Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Politik

Komnas Perempuan Ingatkan UGM Berikan Perlindungan kepada Korban Kekerasan Seksual Gubes Fakultas Farmasi

Rektor UGM telah memecat pelaku setelah terbukti bersalah.

13 April 2025 | 11.27 WIB

Kampus Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Dok. UGM
material-symbols:fullscreenPerbesar
Kampus Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Dok. UGM

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Yogyakarta- Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan mengingatkan Rektorat Universitas Gadjah Mada (UGM) agar memberikan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual guru besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Edy Meiyanto.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Rektor UGM telah memecat pelaku setelah terbukti bersalah. Pelaku melanggar kode etik dosen dan Pasal 3 Peraturan Rektor UGM Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di UGM.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Komisioner Komnas Perempuan Devi Rahayu menyatakan Komnas Perempuan mengapresiasi kebijakan Rektor UGM yang memecat pelaku sebagai dosen karena melanggar kode etik dosen, meski belum ada tuntutan pidana dan belum ada putusan pengadilan. “Itu tindakan tegas sebagai pimpinan atas tindakan pelanggaran dosen,” kata Devi dihubungi Ahad, 13 April 2025. 

Perlindungan terhadap korban kekerasan seksual diatur melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Korban kekerasan seksual berhak mendapatkan perlindungan, pendampingan dan pemulihan. Sedangkan perlindungan dari kampus diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi atau Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS). “Karena terjadinya di institusi pendidikan (kampus) maka pihak kampus wajib memperhatikan hak-hak korban tersebut,” kata Devi. 

Hak korban tersebut di antaranya memberikan keleluasaan kepada Satuan Tugas PPKS untuk membuat mekanisme perlindungan apabila mendapatkan tekanan dari pihak kampus, termasuk membangun mekanisme respon cepat membuat laporan kepada pihak berwenang seperti kepolisian, Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak atau UPTD PPA, Lembaga Pengada Layanan Berbasis Masyarakat, serta bekerja sama dengan lembaga lainnya seperti Lembaga Perlindungan Saksi Korban (LPSK) dan Komnas Perempuan. 

Bila terdapat tekanan dan ancaman korban maupun pendamping, maka UGM dapat mengajukan permohonan kepada LPSK. “Pada prinsipnya perlindungan terhadap pelapor perlu diberikan sebagaimana terhadap korban,” katanya. 

Selain terhadap korban, perlindungan juga diberikan kepada pendamping korban Satuan Tugas PPKS. Perlindungan itu menyangkut kerahasiaan identitas, pendampingan, perlindungan dan pemulihan, informasi perkembangan penanganan laporan, perlindungan dari ancaman fisik dan nonfisik,  dan berkoordinasi dengan pihak eksternal. 

Komnas Perempuan menyebutkan dari survei lembaga tersebut pada 2024, terdapat 1.133 kasus kekerasan seksual dan 94 persen korbannya adalah perempuan. Sebanyak 661 kampus mengisi survei itu pada acara Komnas Perempuan bertajuk ngobrol bareng bersama mitra Satgas PPKS. Terdapat Satgas PPKS yang baru dibentuk sehingga belum menangani kasus dan satgas PPKS yang sudah menangani 70 kasus.

Menurut Devi, keberadaan Satgas PPKS di masing-masing Perguruan Tinggi yakni di bawah Kemendikti Sains dan Teknologi dan Kementerian Agama patut diapresiasi. Pada 2024 Komnas Perempuan memantau program Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di perguruan tinggi yang diikuti 763 peserta untuk mengidentifikasi efektivitas satgas. Hingga Mei 2024, terdapat 1.724 Perguruan Tinggi yang telah memiliki PPKS.

Dalam prakteknya Komnas Perempuan melihat secara internal PPKS punya tantangan internal berupa peningkatan kapasitas sumber daya manusia dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Belum lagi satgas PPKS kerap berhadapan dengan kasus-kasus dalam bentuk baru yang tidak dapat secara jelas masuk dalam kategori bentuk-bentuk kekerasan seksual yang diatur dalam undang-undang maupun peraturan pelaksananya. Selain itu, lemahnya status kelembagaan dan posisi struktural Satgas PPKS berkontribusi  terhadap kapasitas Satgas PPKS  melaksanakan tugasnya. 

Devi mencontohkan Tahun 2024, terdapat Satgas PPKS dari salah satu perguruan tinggi ternama di Depok memutuskan untuk mengembalikan amanatnya kepada rektor. Alasan mereka karena dampak tingginya beban kerja yang diemban oleh satgas PPKS, namun tidak diimbangi oleh komitmen dan dukungan pimpinan perguruan tinggi. Survei yang pernah dilakukan Komnas Perempuan menunjukkan Satgas PPKS mendapatkan dukungan dari pimpinan kampus dalam pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual sebesar 53 persen, sedangkan 23 persen mengeluhkan minimnya dukungan. 

Devi menyebut sanksi yang diberikan pihak kampus terhadap pelaku seharusnya juga beriringan dengan proses pidana sehingga Satgas PPKS perlu mendorong korban melaporkan kasusnya ke pihak kepolisian dan mendampingi korban. “Namun tetap menghormati jika korban memilih untuk tidak akan membawa ke ranah hukum dan hanya penyelesaian di lingkup kampus,” ujar Devi.  

Aliansi Mahasiswa UGM menilai penanganan kasus kekerasan seksual Guru Besar Farmasi UGM belum berpihak kepada korban dan tidak transparan. Setelah rapat konsolidasi di kantin Filsafat UGM pada Jumat, 11 April 2025, aliansi berencana menggelar demonstrasi di UGM. 

Aliansi yang beranggotakan puluhan mahasiswa dari berbagai fakultas menggelar konsolidasi untuk membahas berbagai persoalan kampus, satu di antaranya kekerasan seksual. Sejumlah mahasiswa yang bertemu di antaranya berasal dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Filsafat, Kedokteran, Farmasi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, dan Fakultas Teknologi Pertanian.

Salah satu anggota Aliansi Mahasiswa UGM, Halimah mengatakan konsolidasi itu muncul dari keresahan mahasiswa terhadap penanganan kasus kekerasan seksual yang belum berpihak terhadap korban. Halimah bukan nama sebenarnya mahasiswa tersebut. Perempuan tersebut meminta namanya tidak ditulis dengan alasan khawatir terhadap tekanan pejabat kampus atas kritik yang mereka lontarkan.

Aliansi memberikan catatan tentang penanganan kekerasan seksual yang belum berpihak terhadap hak korban di antaranya penanganan yang tidak transparan terhadap korban. Selain itu, UGM, kata Halimah juga tidak memberikan keleluasaan atau alternatif korban untuk mencari pendampingan dari luar UGM. Mereka juga mengkritik pendampingan dan pemulihan trauma korban yang belum maksimal.

Dia mencontohkan pada kasus kekerasan seksual yang melibatkan guru besar Fakultas Farmasi, Edy Meiyanto, Fakultas Farmasi menutupi kasus tersebut dan menekan korban agar tak bicara demi nama baik kampus. “Kami ingin ada perbaikan sistem penanganan yang berpihak terhadap korban,” kata Halimah dihubungi Tempo melalui sambungan telepon.

Sejumlah korban kekerasan seksual Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta juga menyatakan belum menggunakan pendampingan psikologis untuk pemulihan trauma. Dalam siaran pers yang diunggah pada 6 April 2025, UGM menyatakan berpegang teguh pada prinsip pengarusutamaan dan keadilan gender. UGM melalui Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual terus memberikan pelayanan, perlindungan, pemulihan, dan pemberdayaan para korban sesuai kebutuhan korban.

Tapi, sejumlah korban menyatakan pendampingan psikologis hanya diberikan saat proses pemeriksaan korban, pelaku, dan saksi sebelum pemecatan pelaku. Tempo menghubungi dua korban untuk mengkonfirmasi layanan pendampingan psikologis tersebut. “Kami belum ditawari setelah rektorat mengumumkan pemecatan pelaku,” kata dua korban itu pada Kamis, 10 April 2025.

Sebagian korban menurut dia kini menunggu kepastian sanksi pencabutan status ASN terhadap Edy Meiyanto. Mereka mendengar pelaku sedang mengurus pendaftaran untuk mengajar di kampus lain. Lewat pencopotan status PNS itu, korban berharap menimbulkan efek jera pelaku dan membatasi peluangnya menyasar korban lainnya.

Sekretaris UGM Andi Sandi Antonius menjelaskan tentang pembentukan tim pemeriksa disiplin kepegawaian yang berhubungan dengan status kepegawaian Edy sebagai ASN. Tim yang dibentuk melalui surat keputusan rektor beranggotakan atasan Edy yakni dekan atau ketua departemen, direktorat sumber daya manusia, dan satuan pengawas internal.

Hasil pemeriksaan tim tersebut, kata Sandi akan rektor sampaikan ke Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi. Ihwal independensi tim Sandi hanya menyebutkan UGM secepatnya memeriksa pelaku sesuai prosedur dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Tapi, dia tak menjawab pertanyaan tentang mahasiswa yang belum memanfaatkan pendampingan psikologis setelah UGM memberikan sanksi terhadap Edy Meiyanto. “Cukup ya,” kata Andi Sandi dihubungi melalui pesan Whatsapp, Kamis, 10 April 2025.

Majalah Tempo edisi 31 Maret-6 April 2025 menerbitkan tulisan berjudul Gelagat Cabul Profesor Pembimbing yang menjelaskan kasus kekerasan oleh Edy Meiyanto. Edy dituduh melecehkan mahasiswa S-1, S-2, S-3 saat menjalani bimbingan skripsi, tesis, dan disertasi.

Peristiwa itu berlangsung di kampus, rumah Edy di kawasan Minomartani, Sleman, dan sejumlah lokasi penelitian. Temuan Majalah Tempo menunjukkan ada upaya Fakultas Farmasi menutupi dan melarang korban mencari bantuan pendampingan dari luar kampus.

Jumlah korban yang melapor ke Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual ada 15 mahasiswa. Menurut korban, ada laporan korban berupa kekerasan verbal yang tidak dimasukkan oleh Satgas PPKS.

Total kasus dalam kertas kerja yang dilaporkan korban ada 33 kejadian. Sejumlah korban bahkan mengalami kekerasan lebih dari satu kali. “Kampus kini tak perlu menutupi lagi. Semua orang juga sudah tahu,” kata seorang korban.

Pelaku yang juga penceramah masjid itu memijat tangan, memegang rambut mahasiswa dari balik jilbab, memegang pipi dan wajah, dan mencium pipi mahasiswa di rumahnya. Semua korban mengenakan jilbab.

Di kampus, modusnya adalah menyuruh mahasiswa memeriksa tensi darah supaya dia bisa memegang tangan korban. Pelaku juga meminta korban mengirimkan foto dan memaksa mahasiswa menghubungi di luar jam mengajar, bahkan saat malam.

Pemecatan sebagai dosen UGM itu, kata korban melegakan karena mereka tidak ingin korban semakin bertambah di Fakultas Farmasi. Para alumni Fakultas Farmasi yang menjadi korban menyambut baik pemecatan itu. Sebagian, kata dia mengekspresikannya dengan mengunggah pemberitaan media massa di akun media sosial mereka. “Kami merasa kuat karena banyak dukungan dari luar UGM dan ramai,” katanya.

Tempo dua kali mendatangi rumah Edy Meiyanto di kawasan Minomartani, Sleman untuk meminta konfirmasi mengenai tuduhan para korban. Namun, tak ada satu pun penghuni rumah muncul membukakan pintu. Tempo mengirimkan surat permohonan wawancara ke rumahnya. Edy juga tak membalas pesan permintaan wawancara yang dikirim ke nomor teleponnya.

 

 

Shinta Maharani

Lulus dari Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN Yogyakarta. Menjadi Koresponden Tempo untuk wilayah Yogyakarta sejak 2014. Meminati isu gender, keberagaman, kelompok minoritas, dan hak asasi manusia

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus