DARI hari ke hari semakin banyak para kerabat terkena stroke. Akibatnya selalu fatal dan menyedihkan. Pendarahan di otak ini umumnya berlanjut dengan kelumpuhan separuh tubuh. Mungkin pula hilangnya kemampuan bicara. Dan bukan mustahil hilangnya daya ingat, sehingga si penderita tidak lagi mengenali keluarganya sendiri. Pangkalnya sebuah kejadian yaitu pecahnya pembuluh darah di otak. Atau munculnya gangguan aliran darah ke otak secara dramatik, misalnya karena serangan jantung. Namun, akibatnya sangat luas. Otak mula-mula mengalami kekurangan oksigen. Selanjutnya, defisit zat asam ini akan merambat dan mematikan sejumlah sel otak. Sekali sel-sel otak ini mati -- bukan seperti sel pada jaringan lain yang senantiasa bisa pulih -- sel-sel otak akan mati secara permanen. Terapi pasca-stroke yang kita kenal sekarang ini hanya pengalihan fungsi kerja bagian otak yang rusak ke bagian yang masih baik. Kerusakan otaknya sendiri, sebab merambat sangat cepat, tidak bisa dicegah. Namun, kenyataan inilah yang justru kini sedang dipertanyakan para ahli: benarkah perambatan kerusakan otak itu tidak bisa dicegah? Pertemuan tahunan ahli saraf Amerika Serikat di Phoenix, awal November silam, melontarkan jawaban yang memberikan harapan. Perambatan kerusakan itu, kata mereka, sebenarnya bisa dicegah. Para ahli saraf di negara itu bahkan telah berhasil menyusun strategi baru untuk memblokir penjalaran kerusakan sel otak. Dalam pertemuan tadi, Dr. Justin Zevin dari University of California, San Diego, mengungkapkan bahwa sampai kini masih banyak dokter percaya, kerusakan sel-sel otak itu terjadi segera setelah otak mengalami kekurangan oksigen antara 4 dan 10 menit. Inilah dasarnya mengapa para dokter merasa tidak mungkin menyelamatkan sel-sel otak dari kerusakan. "Karena kejadiannya berlangsung sangat cepat, nyaris bersamaan dengan stroke sebagai manifestasinya," kata ahli saraf itu. Namun, kata Zevin, berbagai penelitian baru menunjukkan bahwa kerusakan sel-sel otak itu sebenarnya terjadi dalam beberapa tahap. Tidak sekaligus. Zevin membenarkan, kematian sel-sel otak di sekitar titik cedera (daerah pecahnya pembuluh, misalnya) memang segera terjadi karena kekurangan oksigen. Cuma, perambatan kerusakan ke sel-sel lain berlangsung lebih lambat -- atau beberapa jam kemudian. Perambatan selama beberapa jam itulah yang kemudian disepakati para ahli sebagai peluang mengatasi akibat stroke. Dalam arti kematian sel otak harus dilokalisasikan sampai pada lingkaran yang sekecil mungkin. Usaha ini sangat penting. Sebab, berbagai akibat stroke yang fatal terjadi justru pada perambatan kerusakan yang beberapa jam itu. Dalam pertemuan di Phoenix itu, dibahas proses kematian sel-sel pada jangka waktu beberapa jam itu. "Sel-sel otak ini tidak mati secara pasif karena kekurangan oksigen," kata Dr. Dennis Choi dari Stanford University. Penjalaran kematian sel-sel itu terjadi karena reaksi berantai. Dalam kematian beruntun ini, mekanisme kerja sel-sel otak sendiri secara aktif terlibat dalam "pembunuhan" tersebut. Mekanisme kerja saraf yang dimaksud Choi adalah aktivitas instalasi saraf yang mengikuti mekanisme elektro statis. Loncatan listrik dalam sistem ini berawal pada reaksi kimia (berbentuk reaksi ion) pada sel-sel saraf di otak. Reaksi itu persisnya terjadi pada jarak kecil di antara dua sel yang disebut synapse. Di sinilah terdapat senyawa kimia (disebut neurotransmiter) yang memungkinkan terjadinya reaksi ion. Semua senyawa kimia pada sistem saraf, menurut Choi, terlibat pula dalam menimbulkan kematian sel-sel otak akibat stroke. Namun, yang paling bertanggung jawab adalah senyawa glutamat. Dalam kondisi normal, glutamat diekskresikan sel saraf untuk memancing loncatan listrik. Glutamat ini ditembakkan dari satu sel ke sel lain menyeberangi synapse. Sel yang dituju, akibat berbagai reaksi, terangsang dan karena itu melepaskan ion kalsium. Loncatan listrik kemudian terjadi. Dalam penelitian itu, terungkap bahwa glutamat memang memiliki kemampuan luar biasa dalam merangsang sel. Depositnya terbatas dan selalu diekskresikan dalam jumlah sangat sedikit. Namun, ketika sel-sel mengalami kerusakan karena kekurangan oksigen (setelah stroke) glutamat lepas dalam jumlah banyak dan tak terkendali. Glutamat liar ini lalu menimbulkan reaksi berantai pada sel-sel lain dan terungkap mematikan jutaan sel otak. Maka, strategi baru mengatasi akibat stroke yang dikemukakan di pertemuan Phoenix itu adalah bagaimana memblokir aktivitas glutamat yang tak terkendali, ketika dilepakan, dan juga reaksi-reaksinya. Para peneliti menemukan, terdapat senyawa kimia di otak, adenosine, yang fungsinya memblokir glutamat. Karena itu, para peneliti mencari cara untuk meningkatkan jumlah adenosine ini. Mereka kemudian menemukan obat idozoxan yang mempunyai kemampuan meningkatkan jumlah adenosine dalam sel. Pemberian obat ini dengan sendirinya berarti memblokir glutamat. Langkah selanjutnya adalah mencegah akibat rangsangan glutamat di suatu sel. Targetnya yaitu agar sel ini tidak melepaskan ion kalsium. Sejumlah obat ditemukan efektif melakukan tugas ini. Di antaranya, MK 801 buatan Merck, CGS 9755 buatan Ciba Geigy, dan Dextromethorphan buatan La Roche. Dextromethorphan ini dikenal sebagai salah satu elemen obat batuk Robitussin. Lebih lanjut lagi, para peneliti berusaha mencari penangkal untuk mencegah reaksi berantai sesudah ion kalsium dilepaskan. Blokade ini adalah menghambat ekskresi sejumlah enzim yang bisa merusakkan membran sel-sel saraf. Sebuah obat percobaan, GM1, kini sedang dites kemampuannya dalam menghambat ion kalsium agar tidak memancing enzim-enzim yang merusak membran itu. Seberapa jauh strategi ini terkategori praktis untuk terapi? Para peneliti di pertemuan Phoenix itu mengungkapkan: sudah mereka uji pada binatang. Ternyata, bila pencegahan dimulai 5 menit setelah stroke, maka kerusakan otak itu bisa ditekan sampai 72%. Tahun depan mereka akan mencobanya pada manusia. Kalau hasil yang sama bisa tercapai, inilah kemenangan besar menghadapi akibat fatal stroke. Jim Supangkat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini