SEORANG ulama meninggal, ribuan orang melayat, tapi di luar
mereka hanya sedikit yang pernah mendengar namanya. Itulah KH
Endang Abdurrahman, ketua umum Persatuan Islam (Persis).
Organisasi yang namanya seperti nama perkumpulan sepak bola ini
adalah salah satu dari tiga grup yang biasanya disebut terutama
oleh para penulis Barat - "kelompok pembaru" dalam kehidupan
keagamaan di Indonesia. Dua yang lain adalah Muhammadiyah yang
besar, dan Al-Irsyad.
Persis sendiri memang kecil saja. Anggotanya hanya sekitar
100.000 atau lebih sedikit, dengan 86 cabang - 50 di Jawa Barat,
sisanya tersebar di Jawa, Sambas (Kal-Bar), dan sejak 1978,
Singapura dan Malaysia. Dan bila KH Endang Abdurrahman hampir
tidak dikenal, itu pun terasa layak untuk organisasi yang hampir
hanya peduli pada soal 'agama murni' ini. Tidak seperti
Muhammadiyah, Persis hampirhampir bukan ormas sosial. Dan tidak
seperti NU, Persis sama sekali lepas dari politik.
Padahal dalam Persis terdapat nama seperti KH Isa Anshari,
almarhum, yang di segi lain adalah tokoh Masyumi dan singa
odiumnya. Ia ketua umum yang digantican Abdurrahman. Di Bandung
juga dikenal muballigh Prof. Rusyad Nurdin, atau Endang
Saifuddin Anshari putra Isa Anshari. Dan jangan lupa M. Natsir.
Tokoh ini, yang juga pernah jadi ketua umum Persis, adalah salah
satu murid penting A. Hassan, almarhum, figur puncak Persis
sampai kini bersama para almarhum Isa Anshari, Prof. T.M. Hasbi
Ash-Shiddieqy (salah satu ahli figh terbesar di Indonesia, dan
penulis lebih 100 buku), KH Munawar Chalil, yang juga pengurus
Muhammadiyah Semarang, serta Abdurrahman sendiri.
Dari A. Hassan itulah, memag, nama Persis terkenal. Ia misalnya
terlibat dalam surat-menyurat dengan Soekarno waktu yang
terakhir itu dibuang ke Endeh. Soekarno banyak bicara - dan
mendebat soal-soal agama, di samping mengucapkan terima kasih
untuk kiriman jambu mede.
Calon presiden pertama RI itu, misalnya, menyatakan kecocokan
pada sikap Persis yang tak menyukai "penyembahan habib-habib
(keturunan Nabi)". Sebaliknya mempertanyakan keabsahan kebiasaan
memisahkan laki-laki dan perempuan dengan tabir, dalam
pengajian, maupun pembersihan bekas jilatan anjing enam kali
dengan air dan sekali dengan debu - kok tidak dengan sabun.
Dalam soal-soal seperti itu Persis memang keras - baik ketika
pro maupun ketika kontra. Prinsip ajarannya sih sebenarnya tak
beda dari Muhammadiyah: hanya berpegang pada Quran dan Hadis
sebagai sumber, menolak bid'ah dan taqlid (membebek), menghapus
semacam hirarki keagamaan antara ulama dan awam, dan berusaha
beragama seperti Nabi. Nama Persis sendin, satu-satunya nama
perkumpulan Islam di Indonesia yang bukan dari bahasa Arab,
tentulah sejalan dengan semangat "persis dengan aslinya".
Hanya Muhammadiyah kemudian lebih dikenal dengan usaha-usahanya
seperti rumah sakit dan poliklinik, banyaknya sekolah dan panti
asuhan. Mereka sendiri, pendiri maupun pimpinan, mayoritasnya
orang Jawa (dekat lingkungan Keraton lagi) yang pada dasarnya
"hanya kalau perlu" bersedia berdebat. Persis, sebaliknya,
justru menjadikan perdebatan sarana penyebaran paham: A. Hassan
populer di Bandung terutama lewat sarana ini.
Kebijaksanaan seperti itu terbukti membuka pikiran: keberagamaan
kalangan muda Bandung di kampus-kampus memancarkan semangat
Persis. Di sisi lain orang-orang pedesaan, setidaknya di
masa-masa kemarin, acap agak "ngeri" dengan Persis. Setidaknya
menganggap mereka "aneh": tak baca ushalli dan tak mengangkat
tangan untuk qunut dalam salat, tak ada azan, talqin maupun
tahlil waktu pemakaman, tak pakai makanan di rumah orang
kematian, juga selamatan apa pun, tak mau baca doa, wirid atau
Surat Yasin ramai-ramai, tak suka mencium tangan ulama, tak suka
Barzanji dan rebana, suka mencela orang yang pergi ke makam
"keramat", dan sebagian suka pakai dasi "seperti Belanda".
Itu juga "ciri Muhammadiyah", memang. Toh tidak berarti mereka
selalu sependapat.
Misalnya, dalam hal makanan yang diharamkan. Quran menentukan
hanya empat macam: bangkai, darah, babi, dan binatang yang
disembelih dengan nama selain Allah. Muhammadiyah menambahinya
dengan materi-materi lain yang disebut hadis. Tapi Persis tidak:
hadis-hadis itu bertentangan dengan Quran. Sebab Quran hanya
menyebut empat, dijelaskan di situhanya.Jadi selain yang empat,
boleh dimakan.
Tetapi sementara kesimpulan di atas (dimuat dalam Tafsir
Al-Furqan A. Hassan,) kelihatan tidak dirasa terlalu penting
untuk sengaja dipropagandakan, beda Muhammadiyah dan Persis
agaknya lebih kentara pada "gaya", atau sikap. Seperti
dituturkan Dedi Rahman, 29 tahun, si bungsu di antara sembilan
putra Abdurrahman yang hidup bila di sekolah Muhammadiyah
kadang-kadang siswi boleh berpakaian bebas, "di Persis memakai
kerudung bagi wanita adalah wajib". Juga peraturan ibadat
misalnya, lebih seragam di Persis (dari Pusat ke daerah)
dibanding di Muhammadiyah.
Sikap "tegas" seperti itu pula tercermin dari buku-buku A.
Hassan maupun majalah mereka yang pernah hidup, Pembela Islam.
Lewat itu organisasi ini mengilhami banyak orang, yang bukan
anggota, di unah air. Abudurrahman sendiri, misalnya, putra Kiai
Ghozali dari NU di Cianjur, tertarik kepada A. Hassan setelah
suatu hari menemukan bukunya. Pemuda itu, usai belajar di
Pesantren Al-I'anah Cianjur, mencoba ke Bandung sambil berda'wah
di dua keluarga pengusaha terkenal: Swarha dan Alkatiri. Di
Bandunglah ia menemukan buku-buku A. Hassan.
Kebetulan waktu itu di Bandung ada sekelompok pengusaha,
dipimpin Kiai Zamzam yang asal Palembang, yang mengadakan
perkumpulan pengajian. Perkumpulan itulah, di bawah Zamzam,
yang kemudian menjadi Persis - 1923, tiga tahun sebelum
berdirinya NU, dan 11 tahun setelah Muhammadiyah - sebagai
organisasi tabligh dan pendidikan. Tahun depannya barulah A.
Hassan pengusaha tekstil Surabaya itu, pindah ke Bandung. Dan
sejak itulah Persis, yang memang perkumpulan orang-orang
"pembaru", dipengaruhi ajaran Hassan.
Abdurrahman bergabung empat tahun kemudian. Dan rupanya ia
segera "dilatih": sering ditugasi menyusun jalan pikiran dan
jawaban bagi masalah yang akan diperdebatkan - sebuah keria yang
sangat memerlukan keahlian, tentu. Tak heran bila ketika Hassan
pindah ke Bangil, 17 tahun kemudian, dan mendirikan perguruan
lain di sana, ialah yang harus tampil dalam perdebatan.
KH Endang Abdurrahman, ulama yang tetap mengajar Tafsir, Ushul
Figh, Hadis, bahasa Arab dan Manthiq (Logika) di perguruan ini
suka berpakaian necis (jas, dasi, dan celana, tanpa kopiah).
Berpulang ke rahmatullah, 21 April di RS Hasan Sadikin Bandung,
dalam usia 71 tahun. Pengurus Harian Persis merencanakan 1 Mei
mendatang mengadakan sidang lengkap untuk memilih penggantinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini