POLITIK itu puisi. Ketika Richard Nixon mengatakan itu (ia seorang politikus, bukan seorang penyair), kita kira-kira tahu apa maksudnya. Puisi Nixon bukan berarti ekspresi kejujuran. Ia adalah sebuah upaya menggetarkan: sesuatu untuk membangkitkan gelora hati. Dengan politik, pernyataan-pernyataan tak usah cocok 100% dengan fakta, tapi seperti halnya puisi -- harus bisa mempesona. Politik memang sebuah usaha menggugah. Terutama ketika kampanye ramai, dan politikus datang dan pergi seperti sebuah sirkus keliling. Masyarakat yang punya hak suara diajak untuk "membeli" apa saja yang ditawarkan. Termasuk yang menjengkelkan. Tapi ternyata tak semua politikus bisa jadi "penyair". Seorang yang paling tak becus (dalam penilaian Nixon) adalah Dukakis. Di kancah para penyair, kata Nixon, "Dukakis adalah sebuah word-processor". Sebuah word-processor memang sesuatu yang mekanistis, tak punya inspirasi sendiri, dan juga tak punya rol untuk memberi inspirasi kepada orang lain. Ia mungkin sebuah otak yang piawai, tapi ia dingin. Ia berbicara kepada kita dengan bahasa yang sudah tertentu. Ia bisa berpidato dan tersenyum dan mencium pipi hayi, tapi ia tak punya showmanship. Barangkali Dukakis kalah karena itu. Saya tak tahu bagaimana dia sebenarnya. Saya bukan orang Amerika. Tapi ada yang rasanya belum terjawab di hadapan kekalahan politik sebuah word-processor sekalipun: jika rakyat, dalam menentukan pilihan politik mereka, hanya menyenangi ucapan-ucapan yang bergelora seperti umbul-umbul iklan, sejauh manakah demokrasi bisa dibenarkan? Pernah ada orang percaya bahwa perlombaan untuk kekuasaan politik di Amerika Serikat adalah pertandingan antarprogram kerja. Kini bagaimana kita bisa percaya ketika yang berlangsung adalah, kuranglebih, sebuah lomba penampilan pribadi? Orang terbawa untuk melihat tokoh kawan dan lawan dari segi yang paling menukik, termasuk tentang kegemaran seksualnya, tentang masa lalu di sekolahnya ketika ia nyontek, juga tentang caranya mengernyit dalam debat atau bersendawa sehabis makan. Orang tak hendak bicara tentang pengetahuan Bush dan Dukakis mengenai angka kemiskinan dan statistik perbandingan persenjataan. Orang tak hendak menyidik sejauh manakah seorang calon tahu tentang kebenaran dan kebaikan, mengenal apa yang mungkin dan tak mungkin. Demokrasi memang bisa nampak seperti musik tanjidor untuk satu puisi yang buruk. Dalam ekspresinya, apa yang lazim disebut "keputusan rasional" seakan-akan terdampar di sebuah muara yang sudah mati. Ketakutan, prasangka, kebencian, sekadar kenangan sentimentil, atau pertimbangan lokal yang terbatas -- semua itu pada akhirnya yang bisa menggerakkan para pemilih untuk menentukan apa yang dia sukai. Tak aneh bila pikiran yang masak dan hati yang lapang bisa terkucilkan, sementara gagasan gila bisa pasang bendera. Di Israel, bulan ini, misalnya, sejumlah orang yang bersedia hidup dengan perdamalan yang sulit tetapi mulia telah dikalahkan. Di Jerman, 50 tahun yang lalu, Adolf Hitler justru yang didukung suara gemuruh rakyat, ketika ia melengkingkan dendam ke seluruh benua. Maka, tak mengejutkan bila bahkan Socrates tak menyukai demokrasi. Di Athena kuno itu -- ketika orang Yunani sudah terbiasa hidup dengan hak bersuara dan hak berbicara -- Socrates punya ide yang lain tentang penguasa yang ideal: pemimpin itu bukanlah tokoh yang dipilih oleh orang banyak, melainkan pemimpin yang terdiri dari "mereka yang tahu". Konon kata Socrates, memberi amsal: "Di atas sebuah kapal, orang yang tahu itulah yang memerintah, dan sang pemilik serta penumpang lainnya tunduk kepada orang yang tahu itu." Berabad-abad kemudian orang juga seperti menjunjung pelbagai versi "orang yang tahu". Pelbagai jenis kediktatoran -- dengan segala niat baik -- didirikan, dan demokrasi dikuburkan. Tapi bagaimana kita bisa menentukan bahwa seseorang dapat dikategorikan sebagai "orang yang tahu" dan orang lain tidak? Dari mana pula datangnya si "orang yang ahu" itu, ketika langit sudah tertutup, dan bagaimana pula dia nanti akan pergi? Konon Socrates tak menjawab. Mungkin karena baginya orang ramai tak perlu cemas: mereka adalah domba yang dilindungi penggembala. Mereka punya pemimpin. Dan bagi Socrates, pemimpin memang penggembala: seorang yang telaten di antara kawanan makhluk yang manis. Namun, bagaimana di situ dialog dan perubahan bisa terjadi ketika orang memerlukannya? 2.387 tahun setelah Socrates diadili, seorang pembela demokrasi menerbitkan buku dan mengecamnya. Ia menyebutkan bagaimana kira-kira bentuk hubungan domba-penggembala itu. "Hewan gembalaan itu diperuntukkan buat pasar daging dan para domba tak pernah diajak konsultasi, ketika sang penggembala menentukan bahwa saat mereka telah tiba." Itulah kata I.F. Stone dalam The Trial of Socrtes: kata-kata seorang yang percaya bahwa demokrasi, puisi yang buruk itu akhirnya bisa berguna. Setidak-tidaknya untuk sebuah konsultasi, sebelum penyembelihan esok hari. Goenawan Mohammad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini