ADA atau tidak ada devaluasi rupiah terhadap dollar, kursus
bahasa Inggris tetap laris. PPIA (Perhimpunan Persahabatan
Indonesia-Amerika, dahulu Lembaga Indonesia-Amerika), misalnya,
pertengahan bulan lalu mendapat 3.300 calon siswa baru. "Tapi
susah diketahui jumlah peminat sebenarnya," kata Aziz A.T.,
karyawan bagian Register PPIA. "Sebab penjualan formulir kami
batasi, dan setiap sali pendaftaran siswa baru selalu ada yang
tidak kebagian formulir."
Lain lagi di Oxford Course Indonesia (OCI) yang berdiri pada
1970. Di sini pendaftaran siswa baru dibuka setiap bulan, dan
menurut Bambang Marsono, direkturnya, tak kurang 500 orang
mendaftar tiap bulannya.
Tapi yang jelas krsus-kursus bahasa Inggris terus berkembang.
PPIA yang beroperasi sejak 1958 di Jalan Teuku Umar, pada 1975
pindah ke gedung milik sendiri berlantai empat di Jalan Pramuka.
Dan tahun lalu perhimpunan yang memiliki 11.500 siswa itu
membuka cabang di Jalan S. Parman, Jakarta. Sementara OCI di
Jakarta sendiri kini mempunyai 10 cabang dan 15 cabang lagi
tersebar di 10 kota di Jawa.
Memang kedua lembaga kursus Inggris itu terbilang terbesar. Tapi
kursus-kursus yang lain pun berkembang. Jakarta College,
misalnya, yang berdiri pada 1966, yang semula hanya memiliki
sebuah ruang kecil di kawasan Jalan Gunung Sahari, kini
mempunyai 10 lokal belajar dengan 3 ribu siswa.
PPIA Surabaya, yang berdiri sebelas tahun kemudian setelah yang
di Jakarta, kini memiliki sekitar 2 ribu siswa. Menurut Nicholas
Male, pimpinan PPIA Surabaya, sejak 1969 jumlah siswa selalu
naik 5%-7% tiap tahunnya. Dan tanpa menyebutkan jumlah, Kwat
Keng Pouw yang mendirikan kursus Inggris Pouw's College,
Bandung, mengaku peminat kursus Inggris di tempatnya pun selalu
berumbah.
Agaknya dorongan untuk menguasai bahasa Inggris, terutama untuk
conversation memang besar. Ada dugaan ini dikarenakan pelajaran
bahasa Inggris di sekolah menengah tidak mencapai hasil seperti
yang dirumuskan kurikulum (lihat box). Maka uang kursus yang
lumayan besar tak membuat peminat berkurang.
Di PPIA untuk tinekat dasar (ada enam uhap, tiap tahap lama
kursus 3 bulan) biaya Rp 30 ribu per tahap. Untuk tingkat Post
Intermediate dan Advance masing-masing diurik bayaran Rp 45
ribu. Dengan uang kursus sebesar itu PPIA mampu menggaji sekitar
280 pengajar dan pegawai administrasi. Pengajar menerima
honorarium antara Rp 2 ribu sampai Rp 4 ribu per jam mengajar.
Tak dijelaskan berapa omsetnya per tahun, yang jelas untuk
menyewa tempat kursus di Jalan S. Parman sejak September tahun
lalu saja, PPIA harus mengeluarkan sekitar Rp 4,5 juta per
bulannya.
Di OCI, dengan lama kursus untuk tiap tingkat selama 4 bulan,
per bulan siswa harus membayar Rp 6.500 untuk tingkat I III.
Untuk tingkat selanjutnya tarif itu naik menjadi Rp 8 ribu
sampai Rp 12.500. Biaya kursus sebesar itu cukup untuk membayar
255 tenaga pengajar. Marliadi Wikaton, 25 tahun, berijazah dari
sebuah akademi bahasa asing di Bandung, telah 3 uhun mengajar di
OCI. "Honorarium saya cukup untuk hidup tenaga," kata bujangan
ini. Ia mengaku menerima lebih dari Rp 200 ribu per bulannya.
Para pengajar kursus itu rupanya betah dengan profesinya.
Soalnya, tak sedikit yang merangkap, menjadi pengajar di lebih
dari satu lembaga. "Banyak pengajar PPIA yang mengajar pula di
OCI," kata Bambang Marsono, direktur OCI. Agaknya bisnis kursus
bahasa Inggris kini mampu mandiri dan mampu memberikan
kesejahteraan yang relatif cukup bagi karyawannya.
Yang menarik sebuah lembaga kursus bahasa Inggris yang berdiri
pada 1973 di kawasan Mangga Besar, Jakarta. Executive Engish
Programs (EEP), lembaga itu, menjanjikan sebuah kursus yang
unik: di asrama di kompleks Evergreen, Puncak, Jawa Barat.
Lama kursus 3 minggu, dan selama tinggal di situ bahasa
sehari-hari diharuskan dengan bahasa Inggris. Pelajaran yang
resmi diberikan 8 jam per hari untuk 5 hari setiap minggunya
(Sabtu dan Minggu libur). Dan selama weekends peserta boleh
tetap tinggal di Puncak dengan sarana rekreasi seperti kolam
renang, lapangan tenis, tenis meja, dan voli. Dan boleh juga
berakhir minggu di Jakarta dengan transportasi yang disediakan
gratis.
EEP yang pasang iklan di majalah Time, memang menyedia an
fasilitas menarik: vdeo tape, film 8 mm, paket pelajaran sesuai
bidang masing-masing (ini disusun berdasar wawancara dengan
peserta), dan laboratorium bahasa. "Itu semua untuk
mengkonsentrasikan peserta betul-betul dalam suasana bahasa
Inggris," kata Tim Power, 35 tahun, salah seorang pengajar EEP.
"Kalau bisa, mimpi mereka pun dalam bahasa Inggris," tambah
Power yang berkebangsaan Inggris itu.
Hingga sekarang EEP tiap tahunnya menerima 500 peserta. Biasanya
mereka adalah karyawan hotel-hotel besar, perusahaan minyak, dan
bank. Beaya kursus untuk selama tiga minggu itu sebesar US$ 2475
atau sekitar Rp 2,4 juta. Ditanya tentang gaji pengajarnya, Tim
Power cuma tertawa. "Cukup, kalau tak cukup mana saya mau,"
katanya kepada TEMPO.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini