Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Ulama dengan dalil dan dasi

Ketua umum Persatuan Islam (persis), k.h. endang abdurrahman, meninggal. Persis adalah kelompok pembaru dalam kehidupan keagamaan di Indonesia. (ag)

30 April 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG ulama meninggal, ribuan orang melayat, tapi di luar mereka hanya sedikit yang pernah mendengar namanya. Itulah KH Endang Abdurrahman, ketua umum Persatuan Islam (Persis). Organisasi yang namanya seperti nama perkumpulan sepak bola ini adalah salah satu dari tiga grup yang biasanya disebut terutama oleh para penulis Barat - "kelompok pembaru" dalam kehidupan keagamaan di Indonesia. Dua yang lain adalah Muhammadiyah yang besar, dan Al-Irsyad. Persis sendiri memang kecil saja. Anggotanya hanya sekitar 100.000 atau lebih sedikit, dengan 86 cabang - 50 di Jawa Barat, sisanya tersebar di Jawa, Sambas (Kal-Bar), dan sejak 1978, Singapura dan Malaysia. Dan bila KH Endang Abdurrahman hampir tidak dikenal, itu pun terasa layak untuk organisasi yang hampir hanya peduli pada soal 'agama murni' ini. Tidak seperti Muhammadiyah, Persis hampirhampir bukan ormas sosial. Dan tidak seperti NU, Persis sama sekali lepas dari politik. Padahal dalam Persis terdapat nama seperti KH Isa Anshari, almarhum, yang di segi lain adalah tokoh Masyumi dan singa odiumnya. Ia ketua umum yang digantican Abdurrahman. Di Bandung juga dikenal muballigh Prof. Rusyad Nurdin, atau Endang Saifuddin Anshari putra Isa Anshari. Dan jangan lupa M. Natsir. Tokoh ini, yang juga pernah jadi ketua umum Persis, adalah salah satu murid penting A. Hassan, almarhum, figur puncak Persis sampai kini bersama para almarhum Isa Anshari, Prof. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy (salah satu ahli figh terbesar di Indonesia, dan penulis lebih 100 buku), KH Munawar Chalil, yang juga pengurus Muhammadiyah Semarang, serta Abdurrahman sendiri. Dari A. Hassan itulah, memag, nama Persis terkenal. Ia misalnya terlibat dalam surat-menyurat dengan Soekarno waktu yang terakhir itu dibuang ke Endeh. Soekarno banyak bicara - dan mendebat soal-soal agama, di samping mengucapkan terima kasih untuk kiriman jambu mede. Calon presiden pertama RI itu, misalnya, menyatakan kecocokan pada sikap Persis yang tak menyukai "penyembahan habib-habib (keturunan Nabi)". Sebaliknya mempertanyakan keabsahan kebiasaan memisahkan laki-laki dan perempuan dengan tabir, dalam pengajian, maupun pembersihan bekas jilatan anjing enam kali dengan air dan sekali dengan debu - kok tidak dengan sabun. Dalam soal-soal seperti itu Persis memang keras - baik ketika pro maupun ketika kontra. Prinsip ajarannya sih sebenarnya tak beda dari Muhammadiyah: hanya berpegang pada Quran dan Hadis sebagai sumber, menolak bid'ah dan taqlid (membebek), menghapus semacam hirarki keagamaan antara ulama dan awam, dan berusaha beragama seperti Nabi. Nama Persis sendin, satu-satunya nama perkumpulan Islam di Indonesia yang bukan dari bahasa Arab, tentulah sejalan dengan semangat "persis dengan aslinya". Hanya Muhammadiyah kemudian lebih dikenal dengan usaha-usahanya seperti rumah sakit dan poliklinik, banyaknya sekolah dan panti asuhan. Mereka sendiri, pendiri maupun pimpinan, mayoritasnya orang Jawa (dekat lingkungan Keraton lagi) yang pada dasarnya "hanya kalau perlu" bersedia berdebat. Persis, sebaliknya, justru menjadikan perdebatan sarana penyebaran paham: A. Hassan populer di Bandung terutama lewat sarana ini. Kebijaksanaan seperti itu terbukti membuka pikiran: keberagamaan kalangan muda Bandung di kampus-kampus memancarkan semangat Persis. Di sisi lain orang-orang pedesaan, setidaknya di masa-masa kemarin, acap agak "ngeri" dengan Persis. Setidaknya menganggap mereka "aneh": tak baca ushalli dan tak mengangkat tangan untuk qunut dalam salat, tak ada azan, talqin maupun tahlil waktu pemakaman, tak pakai makanan di rumah orang kematian, juga selamatan apa pun, tak mau baca doa, wirid atau Surat Yasin ramai-ramai, tak suka mencium tangan ulama, tak suka Barzanji dan rebana, suka mencela orang yang pergi ke makam "keramat", dan sebagian suka pakai dasi "seperti Belanda". Itu juga "ciri Muhammadiyah", memang. Toh tidak berarti mereka selalu sependapat. Misalnya, dalam hal makanan yang diharamkan. Quran menentukan hanya empat macam: bangkai, darah, babi, dan binatang yang disembelih dengan nama selain Allah. Muhammadiyah menambahinya dengan materi-materi lain yang disebut hadis. Tapi Persis tidak: hadis-hadis itu bertentangan dengan Quran. Sebab Quran hanya menyebut empat, dijelaskan di situhanya.Jadi selain yang empat, boleh dimakan. Tetapi sementara kesimpulan di atas (dimuat dalam Tafsir Al-Furqan A. Hassan,) kelihatan tidak dirasa terlalu penting untuk sengaja dipropagandakan, beda Muhammadiyah dan Persis agaknya lebih kentara pada "gaya", atau sikap. Seperti dituturkan Dedi Rahman, 29 tahun, si bungsu di antara sembilan putra Abdurrahman yang hidup bila di sekolah Muhammadiyah kadang-kadang siswi boleh berpakaian bebas, "di Persis memakai kerudung bagi wanita adalah wajib". Juga peraturan ibadat misalnya, lebih seragam di Persis (dari Pusat ke daerah) dibanding di Muhammadiyah. Sikap "tegas" seperti itu pula tercermin dari buku-buku A. Hassan maupun majalah mereka yang pernah hidup, Pembela Islam. Lewat itu organisasi ini mengilhami banyak orang, yang bukan anggota, di unah air. Abudurrahman sendiri, misalnya, putra Kiai Ghozali dari NU di Cianjur, tertarik kepada A. Hassan setelah suatu hari menemukan bukunya. Pemuda itu, usai belajar di Pesantren Al-I'anah Cianjur, mencoba ke Bandung sambil berda'wah di dua keluarga pengusaha terkenal: Swarha dan Alkatiri. Di Bandunglah ia menemukan buku-buku A. Hassan. Kebetulan waktu itu di Bandung ada sekelompok pengusaha, dipimpin Kiai Zamzam yang asal Palembang, yang mengadakan perkumpulan pengajian. Perkumpulan itulah, di bawah Zamzam, yang kemudian menjadi Persis - 1923, tiga tahun sebelum berdirinya NU, dan 11 tahun setelah Muhammadiyah - sebagai organisasi tabligh dan pendidikan. Tahun depannya barulah A. Hassan pengusaha tekstil Surabaya itu, pindah ke Bandung. Dan sejak itulah Persis, yang memang perkumpulan orang-orang "pembaru", dipengaruhi ajaran Hassan. Abdurrahman bergabung empat tahun kemudian. Dan rupanya ia segera "dilatih": sering ditugasi menyusun jalan pikiran dan jawaban bagi masalah yang akan diperdebatkan - sebuah keria yang sangat memerlukan keahlian, tentu. Tak heran bila ketika Hassan pindah ke Bangil, 17 tahun kemudian, dan mendirikan perguruan lain di sana, ialah yang harus tampil dalam perdebatan. KH Endang Abdurrahman, ulama yang tetap mengajar Tafsir, Ushul Figh, Hadis, bahasa Arab dan Manthiq (Logika) di perguruan ini suka berpakaian necis (jas, dasi, dan celana, tanpa kopiah). Berpulang ke rahmatullah, 21 April di RS Hasan Sadikin Bandung, dalam usia 71 tahun. Pengurus Harian Persis merencanakan 1 Mei mendatang mengadakan sidang lengkap untuk memilih penggantinya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus