Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mengkritik pengusulan Soeharto sebagai kandidat penerima gelar pahlawan nasional. Kontras menyebut pengusulan itu merupakan upaya penghapusan sejarah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kami menilai usulan tersebut merupakan upaya penghapusan sejarah dan pemutihan terhadap kejahatan yang telah dilakukan oleh Soeharto,” kata Kepala Divisi Pemantauan Impunitas Kontras, Jane Rosalina Rumpia, kepada Tempo pada Jumat, 21 Maret 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mantan presiden kedua Indonesia itu, menurut Jane, telah melakukan berbagai jenis pelanggaran selama 32 tahun kepemimpinannya. Pelanggaran yang dimaksud mencakup kekerasan terhadap warga sipil, perusakan lingkungan, pelanggaran hak asasi manusia, kekerasan terhadap perempuan hingga praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Kontras berpendapat pengingkaran terhadap kemanusiaan dan demokrasi yang terjadi selama masa Orde Baru seharusnya menjadi pelajaran bagi bangsa Indonesia. “Indonesia tidak akan bisa melangkah maju menjadi lebih baik jika beban dan luka masa lalunya tidak pernah dituntaskan dan diperbaiki,” ujar Jane.
Kontras menilai Soeharto tidak memiliki integritas moral dan keteladanan, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. UU tersebut mengatur ketentuan tentang gelar pahlawan, termasuk syarat-syarat yang harus dipenuhi seseorang untuk mendapat gelar tersebut.
Oleh karena itu, Kontras mendesak agar Kementerian Sosial menjadikan rekam jejak Soeharto sebagai bahan pertimbangan untuk pemberian gelar pahlawan nasional.
Nama Soeharto dan sembilan kandidat pahlawan nasional lainnya tengah dirundingkan oleh Kementerian Sosial bersama Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP). Sepuluh orang yang diusulkan termasuk dua mantan presiden, Soeharto dan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Direktur Jenderal Pemberdayaan Sosial Kemensos Mira Riyati Kurniasih mengatakan dari sepuluh nama yang masuk, empat nama merupakan usulan baru, sedangkan enam nama lainnya telah diajukan dari tahun-tahun sebelumnya.
“Untuk tahun 2025, sampai dengan saat ini, memang sudah ada proposal yang masuk ke kami, itu ada sepuluh. Empat pengusulan baru, dan enam adalah pengusulan kembali di tahun-tahun sebelumnya,” kata Mira, dikutip dari keterangan tertulis pada Selasa, 18 Maret 2025.
Beberapa tokoh yang kembali diusulkan antara lain Gus Dur oleh Provinsi Jawa Timur, Soeharto oleh Jawa Tengah, Bisri Sansuri oleh Jawa Timur, Idrus bin Salim Al-Jufri oleh Sulawesi Tengah, Teuku Abdul Hamid Azwar oleh Aceh, dan Abbas Abdul Jamil oleh Jawa Barat.
Sementara itu, empat nama baru yang diusulkan tahun ini yakni Anak Agung Gede Anom Mudita oleh Provinsi Bali, Deman Tende oleh Sulawesi Barat, Midian Sirait oleh Sumatera Utara, dan Yusuf Hasim oleh Jawa Timur.
Adapun pahlawan nasional adalah gelar yang diberikan kepada warga negara Indonesia atau seseorang yang berjuang melawan penjajahan di wilayah yang sekarang merupakan Indonesia. Ia yang menerima gelar pahlawan nasional harus telah gugur atau meninggal demi membela negara, atau semasa hidupnya melakukan tindakan kepahlawanan maupun menghasilkan “prestasi dan karya yang luar biasa” bagi pembangunan dan kemajuan Indonesia.
Untuk memperoleh gelar pahlawan nasional, tanda jasa, dan tanda kehormatan, seseorang harus memenuhi beberapa syarat umum dan syarat khusus. Beberapa di antaranya yakni memiliki integritas moral dan keteladanan, berjasa terhadap bangsa dan negara, berkelakuan baik, setia, serta tidak mengkhianati bangsa dan negara.