BARISAN Dewan Pengurus Pusat (DPP) Golkar, di bawah Ketua Umumnya yang baru, Letjen. (Purn.) Wahono, Senin siang pekan ini berkunjung ke Bina Graha. Selain memperkenalkan diri kepada Presiden Soeharto, yang menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina, para pimpinan Golkar itu juga melaporkan keputusan Munas tempo hari, sekaligus menyampaikan program kerja lima tahun mendatang. Tapi barisan itu sebetulnya tak utuh benar. Empat orang, dari 45 pengurus terpilih, tak hadir. Kiai Haji Moch. Tarmoedji, salah seorang ketua, dikabarkan dirawat di rumah sakit. Wakil Bendahara Ny. Tuti S. Darsoyo sedang tugas ke Malaysia, seorang lainnya dinas ke Malaysia. Lantas, mengapa Ketua Departemen Tani dan Nelayan, Ir. Sartojo Prawirosurodjo, absen? Dari rumahnya, Senin malam pekan ini, TEMPO memperoleh kabar, yang bersangkutan telah seminggu menderia sakit. Tapi ada kabar lain. Anggota DPP hasil Kongres IV .Oktober lalu itu, kabarnya, tengah dalam pemeriksaan sehubungan dengan tuduhan yang serius: Sartojo tidak bersih diri. Kendati masih samar-samar, tuduhan itu sungguh tak main-main. Sartoo, 58 tahun, konon termasuk eksponen partai terlarang yang pernah menginap di rumah tahanan politik Guntur, Jakarta. Tuduhan itu tentu saja dibantah Sartojo ketika ditemui TEMPO tiga pekan silam. "Siapa yang bilang saya pernah ditahan di Guntur?" ujar alumnus Fakultas Pertanian UGM 1958 itu. Diakuinya, sebagai pejabat di Departemen Pertanian, sekitar 1966-1967 dia sempat menghadapi rongrongan, berupa tuduhan bahwa dia terlibat PKI. Cepat-cepat dia minta kliring dari pihak yang berwajib. Alhasil, "Saya dapat clearance dari Laksusda dan Pomdam," ujarnya. Karier Sartojo di Deptan berakhir pada 1974. Dia pensiun pada umur 44 tahun dengan jenjang pegawai tinggi. Namun, sejak setahun sebelumnya, dia aktif dalam HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia), fusi dari beberapa ormas tani. Sartojo ketika itu menjadi wakil dari unsur Pertani ormas tani dari PNI. Adalah bekas Menteri Transmigrasi Martono yang mempromosikan Sartojo menjadi Wakil Sekjen di HKTI. Ketika itu Martono sebagai formatur. "Saya melihat Sartojo mampu duduk sebagai pengurus," ujar Ketua HKTI sejak 1973 ini. Selanjutnya, hasil kerja formatur itu diserahkan ke Bakin untuk diskrining. "Ternyata, Bakin menyetujui bentuk organisasi maupun pengurusnya," tutur Martono. Kerja sama itu berlanjut hingga Martono menjabat Menteri Muda Transmigrasi (1978-1982) dan Menteri Transmigrasi (1982-1987). Saat itulah Sartojo dikenal sebagai kontraktor pembukaan lahan transmigrasi yang sukses. Jabatan di HKTI pun naik menjadi ketua, pada 1979. Kegiatan Sartojo di Golkar dimulai 12 tahun silam. Dia melangkah dari bawah mulai dari Karang Taruna, lantas ke DPD II Golkar Jakarta Selatan. Lantas pada SU MPR Maret silam, dia ikut bersidang, sebagai utusan golongan dari HKTI. Perjalanannya ternyata melejit, pada Munas Golkar buian lalu, dia terkatrol masuk DPP. Usai bertemu dengan Presiden, Ketua Umum Wahono memang menyinggung soal "bersih diri", yang dikatakan terkait dengan program konsolidasi Golkar, sebagaimana diamanatkan Munas tempo hari. Namun "DPP akan berpegang pada prinsip praduga tak bersalah," tutur Wahono kepada wartawan. Dalam pelaksanaannya, DPP bisa saja minta bantuan pemerintah, khususnya ABRI, untuk menciptakan bersih lingkungan dalam keluarga besar Golkar. Sementara itu Menko Polkam Sudomo belum bersedia memberikan tanggapan khusus untuk kasus Sartojo. Pokoknya, kata Sudomo, "Kalau ada laporan dari masyarakat, akan diteliti, kalau ternyata benar, ya, orang itu harus dikeluarkan."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini