Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Komisi Pemilihan Umum atau Ketua KPU Hasyim Asy'ari diputuskan oleh DKPP atau Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu melanggar etik dalam menerima pendaftaran Gibran Rakabuming Raka yang didaftarkan sebagai calon wakil presiden dan mengikuti Pilpres 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"(Para teradu) terbukti melakukan pelanggaran kode etik pedoman perilaku penyelenggara pemilu," kata majelis hakim, yang dipimpin Ketua DKPP Heddy Lugito yang disiarkan dalan YouTube DKKP, Senin, 5 Februari 2024.
Sejarah DKPP
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) bermula dari pembentukan Dewan Kehormatan Komisi Pemilihan Umum (DK-KPU), yang didirikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum untuk Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. DK-KPU awalnya bersifat sementara (ad-hoc) dan merupakan bagian dari Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Fungsi DK-KPU adalah memeriksa keluhan dan/atau laporan mengenai dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh anggota KPU dan anggota KPU Provinsi. Untuk kasus pelanggaran kode etik yang melibatkan anggota KPU Kabupaten/Kota, dibentuk DK-KPU Provinsi.
Pada 12 Juni 2012, DK-KPU resmi berubah status menjadi Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. DKPP menjadi sebuah lembaga permanen dengan struktur kelembagaan yang lebih profesional, dan memiliki tugas, fungsi, serta kewenangan yang mencakup semua tingkatan penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu) dari tingkat pusat hingga tingkat kelurahan/desa. Anggota DKPP dipilih dari berbagai lapisan masyarakat yang memiliki keahlian profesional di bidang pemilihan umum, dan bertugas selama periode lima tahun dengan satu perwakilan (ex officio) dari anggota aktif KPU dan Bawaslu masing-masing.
Pada 2017, melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, DKPP mendapatkan penguatan khusus terkait sekretariatnya. Di bawah UU Nomor 15 Tahun 2011, sekretariat DKPP dibantu oleh Sekretaris Jenderal Bawaslu. Namun, UU Nomor 7 Tahun 2017 menetapkan bahwa sekretariat DKPP akan dipimpin langsung oleh seorang Sekretaris. Selain itu, UU ini juga mengamanatkan pembentukan Tim Pemeriksa Daerah (TPD), yang sebelumnya hanya dibentuk melalui peraturan DKPP, menjadi diatur secara resmi melalui undang-undang, meskipun tetap bersifat ad hoc. TPD bertugas sebagai hakim di daerah untuk membantu dan/atau mendampingi anggota DKPP dalam melakukan pemeriksaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu di tingkat daerah.
Kelembagaan DKPP
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menyatakan bahwa lembaga yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan Pemilu terdiri dari Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, yang berfungsi secara kesatuan untuk menyelenggarakan Pemilu. Tujuan utama penyelenggaraan Pemilu adalah untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah melalui pemilihan langsung oleh rakyat (Pasal 1 ayat (7)). Selanjutnya, Pasal 1 ayat (24) menjelaskan bahwa Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) adalah lembaga yang memiliki tugas khusus dalam menangani pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Penyelenggara Pemilu.
Tugas DKPP
Dalam Pasal 156 ayat 1 UU Pemilu, disebutkan bahwa tugas DKPP adalah sebagai berikut:
1. Menerima aduan dan/atau laporan dugaan adanya pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Penyelenggara Pemilu; dan
2. Melakukan penyelidikan dan verifikasi, serta pemeriksaan atas aduan dan/atau laporan dugaan adanya pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Penyelenggara Pemilu.
Kewenangan DKPP
1. Memanggil Penyelenggara Pemilu yang diduga melakukan pelanggaran kode etik untuk memberikan penjelasan dan pembelaan;
2. Memanggil pelapor, saksi, dan/atau pihak lain yang terkait untuk dimintai keterangan, termasuk untuk dimintai dokumen atau bukti lain;
3. Memberikan sanksi kepada Penyelenggara Pemilu yang terbukti melanggar kode etik; dan
4. emutus pelanggaran kode etik (Pasal 159 ayat (2).
Kewajiban DKPP
Dalam Pasal 195 ayat 3 UU Pemilu, kewajiban DKPP, antara lain:
1. Menerapkan prinsip menjaga keadilan, kemandirian, imparsialitas, dan transparansi;
2. Menegakkan kaidah atau norma etika yang berlaku bagi Penyelenggara Pemilu;
3. Bersikap netral, pasif, dan tidak memanfaatkan kasus yang timbul untuk popularitas pribadi; dan
4. Menyampaikan putusan kepada pihak terkait untuk ditindaklanjuti.
Sifat Keputusan DKPP
Putusan DKPP bersifat final dan mengikat (final and binding). Pada 2013, sifat putusan yang diatur sejak DKPP masih menggunakan UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu pernah di-judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK) oleh kelompok masyarakat sipil.
Hasilnya, melalui Putusan MK Nomor 31/PUU-XI/2013, MK memutuskan bahwa sifat final dan mengikat dari putusan DKPP haruslah dimaknai final dan mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, maupun Bawaslu dalam melaksanakan putusan DKPP.
DKPP.GO.ID
Pilihan editor: Timnas Amin Anggap Putusan Melanggar Etik Ketua KPU Catatan Hitam Demokrasi