GEDUNG Eastern District Court of Virginia di 401 Courthouse Square, Alexandria, Negara Bagian Virginia, adalah bangunan yang indah. Dari luar, gedung pengadilan megah ini mirip perkantoran elite. Lantainya terbuat dari pualam kualitas tinggi. Dindingnya campuran antara lis kayu warna cokelat dan tembok krem. Desain ruangan dalamnya seperti hotel saja laiknya. Bedanya, semua orang dan barang yang masuk harus melewati pemeriksaan ketat. Kamera, tape, bahkan komputer genggam tidak boleh ditenteng masuk.
Di gedung itulah seorang warga negara Indonesia bernama Agus Budiman, 31 tahun, harus menghadapi sidang hearing kasus keimigrasian, Jumat pekan lalu. Namun, sebetulnya, menurut jaksa penuntut Steve Mellin dari kantor jaksa Virginia, pria kelahiran Banjarmasin, Kalimantan Selatan, ini terlibat dua kasus. Selain melanggar batas masa tinggal (overstay), Agus terlibat kasus kriminal, yaitu pemalsuan dokumen (ID fraud). Ini sidang yang kedua, setelah hearing pertama berlangsung Senin pekan silam.
Ruang sidang Agus berada di lantai 5, tepatnya di ruang 500. Di atas pintu masuk, dalam huruf balok berwarna emas, tertulis "US District Courtroom 500". Sidang dimulai pukul 10.40, terlambat sekitar sepuluh menit dari jadwal seharusnya. Di antara pengunjung sidang tampak empat orang staf Kedutaan Besar RI di AS, termasuk kepala konsuler Sukanto. Hadir pula wartawan Antara, Jawa Pos, CNN, pengacara Agus, Ivan Yacub, dan Achmad Faisal, adiknya.
Dari pintu masuk sebelah kanan hakim, terpisah dari kursi pendengar, Agus dikawal masuk dan langsung diminta duduk di tengah ruangan, sejajar dengan hakim. Wajah Agus, yang berbadan sedang dan berkacamata, tampak letih dan tegang. Rambut lurusnya terlihat sudah memanjang. Kumis dan jenggot pendeknya tumbuh kurang terurus. Kulitnya sawo matang. Dia mengenakan baju tahanan, sebuah terusan (overall) hijau. Di punggungnya tertulis "prisoner".
Sidang berjalan cepat, kurang-lebih sepuluh menit. Hakim Welton Curtis Sewell dari Eastern District Court of Virginia memutuskan untuk melanjutkan sidang Senin pekan ini. Alasannya, Agus belum punya pengacara untuk kasus kriminal. Pengacara yang diajukan sebelumnya, Ivan Yacub, hanya berwenang menangani kasus keimigrasian.
Fakta ini tentu saja mengejutkan. Soalnya, sebelum sidang berlangsung, Dino Patti Jalal, Kepala Bagian Politik KBRI di Washington, DC, memastikan bahwa Agus sudah punya pembela. Para petinggi di Jakarta pun telah menyatakan akan berusaha membantu Agus sebisanya. Rupanya, keputusan politik para pejabat tak terbukti hari ini. Dan Agus pun terpaksa kembali memperpanjang hari-harinya dalam kurungan, menunggu kepastian men-dapatkan pembela.
Agus Budiman adalah putra tertua dari lima bersaudara anak pasangan Abron Ishak A.A. dan Fatimah Abron, warga Tanjungduren, Jakarta Barat. Ia pernah belajar di Jerman dan meraih gelar diploma Ing. (seperti B.Sc. di Indonesia) dari jurusan arsitektur Fachhoschule, Hamburg.
Namanya membuat geger dan menyita perhatian para pejabat luar negeri, kehakiman, dan kepolisian setelah stasiun televisi Amerika Serikat, Fox News, dalam breaking news Senin pekan silam, menyebut-nyebut hubungannya dengan aksi terorisme 11 September. Menurut Fox, Agus dicurigai sebagai penghubung (contact) Muhammad Atta, salah satu pembajak pesawat yang menubruk World Trade Center dan Pentagon. Ia juga diduga membantu Muhammad bin Nasir Belfas—yang dalam dokumen Badan Penyelidik Federal (FBI) disebut sebagai penghubung Usamah bin Ladin—untuk mendapatkan kartu izin mengemudi palsu Negara Bagian Virginia.
Masih menurut Fox, Agus dan Belfas adalah dua di antara 370 nama yang dimasukkan ke daftar FBI sebagai orang yang diperiksa dalam investigasi kasus serangan teror 11 September. Keduanya datang ke Amerika Serikat dari Hamburg, Jerman, Oktober 2000.
Rupanya, kabar itu belum tentu benar. Ivan Yacub mengatakan bahwa kliennya sama sekali tidak berkaitan apalagi didakwa sebagai teroris. Agus hanya menghadapi kasus pelanggaran imigrasi dengan tuduhan overstay dengan visa turis dan bekerja tanpa izin. Dalam kasus kriminal, Agus dicurigai telah mendapatkan kartu identitas dari Negara Bagian Virginia, padahal dia tidak tinggal di sana. "Kalau benar pemerintah AS menganggap dia teroris, mereka akan mengajukan tuntutan (terorisme) itu. Dan nyatanya itu tidak dilakukan," Yacub menambahkan.
Yacub melihat berita yang berkembang itu tampaknya berasal dari bocoran yang menyebutkan bahwa FBI mengaitkan Agus dengan aksi teroris berdasarkan beberapa fakta. Ia pernah tinggal di Hamburg. Begitu juga Nasir dan Atta. Mereka juga pernah bersembahyang di masjid yang sama. Tapi mengaitkan mereka dalam satu hubungan jelas absurd. "Orang bisa satu masjid, tinggal di satu kota dengan teroris, tapi bukan teroris," kata Yacub. Kabar itu lalu dibesar-besarkan media lokal: seolah-olah Agus melakukan pelanggaran berat.
Yacub curiga, ini cara FBI untuk menakut-nakuti Agus agar mau "bernyanyi" tentang sesuatu yang mungkin sama sekali tak diketahuinya. Kalau menolak, dia akan dideportasi dan dihukum atas pelanggaran ID fraud. FBI melakukan tekanan karena sejumlah alasan. Salah satunya, mereka memang tengah memburu muslim yang dicurigai terlibat dengan aksi teroris. Agus kebetulan muslim. Klop. Di penjara bahkan ia terus menjalankan ibadah puasa (lihat Agus Budiman: "Saya Tidak Terlibat").
Itu berarti Agus sekadar korban dari fobia AS terhadap terorisme, seperti yang dikatakan oleh Yasir Bushnaq, koordinator Solidarity USA. Ini yayasan nirlaba yang didirikan setelah tragedi 11 September untuk membantu muslim di Amerika yang ditangkap oleh pemerintah setempat. Salah satu tugas yayasan ini adalah memonitor pelanggaran hak asasi manusia dan kebebasan sipil di kalangan muslim, Arab, dan komunitas Asia Selatan di AS.
Di mata Yasir, Agus hanyalah satu titik dari persoalan besar yang sedang berkembang di AS sekarang. Sejak peristiwa rontoknya menara kembar World Trade Center, FBI perlu memperlihatkan kepada masyarakat bahwa mereka bergerak menangkap orang-orang. "Nah, sekarang ini tidak kurang dari 1.200 orang muslim di AS, yang datang dari berbagai negara di dunia, mengalami hal yang sama dengan Agus. Mereka ditahan dengan alasan yang sangat kecil, hanya karena mereka berasal dari negara muslim," kata pria yang rajin mendampingi Faisal, adik Agus, mencari pengacara itu. Menurut dia, begitulah cara pemerintah AS mendesak, tidak cuma kepada Agus, tapi juga terhadap masyarakat dan pemerintah Indonesia.
Pendapat Yasir Bushnaq masuk akal. Soalnya, ada beberapa hal yang ganjil dari penangkapan Agus. Ia dijemput oleh petugas Immigration and Naturalization Services (INS) pada 30 Oktober 2001, sekitar pukul 22.00, di kediamannya di kawasan Landmark, Alexandria, Virginia. "Tapi mereka tak menunjukkan surat perintah penangkapan," kisah Faisal, adik Agus.
Padahal, sebelum malam penangkapan itu, mereka berdua telah diinterogasi oleh FBI. Agus bahkan telah dinyatakan lolos polygraph test (tes untuk mendeteksi kebohongan). "Mereka (petugas FBI) juga bilang, 'Kalian berdua telah dicek dan clear. Tidak ada sesuatu dengan kalian berdua. Beri tahu kami kalau ada apa-apa'," Faisal menambahkan. Toh, INS tetap melakukan penahanan.
Anehnya lagi, permohonan bond (jaminan dengan sesuatu agar tertuduh bisa ke luar tahanan) yang diajukan Yacub ditolak tanpa alasan. Padahal biasanya bond untuk kasus imigrasi selalu dikabulkan. Selain itu, setelah ditahan selama 19 hari oleh INS, Agus tiba-tiba dipindahkan ke tahanan FBI dengan dakwaan kriminal melakukan pemalsuan dokumen, ID fraud. Sidangnya pun terkesan dilakukan terburu-buru, sehingga Faisal tidak sempat hadir dalam hearing pertama Senin silam.
Di mata Yacub, kasus yang menimpa Agus sebetulnya tergolong pelanggaran ringan (minor). "Kita tidak membicarakan kematian seseorang di sini," katanya. Document fraud itu artinya mendapatkan ID Virginia, padahal sebenarnya pemohon tinggal di tempat lain. Dan praktek semacam ini sebetulnya lazim dilakukan imigran. Sudah bukan rahasia, Virginia merupakan tempat paling mudah untuk memperoleh ID. Seorang imigran, misalnya, bisa datang ke kantor Department of Motor Vehicles (semacam kantor polisi lalu-lintas di sini) bersama temannya yang sudah memiliki ID dan tinggal mengaku tinggal bersama. Dengan gampang, petugas juga akan mengeluarkan ID untuk yang bersangkutan.
Agus masih akan menjalani serangkaian sidang. Jika ia tidak bersalah, semestinya pemerintah Amerika segera melepaskannya. Jangan sampai Agus menjadi korban kepanikan Amerika yang memburu teroris yang melabrak WTC dan Pentagon.
Ahmad Fuadi (Washington), Wicaksono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini