Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Konflik Hilang Korupsi Terbilang

Bupati Poso diduga menggelapkan dana pemulihan pascakonflik. Dinikmati orang partai dan koperasi fiktif.

17 Maret 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUSUH Poso meninggalkan kenangan buruk lain yang tak kalah traumatis pada masyarakat Sulawesi Tengah: korupsi. Dana pemulihan pascakonflik yang dikucurkan pemerintah pusat lewat Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat sebesar Rp 58 miliar pada 2007 diduga diselewengkan Bupati Piet Inkiriwang.

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Poso dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang menelisik penyaluran duit itu sudah melaporkan dugaan besel ini kepada Komisi Pemberantasan Korupsi sejak 2007. "Sudah 14 kali saya ke Komisi membawa data," kata Rudolf Boka, anggota Dewan, Kamis pekan lalu di Jakarta. Rudolf terakhir ke Komisi pada 7 Februari lalu. Sejauh ini, yang dilakukan Komisi hanya mengecek laporan.

Menurut Rudolf, indikasi korupsi dana konflik tercium ketika Bupati Piet tak mau melaporkan rencana penggunaan anggaran kepada DPRD pada 2007. Dewan pun membentuk panitia khusus untuk menyelidikinya setelah warga Poso melaporkan ketidakberesan program pascakonflik. Dalam penyelidikannya, panitia menemukan banyak penyelewengan dalam program bupati itu.

Koalisi lembaga swadaya yang turun sebelumnya menemukan indikasi penyelewengan serupa. "Misalnya, ada pemotongan dana untuk 57 koperasi," ujar Rinaldy Damanik dari koalisi LSM. Koperasi yang proposal pengajuan dananya disetujui diberi uang secara variatif, dari Rp 50 juta hingga Rp 200 juta. Sebelum dikucurkan, dana tersebut dipotong sebesar Rp 25 juta oleh pengurus koperasi induk, yang kebanyakan orang dekat Bupati Piet.

Misalnya Koperasi Payu Lembah Mposo. Sebagai koperasi induk, Payu Lembah menerima Rp 200 juta dana bergulir untuk modal anggotanya di beberapa koperasi kecil di bawahnya. Namun, saat uang disalurkan, setiap koperasi anggota itu wajib menyetor balik Rp 25 juta ke pengurus Payu Lembah. "Ini kesepakatan kami di hadapan notaris," kata Jani W.F. Mamuaya, Ketua Payu Lembah.

Jani tak lain Ketua DPRD Poso dari Partai Demokrat, anak buah Piet, yang juga Ketua Demokrat Cabang Poso. Inilah salah satu kesimpulan lain temuan lembaga swadaya masyarakat dan panitia khusus DPRD bahwa dana konflik itu dinikmati orang-orang di sekitar Piet Inkiriwang. "Saya tak tahu dana untuk koperasi saya dipotong," kata Luther Wenur, Ketua Koperasi Mekar Wijaya, yang berhimpun di bawah Payu Lembah.

Dana konflik juga dikucurkan Bupati Piet kepada koperasi-koperasi fiktif. Lembaga swadaya dan panitia DPRD yang mengecek ke lapangan menemukan banyak nama koperasi yang tak ada di alamat yang dicantumkan. Kalaupun ada, hanya beroperasi sebentar.

Koperasi Payu Lembah sudah berhenti begitu menerima uang. Dalam proposal pengajuannya, koperasi itu bergerak di bidang percetakan. Nyatanya, koperasi itu sudah suwung dan tak ada pengurusnya. Apalagi Jani sudah meninggalkan Payu Lembah sejak ia menjadi legislator pada 2008. "Tak ada kegiatan lagi di koperasi itu," ujar Fadhli Husein, warga Poso yang rumahnya tujuh langkah dari Payu Lembah.

Belum lagi soal penyimpanan dana Rp 58 miliar yang ditampung di rekening pejabat Poso di Bank BNI, bukan di rekening pemerintah kabupaten. Atau pembangunan pasar, sawah, dan irigasi yang dibuat asal-asalan. Pasar di kecamatan dan perdesaan tak bisa dipakai karena bangunannya sudah roboh. Juga proyek pengadaan perlengkapan petugas Hansip yang tanpa tender.

Total jenderal, DPRD dan lembaga swadaya masyarakat menyimpulkan ada Rp 30 miliar, lebih dari separuh dana konflik Poso, yang diselewengkan atau tak sampai ke tangan masyarakat untuk menata kembali hidup mereka pasca-kerusuhan.

DPRD sudah berupaya memanggil Piet agar menjelaskan kekisruhan penyaluran dana bantuan pemulihan pascakonflik itu. Alih-alih memenuhi undangan DPRD, Bupati Piet hanya mengutus asistennya membacakan surat jawaban dalam sidang DPRD. Piet beralasan ia tak perlu melaporkan pemakaian dana pascakonflik karena duit itu dikucurkan dari pusat. Pertanggungjawabannya pun, kata dia, mesti ke pusat.

Belakangan, ia malah memerintahkan semua pejabat Poso tak hadir jika diundang rapat oleh DPRD. Menurut Rudolf, pemanggilan bupati itu hanya menjalankan fungsi pengawasan. "Sebab, kalau DPRD tak terlibat sejak awal, tak ada kontrol pada pemakaian dana itu," ucapnya. Itu terbukti saat panitia DPRD turun menelisik.

Kepada Tempo, Piet beralasan ia tak mau datang ke DPRD karena menuduh para legislator punya motif politik untuk menjungkalkannya. "Mereka kalah dalam pemilihan, jadi melapor ke sana-kemari," ujar bupati yang terpilih pada 2005 dan menjabat lagi untuk periode 2010-2015 ini. Ia tak peduli dituduh menyelewengkan dana pemulihan pascakonflik Rp 30 miliar. "Sekali lagi, itu gerakan politik."

Dengan bukti yang seterang itu, kata Rinaldy, semestinya ada penegak hukum yang menyelidiki dugaan korupsi ini. Masalahnya, Rudolf, yang memimpin panitia khusus, tak melaporkan temuan mereka ke polisi setempat. "Kami tak percaya mereka," kata politikus Partai Pelopor ini. Tapi KPK yang diharapkan mengusut kasus ini belum menindaklanjutinya.

Juru bicara KPK, Johan Budi S. Prabowo, mengatakan lembaganya tak menyelidiki dugaan korupsi dana pemulihan konflik itu karena kasus ini sudah ditangani polisi dan jaksa di sana. "Jadi kami hanya mensupervisi kerja penegak hukum di Poso," ujarnya.

Penjelasan Johan itu memupus harapan Rinaldy dan Rudolf bahwa penyelewengan ini bisa dibuka seterang mungkin. Soalnya, penyelewengan dana pemulihan pascakonflik itu ikut menghambat pemulihan trauma masyarakat Poso, yang bertahun-tahun hidup dalam kerusuhan dan menaruh nyawa pada mata parang tetangga yang menganggapnya musuh. "Akar konflik ini adalah ketidakadilan," kata Rinaldy. Korupsi dana pemulihan membuat jurang kesenjangan di antara kelompok masyarakat itu kian menganga.

Maria Rita (Jakarta), Amar Burase (Poso), M. Darlis (Palu)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus