (minggu kedua Agustus). Bertambahnya tabungan itu, dengan kata lain, bisa dianggap menambah kemampuan dana dalam negeri untuk membiayal mvestasi. Dengan upaya itu, pengusaha swasta kelak diharapkan tidak lagi terlalu tergantung kepada sumber luar negeri, yang harga dananya sering dianggap kelewat mahal. Kalau kemudian tabungan tadi, ternyata, dianggap belum mampu merangsang investasi baru, faktor penghambatnya tentu perlu disisihkan. Sering berubahnya peraturan pemerintah oleh Iwan Jaya Azis dianggap salah satu hal yang menyebabkan pengusaha enggan menanamkan modal di sini. Untuk melakukan investasi, katanya, pengusaha harus memikirkan kepentingan mengamankan modalnya untuk jangka 10-20 tahun. Proyeksi jelas, hanya bisa dibuat apabila peraturan yang mendukung investasi itu tidak sering berubah. "Lha, kalau semuanya serba berubah dengan cepat, bagaimana pengusaha bisa menghitung dan merencanakan?" tanyanya. Betapapun terasa kecut, anggapan Iwan Jaya itu tampaknya bisa digunakan sebagai pelengkap anjuran Tanri Abeng. Tapi, tentu soal investasi banyak pula ditentukan oleh prospek usaha itu. Dengan kata lain, sektor industri yang sudah jenuh, seperti tekstil, jelas tidak akan menarik minat calon penanam modal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus