Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Komisi II DPR Bakal Pertimbangkan Gelar Pilkada dengan Pilpres-Pileg di Tahun Berbeda

Wakil Ketua Komisi II DPR, Dede Yusuf Macan Effendi, menyebut bahwa komisinya akan mengevaluasi efektivitas penyelenggaraan pilkada serentak di tahun yang sama dengan pilpres dan pileg.

8 Desember 2024 | 08.24 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Dede Yusuf, ketika ditemui di kompleks DPR Senayan, Jakarta Pusat, Kamis, 16 Mei 2024. TEMPO/Defara

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dede Yusuf Macan Effendi, menyebut bahwa komisinya akan melakukan evaluasi terkait rendahnya tingkat partisipasi pemilih dalam pilkada 2024. Dia menyatakan, Komisi II DPR akan mengevaluasi efektivitas penyelenggaraan pilkada serentak di tahun yang sama dengan pilpres dan pileg.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Itu sebabnya, kami berpikir kami perlu evaluasi ke depan," kata politikus Partai Demokrat itu dalam keterangan tertulis pada Sabtu, 7 Desember 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebelumnya, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Mochamad Afifuddin mengatakan, rerata partisipasi pemilih dalam pilkada se-Indonesia hanya sekitar 68 persen. Padahal, berdasarkan data KPU, partisipasi pemilih dalam pemilu 2024 mencapai 81,78 persen.

Dede mengatakan, komisinya bakal mengkaji apalah pilkada akan dilakukan di tahun yang berbeda dengan pilpres dan pileg. Dengan harapan, antusiasme masyarakat bisa lebih tinggi.

"Apakah perlu kita bedakan tahunnya, sehingga euforia untuk memilihnya itu menjadi sangat besar. Karena kalau masyarakatnya terus ogah-ogahan malas atau calonnya yang kurang menarik bagi mereka, mereka tidak akan datang gitu," kata Dede.

Menurut Dede, setidaknya ada tiga hal yang menjadi faktor menurunnya tingkat partisipasi pemilih dalam pilkada. Pertama, karena kejenuhan yang dirasakan oleh masyarakat akibat pemilu dan pilkada berlangsung pada tahun yang sama. "Kejenuhan akan pemilihan dalam tahun yang sama itu yang paling nyata," ujar dia.

Faktor kedua, menurut Dede, adalah biaya pilkada yang cukup tinggi. Akibatnya, calon-calon yang yang dihadirkan bukanlah sosok yang diharapkan oleh masyarakat. 

"Mungkin yang diharapkan tidak mampu, karena cost-nya yang begitu besar, apalagi sekarang serentak dengan pilkada daerah lainnya," kata Dede.

Faktor selanjutnya, menurut Dede,adalah kurangnya sosialisasi agar para pemilih pemula mau menggunakan hak pilihnya. Dia menilai, sosialisasi dari KPU kurang mampu merangkul pemilih pemula yang merupakan generasi muda. 

"Menggapai para pemilih pemilih pemula yang notabene sekarang kan banyak yang generasi-generasi muda, gen Z itu juga kurang mampu merangkul, ya baik pesertanya maupun juga dari sosialisasi KPU," kata Dede.

Sementara itu, Badan Pengawas Pemilu atau Bawaslu menduga sikap apatis masyarakat terhadap pasangan calon menjadi penyebab turunnya partisipasi pemilih pada pilkada 2024. “Tidak di Jakarta, tidak di daerah lain Bawaslu melihatnya konteksnya demikian,” kata Koordinator Divisi Pencegahan, Partisipasi Masyarakat, dan Humas Bawaslu Lolly Suhenty di Grand Lagoi Hotel, Pulau Bintan, Riau, pada Selasa, 3 Desember 2024.

Dia mengatakan, sikap apatis masyarakat sebagai indikasi valid dari penurunan partisipasi pemilih. Menurut Lolly, perlu survei terukur untuk bisa membuktikan dugaan tersebut. Dia menambahkan, sikap apatis itu juga tergambarkan dari kemenangan kotak kosong dalam pilkada 2024.

Alfitria Nefi berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus