"KOMITMEN NU ada pada perjuangan, bukan pada corak pemerintahan tertentu. Mau dinamai apa saja, Orde Kuno atau Orde Modern, bagi NU tidak ada bedanya!" seru Abdurrachman Wahid. Serta merta sekitar 5.000 pengunjung peringatan 22 tahun meninggalnya Bung Karno di Blitar, Sabtu pekan lalu, yang mendengarkan pidato Ketua Umum PB NU itu menjawab dengan gegap gempita: "Cocok!" Hadir dalam acara itu, antara lain Ketua Umum DPP PDI Soerjadi, dua bekas Ketua Umum HMI, Dahlan Ranuwihardjo dan Ridwan Saidi, serta anakanak Bung Karno, seperti Megawati, Rahmawati, Sukmawati, dan Guruh. Semula, acara peringatan wafatnya Presiden pertama RI itu mau diramaikan dengan diskusi buku Bung Karno dalam Pergulatan Pemikiran terbitan Pustaka Simponi, Jakarta. Namun, ketika diskusi dengan narasumber, seperti bekas tokoh Partai Sosialis Indonesia, Soebadio Sastrosatomo, Dahlan Ranuwihardjo, dan Ridwan Saidi baru berlangsung selama 10 menit, pihak Polres Blitar minta Soekartini, pemangku dalem keluarga Soekarno menghentikan acara tersebut dengan alasan tidak ada izin. Tapi, acara peringatan wafatnya Bung Karno tetap berjalan meriah, bahkan penuh yelyel para pengunjung, dan seperti biasa, beberapa diselingi ejekan terhadap aparat pemerintah. Mengenai alasan Yayasan Pendidikan Soekarno mengundang Gus Dur, menurut Rahmawati, karena "Adanya korelasi pandangan Gus Dur dan kami dalam Pancasila dan UUD 45, yaitu dalam pemikiran demokrasi." Tak heran bila dalam pidatonya Gus Dur lebih banyak bicara soal konsep persatuan yang ditekankan Bung Karno pada masa pemerintahannya. Ia memberikan contoh bagaimana Bung Karno mendorong Tan Malaka, yang atheis, untuk berdialog dengan ulama NU, A. Wahid Hasyim. "Wong yang tak bertuhan saja disuruh berdialog, apalagi yang sesama bertuhan," katanya. Gus Dur juga mengingatkan kembali bahwa NU pernah memberikan gelar Waliyul Amri (Pemimpin Negara) kepada Bung Karno sebagai komitmen NU kepada cita-cita Almarhum dalam mendirikan negara. Pidato sambutan Rachmawati tak kalah seru. Ketua Yayasan Pendidikan Soekarno itu bicara tentang upah minimum buruh sampai soal utang luar negeri Indonesia. "Dengan utang yang sudah mencapai US$ 78 milyar, yang berarti sekitar 35 kali utang Orde Lama, mestinya bisa membebaskan biayabiaya pendidikan," katanya. Rachma menambahkan, pada masa pemerintahan Bung Karno, yang meninggalkan utang sebesar US$ 2 milyar, uang sekolah hingga keperluan pendidikan sekolah "Hampirhampir tidak menjadi beban keluarga." Sekalipun demikian, lanjut Rachma, toh Bung Karno selama "Bertahuntahun dicacimaki dan difitnah sebagai koruptor dengan menghamburhamburkan uang negara." Pengunjung makin gemuruh menyambut katakata Rachmawati. Hanya saja Rachma tak membandingkan jumlah mereka yang duduk di bangku sekolah pada masa itu, sehingga bisa dibebaskan dari macammacam iuran. Sementara itu, Ketua Umum DPP PDI, Soerjadi, yang malam itu mengenakan peci hitam dan gamis putih, mengatakan bahwa ia hadir karena ingin ikut berdoa untuk Almarhum Bung Karno. Bukan karena PDI? "Lo, haul kok ada kaitannya dengan PDI," katanya. Siapa tahu. Kelik M. Nugroho (Blitar) dan LSC
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini