Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pasal 103 Peraturan Pemerintah Nomor 28 th 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan terkait pemberian kontrasepsi untuk remaja menuai kontroversi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo dan Juru Bicara Kementerian Kesehatan atau Kemenkes Mohammad Syahril memberikan tanggapan terkait kontrasepsi di PP tersebut.
BKKN: Harus tepat sasaran
Hasto menegaskan bahwa pemberian alat kontrasepsi harus tepat sasaran. "Remaja yang menjelang nikah harus ingat, dalam undang-undang itu diperbolehkan membeli alat kontrasepsi pada anak umur 15-17 asalkan sudah menikah. Oleh karena itu, yang diberikan alat kontrasepsi jangan yang masih SMP dan belum menikah," ujar Hasto dalam keterangan resmi di Jakarta, Rabu, 7 Agustus 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia menegaskan, pembelian alat kontrasepsi juga mesti sesuai dengan norma agama. "Yang diperbolehkan beli alat kontrasepsi sebetulnya harus disesuaikan dengan norma agama juga. Kalau mau menikah, harus berjanji sebelum sah jangan melakukan hubungan seksual," ucapnya.
Selain itu, berhubungan dengan peningkatan kualitas remaja agar mereka terhindar dari zina, Hasto juga mengingatkan orang tua agar mendidik anak sesuai zamannya.
"Didiklah anak sesuai zamannya karena anak tidak dilahirkan di zamanmu. Itu arahan para ulama yang saya kutip. Maka kita yang menyesuaikan, bukan anak-anak kita yang menyesuaikan dengan kita," paparnya.
Ia juga mengemukakan pentingnya mempersiapkan pernikahan untuk menjaga kualitas perempuan dan bayi di 1.000 hari pertama kehidupan (usia 0-2 tahun).
Selain itu, ia juga mengingatkan para calon pengantin agar mengonsumsi makanan bergizi seimbang.
"Daging sapi dan lele, lebih baik lele karena protein lele lebih tinggi dari daging sapi. Omega tiga dan DHA-nya lebih tinggi dari daging sapi yang mengandung lemak jenuh. Ingat ya, semua ikan sangat baik," katanya.
Hasto juga mengingatkan bahwa calon pengantin harus belajar dan memperhatikan panjang badan anak.
"Nanti kalau punya anak usia tiga tahun gendut, jangan gembira kalau panjang atau tingginya tidak sesuai dengan umur," ucap Hasto.
Ia juga berpesan agar para perempuan tidak melakukan hubungan seksual saat menstruasi.
"Kalau masih menstruasi lalu hubungan seks, pada saat kontraksi puncaknya darah menstruasi itu akan naik kembali. Kalau sebelum nikah menstruasinya tidak sakit dan setelah menikah menjadi sakit, jangan-jangan Anda sudah pernah hubungan seks padahal menstruasinya belum bersih," paparnya.
Ia melanjutkan, ada alasan mengapa agama Islam melarang saat nifas (40 hari setelah melahirkan) tidak boleh berhubungan seksual.
"Ternyata cukup jelas alasannya, akan menimbulkan penyakit, salah satunya endometriosis (pertumbuhan jaringan yang tidak normal di dinding rahim)," tuturnya.
Kemenkes: Hanya untuk remaja yang sudah menikah
Sebelumnya, Syahril menjelaskan edukasi terkait kesehatan reproduksi termasuk juga penggunaan kontrasepsi. Namun penyediaan alat kontrasepsi tidak ditujukan untuk semua remaja, melainkan hanya diperuntukkan bagi remaja yang sudah menikah dengan tujuan menunda kehamilan ketika calon ibu belum siap karena masalah ekonomi atau kesehatan.
“Jadi, penyediaan alat kontrasepsi itu hanya diberikan kepada remaja yang sudah menikah untuk dapat menunda kehamilan hingga umur yang aman untuk hamil,” kata Syahril dikutip dalam keterangan resmi, Selasa, 6 Agustus 2024.
Menurut Syahril, pernikahan dini akan meningkatkan risiko kematian ibu dan anak. Risiko anak yang dilahirkan akan menjadi stunting juga sangat tinggi.
Sesuai dengan ketentuan dalam PP tersebut, sasaran utama pelayanan alat kontrasepsi adalah pasangan usia subur dan kelompok usia subur yang berisiko. Dengan demikian, penyediaan alat kontrasepsi tidak akan ditujukan kepada semua remaja.
Syahril menambahkan agar masyarakat tidak salah persepsi dalam menginterpretasikan PP tersebut, dan aturan itu akan diperjelas dalam rancangan Peraturan Menteri Kesehatan sebagai aturan turunan dari PP tersebut.
Aturan turunan tersebut juga akan memperjelas mengenai pemberian edukasi tentang keluarga berencana bagi anak usia sekolah dan remaja yang akan disesuaikan dengan tahapan perkembangan dan usia anak.
Presiden Joko Widodo sebelumnya mengatur ketentuan pemberian alat kontrasepsi bagi siswa dan remaja. Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah No 28 Tahun 2024 terkait pelaksanaan Undang-Undang No 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
Pasal 103 menyebut soal upaya kesehatan sistem reproduksi anak sekolah. Anak usia sekolah dan remaja diwajibkan mendapat edukasi Kesehatan reproduksi mulai dari mengetahui sistem, fungsi, hingga proses reproduksi.
Selain itu, anak usia sekolah dan remaja juga diminta mendapatkan edukasi mengenai perilaku seksual berisiko beserta akibatnya. Tidak hanya itu, anak dinilai penting mengetahui pentingnya keluarga berencana sampai kemampuan melindungi diri dari tindakan hubungan seksual atau mampu menolak ajakan tersebut, demikian bunyi ayat 2.
Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji, meminta pemerintah mencabut PP 28/2024 karena merusak masa depan anak. Peraturan ini jelas merusak masa depan anak-anak Indonesia.
Jika dipaksakan, mereka kian akan terpapar kekerasan seksual dan juga pornografi di lembaga pendidikan. Selain itu, aturan ini juga dibuat diam-diam dan tidak melibatkan publik secara luas.
"Padahal, beleid ini sangat terkait hajat hidup orang banyak, terutama orang tua dan anak-anak usia sekolah," kata Ubaid.
Ubaid juga menolak penyediaan alat kontrasepsi pada anak di sekolah. Menurut Ubaid, mereka membutuhkan edukasi pendidikan kesehatan reproduksi, bukan kebutuhan alat kontrasepsi.
HENDRIK YAPUTRA | ANTARA