BENTUK protes buruh tak hanya demonstrasi. Pada pemilu kemarin, buruh pabrik rokok punya cara protes sendiri: tidak menusuk Golkar. Hasilnya, hampir di semua pabrik rokok di Pulau Jawa, perolehan suara Golkar turun. Bahkan, di banyak tempat di sekitar pabrik, Golkar dikalahkan PPP dan PDI. Apa yang diprotes buruh pabrik rokok itu? Tentu saja soal Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC). Badan yang dipimpin Hutomo Mandala Putra ini dianggap mereka sebagai penyebab menurunnya tingkat pendapatan buruh pabrik rokok. Akibat mahalnya harga cengkeh asal BPPC, hampir semua pabrik rokok menurunkan jumlah produksinya. Pabrik rokok Retjo Pentung, Tulungagung, misalnya, kini hanya melinting 1,6 juta batang rokok sehari turun 1 juta batang dibandingkan sebelum hadirnya BPPC. "Dulu buruh bekerja enam hari seminggu, sekarang hanya lima hari," kata Mukholik, Ketua SPSI unit Retjo Pentung. Lebih parah lagi, sejak Februari lalu, pabrik Retjo Pentung, yang berdiri sejak 1946, sudah memecat 1.700 buruhnya, dan mengalami degradasi dari pabrik rokok kelas menengah jadi perusahaan kecil. Maka, ketika kenaikan gaji yang dijanjikan dibayar April lalu gagal diwujudkan, sasaran kemarahan buruh bukan kepada pabrik dan majikan, tapi pada Golkar, yang mereka anggap punya andil melahirkan BPPC. "Walau BPPC bukan Golkar, semua orang tahu siapa yang berdiri di belakangnya," kata seorang karyawan Retjo Pentung. Alhasil, di dua tempat pemungutan suara (TPS) pabrik Retjo Pentung, Golkar kalah telak oleh PDI, yang selama kampanye rajin meniupkan isu monopoli cengkeh. Di Desa Jepun, tempat pabrik itu berdiri, PDI mencatat kenaikan suara hampir 100%, dan tentu saja mengalahkan Golkar. Padahal, pada Pemilu 1987, ketika Soemiran, bos Retjo Pentung, menganjurkan menusuk tanda gambar Beringin, hampir 100% buruhnya mengikuti anjuran itu. Di Desa Semampir, Kediri, tempat markas Gudang Garam berdiri, suara Golkar juga melorot. Dari 18 TPS di sekitar pabrik rokok raksasa itu, suara Golkar turun 23% dibandingkan Pemilu 1987. Sedangkan PDI melonjak jadi 40%. Sumber TEMPO di Semampir juga mengaitkan "jatuhnya" Golkar dengan isu BPPC yang ramai dilayangkan dari panggung kampanye PDI. Barangkali isu BPPC memang isu paling "laku" dijual jurkam OPP di kalangan buruh pabrik rokok lebih-lebih di pabrik GG. Sebab, dalam "perang" antara GG dan BPPC antara lain soal bukti pembelian cengkeh dan pita cukai, Desember lalu sekitar 32.000 buruh terpaksa diliburkan empat hari. Itu berarti selama empat hari buruh lepas tak mendapatkan uang sepeser pun. Tak heran bila pada masa kampanye lalu beredar isu tentang tawaran GG pada PDI untuk "menyuarakan" soal BPPC dengan imbalan jurkam partai Banteng itu bisa memanfaatkan helikopter perusahaan tersebut untuk berkampanye, dan juga bantuan sejumlah dana. Isu GG mendukung kemenangan PDI itu dibantah pabrik rokok terbesar di Indonesia tersebut. "Perusahaan memang memberikan sumbangan pada PDI, tapi Golkar dan PPP pun juga dibantu Gudang Garam," kata Don Bosco, staf humas GG. Ia tak menyebutkan besar bantuan untuk ketiga kontestan itu, serta tak pernah mengimbau buruh GG memilih kontestan tertentu. Golkar juga kalah di 41 TPS yang tersebar di sekitar pabrik rokok Djarum, Kudus. Manajemen pabrik rokok kedua terbesar di Indonesia ini sebenarnya sudah "berusaha" untuk memenangkan Golkar. Caranya, dengan menyuruh buruhnya mencoblos di pabrik. Namun, kata sebuah sumber di manajemen Djarum, karyawan Djarum gagal mendapatkan formulir AB di desanya, sehingga sebagian besar mencoblos di desanya. Dari 29.000 buruh Djarum, hanya sekitar 2.500 orang yang mencoblos dengan formulir AB (dipakai untuk pindah tempat pencoblosan) di pabrik. Di lingkungan pabrik rokok Nojorono, juga di Kudus, Golkar pun kalah dari PPP atau PDI. Di Nojorono, urusan upah buruh yang jadi ganjalan. "Masa, upah saya hanya naik Rp 10. Apakah ini yang digembargemborkan Golkar bahwa mereka memperjuangkan kesejahteraan pekerja?" kata seorang buruh giling Nojorono. Sejak 1 Juni lalu, ada kesepakatan antara persatuan induk pabrik rokok dengan SPSI Kudus untuk menaikkan upah buruh giling dari Rp 775 jadi Rp 785 per 1.000 batang rokok. Amirin Sundoro, Ketua DPD II Golkar Kudus, juga menganalisa hadirnya BPPC sebagai hal yang ikut mempengaruhi penurunan suara Golkar. Ini suatu bukti bahwa buruh makin penting diperhatikan, dan tak bisa lagi sekadar diimingimingi dengan kaus atau jatah beras. Toriq Hadad (Jakarta), Bandelan Amarudin (Kudus), Andi Reza Rohadian (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini